Part 38

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Omong-omong soal pasangan, kalian sendiri udah punya pacar atau beneran cinlok nih?"

Di sana, Langit dan juga Anara saling tatap. Keduanya saling melempar tawa.

"Ada deh," jawab Langit.

"Doain aja yang terbaik. Iya kan, Lang?" ucap Anara.

Langit menganggukkan kepalanya yang sontak membuat seisi studio bersorak.

"Tapi, kemarin sempet heboh loh, katanya Langit punya pacar. Iya gak, sih? Itu tuh yang di IG itu, yang lagi makan bakso. Katanya, ceweknya juga temenan sama Anara, ya?"

Langit diam beberapa saat. Cowok itu kemudian terkekeh pelan. "No comment, deh."

Acara demi acara terus berlangsung sampai satu jam ke depan. Sampai akhirnya, acara selesai.

Dara tersenyum tipis melihat Langit yang muncul pada layar kaca itu. Selama satu jam pula, ia duduk di depan televisi hanya untuk menonton acara Langit dan juga Anara.

Ponsel Dara berdering tak lama setelah acara televisi itu berganti menjadi acara lain.

Dara meraih ponselnya.

Langit : Gue udah mau pulang, nih. Masih jam 5 juga. Gue ke rumah boleh? Lo mau apa? Gue beliin di jalan sekalian. Atau mau bakso Mamang Jakun yang kemarin?

Dara : Boleh, deh. Mama Ayu sama Papa belum pulang soalnya, Reza juga belum dateng gak tau ke mana. Mau beli makanan tapi mager banget. Berhubung lo nawarin, Yaudah enggak nolak hehe

Langit : Yaudah, tunggu ya. Gue lagi di jalan, nih

Dara memilih menyimpan ponselnya. Tadi, saat pulang sekolah, setelah mengangantar Dara pulang, Reza hanya berganti baju kemudian pergi lagi.

Dan sekarang, dia belum kembali.

Ah, namanya juga anak laki-laki.

Dara memilih merebahkan tubuhnya di sofa dengan televisi yang masih menyala. Badannya masih tidak enak, kepalanya juga masih terasa pening sejak tadi pagi.

Tanpa sadar, Dara akhirnya mulai terlelap.

Di lain tempat, Langit masih duduk di kursi kemudi menatap ke arah jalanan. Sesekali ia bernyanyi mengikuti music yang sengaja ia nyalakan untuk menemani perjalanan.

Mobilnya berhenti tepat di depan penjual bakso kemarin. Memilih turun, kemudian ia tersenyum ke arah si penjual. "Mang, satu ya, di bungkus."

"Eh, si ujang yang kemarin. Sok atuh kasep duduk dulu."

"Iya, makasih, Mang." Langit memilih duduk menunggu pesanan.

Sambil menunggu, ia memilih memainkan ponselnya melihat-lihat apa saja yang ada di aplikasi instagramnya itu.

Banyak yang menandai dirinya perihal acara tadi.

Langit tersenyum tipis melihatnya. Akhirnya, ia memilih mematikan ponselnya saja.

"Nih, Jang. Si Teteh cantiknya ke mana?" tanya Si tukang bakso itu.

Langit menerimanya seraya memberikan uang yang sudah ia siapkan. "Di rumahnya, Mang. Ini dia lagi ngidam bakso, makannya saya beli ke sini."

"Oh, si Tetehnya lagi hamil? Yaudah atuh, semoga anaknya lahir dengan selamat, ya."

Langit tertawa pelan. "Makasih, Mang. Yaudah, kalau gitu saya duluan, ya."

"Iya, sok, Jang. Hati-hati, bawa mobilnya jangan cepet-cepet yang penting nyampe. Kan kalau bawanya ngebut mah siapa yang tahu bukannya pulang ke rumah, malah nyampenya ke akhirat."

Langit mengangguk, "Ah si Mang bisa aja. Duluan ya, Mang."

Langit masuk ke dalam mobilnya. Setelah itu, ia memilih melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.

Matanya melihat ke arah jalanan, sesekali menatap ke arah para penjual yang berjajar di pinggir jalan.

"Beli apa lagi ya buat Dara," gumamnya.

Bola matanya menyorot ke arah penjual boneka di pinggir jalan. Ia langsung menghentikan mobilnya dan turun menuju ke arah sana.

"Mbak, ini berapa?" tanya Langit seraya menyentuh boneka beruang yang berukuran agak besar berwarna biru.

"Loh? Langit yang suka dimuncul di TV itu, ya?" Penjual yang sepertinya masih berusia sekitar 19 tahun itu menatap Langit dengan pandangan berbinar.

Langit tersenyum dan mengangguk. "Iya, kenapa Mbak? Saya ganteng ya?" ujar Langit dengan pedenya.

"Iya! Boleh minta foto?"

"Boleh-Boleh."

Penjual itu langsung mengambil ponselnya dengan terburu-buru. Kemudian, ia berjalan ke arah Langit dan mengarahkan kamera ponselnya agar menyorot pada mereka.

Beberapa jepretan berhasil tertangkap.

Setelahnya, Langit kembali menyentuh boneka tadi. "Jadi ini berapa, Mbak?"

"Buat Kak Anara, ya, Lang? Ambil aja gak papa. Gak usah bayar."

Langit tersenyum tipis. "Bukan, Mbak. Bukan buat Anara."

"Oh, bukan ya. Yaudah gak papa, anggap aja ucapan terimakasih karena kamu udah mampir ke sini."

"Jangan dong, saya bayar, ya?" Langit mengeluarkan uang di dompetnya. Kemudian, ia memberikannya pada penjual itu.

"Yaudah, deh. Kalau udah lihat uang Mah gak bisa nolak," ucap penjual tadi seraya memberikan uang kembalian.

Langit tertawa pelan melihat si Penjual itu yang dengan semangatnya membungkus boneka yang Langit inginkan.

"Oh iya, cewek yang difoto sama Anara, terus mirip sama cewek yang kamu fotonya unggah itu … pacar kamu, ya?" tanya gadis itu seraya memberikan boneka yang sudah ia bungkus dengan plastik bening bermotif pada Langit.

"Menurut Mbak cocok gak?"

"Menurut aku sih, cocok-cocok aja. Pas lihat berita viral itu, aku langsung cus lihat akun dia. Kelihatan sederhana, terus cantik juga. Kayaknya dia tomboy, ya?"

Langit tertawa. Ia mengangguk. "Iya, galak juga."

"Wah, jangan-jangan bonekanya buat … Dara, ya? Eh, bener, kan? Namanya Dara?" tanya gadis itu lagi.

Langit mengangguk. "Iya, namanya Dara. Bonekanya buat siapa? Ada deh … mau tauuu aja."

Langit tertawa pelan. Ia akhirnya memilih menepuk pundak gadis itu. "Duluan, ya. Semangat jualannya!"

"Iya! Makasih, Langit! Lain kali mampir lagi, ya!"

***

Sudah beberapa kali mengetuk pintu, namun tak ada yang menyahut. Akhirnya, Langit memilih membuka pintu dan masuk ke dalam rumah Dara.

Ia berjalan ke arah ruang televisi seraya memanggil nama Dara beberapa kali.

Di pelukannya ada boneka dan di tangannya ada kresek bakso yang ia beli tadi.

"Sampe ketiduran." Langit menggeleng pelan.

Ia memilih menyimpan Baksonya di meja. Kemudian, boneka yang ia bawa ia simpan di sofa lainnya.

"Dar." Langit menepuk pelan pipi gadis itu. Namun, alis Langit berkerut kala merasakan panas di bagian tangan yang menyentuh pipi Dara.

"Dar, lo sakit?" Langit kembali membangunkan Dara.

Dara membuka matanya. "Eh, Lang. Udah sampe? Sori, gue ketiduran." Dara mengubah posisinya menjadi duduk.

Langit duduk di karpet di hadapan Dara. Ia mendongak seraya menatap wajah gadis itu yang terlihat pucat. "Kenapa gak bilang kalau lagi sakit?" tanya Langit.

"Udah makan belum? Gue bawa bakso, tapi jangan pake pedes, ya. Dibening aja. Untung bumbunya gue pisahin." Langit beranjak. Cowok itu berlari ke arah dapur.

Tak lama, ia membawa piring berisikan nasi, mangkuk, dan juga segelas air.

Ia kembali duduk di karpet. Dengan telaten, ia menyalin bakso itu pada mangkuk.

"Makan, ya?" kata Langit setelah selesai dan langsung berpindah ke sofa duduk di samping Dara.

Ia menarik meja agar lebih dekat dengan sofa yang ia duduki.

"Lang, gue bisa sendiri kali," ucap Dara kala Langit menyodorkan sendok berisikan bakso dan juga nasi.

Langit berdecak pelan. "Diem, mulutnya tinggal mangap doang susah. Aaa—"

Dara mau tak mau menerima suapan itu.

Langit terlihat begitu khawatir. Padahal, dari wajahnya sudah bisa menebak kalau cowok itu lelah karena aktivitas.

"Kamu belum makan atau gimana, sih, Dar? Bisa sampe panas gitu."

"Kamu?" Alis Dara berkerut. Rasanya ia ingin tertawa mendengar kosa kata asing yang tak pernah Langit ucapkan itu.

"Kenapa? Biarinlah. Aku maunya ngomong gitu, kok. Cepet makan lagi. Bikin orang panik aja, untung aku gak punya riwayat sakit jantung. Kalau jantung aku langsung copot ngegelinding ke lantai gara-gara lihat kamu sakit gini, gimana, hm?"

Dara tersenyum seraya mengunyah makanan yang terus menerus Langit sodorkan setelah habis di mulutnya.

"Emang bisa jantung ngegelinding ke lantai?" tanya Dara setelah menelan makannya itu.

"Bisa, Sayang. Jantung pisang." Langit menyelipkan rambut Dara ke belakang telinga gadis itu yang sedaritadi menghalangi wajahnya.

Dara menggelengkan kepalanya pelan. Langit kemasukan apa? Itu yang sedaritadi ia pikirkan.

"Aku besok berangkat siang aja, deh. Nyusul aja, gak tenang kalau ninggalin kamu lagi sakit kayak gini."

"Gue cuman pusing, panas, bukan sakit keras." Dara menggeleng seraya tertawa mendengar Langit yang berlebihan begitu.

Langit mencebikan bibirnya sebal. "Aku di Bandung beberapa minggu. Bisa sampe beberapa bulan juga. Berarti hari ini hari terakhir kita ketemu?"

"Lo di sana kan nyari uang, ngejar karir, bukan buat main. Ya gak masalah kali." Dara menyandarkan punggungnya ke sofa.

Mata Dara menatap ke arah boneka yang berada di belakang Langit. Seingatnya, dia tidak punya itu. "Boneka punya siapa?" tanya Dara heran.

"Oh, ini." Langit mengambilnya. Kemudian, ia memberikannya pada Dara. "Tadi nemu dipinggir jalan, Sayang kalau dianggarin."

Dara menerimanya. Kemudian, ia memilih membuka bungkusannya dan memeluk boneka itu. "Lo kok tau sih gue suka warna biru?"

"Apa sih yang enggak seorang Langit tahu tentang Daranya?"

Dara dan Langit tertawa bersamaan. Tangan Langit terulur mengacak puncak kepala Dara dengan lembut. "Suka gak?"

"Apa sih yang enggak seorang Dara suka kalau Langit yang kasih?" tanya Dara menggoda Langit.

Langit tergelak. Ia mencubit hidung Dara dengan gemas. "Bisa aja."

"Nih, udah dikasih boneka. Harus cepet sembuh, kasihan kalau bonekanya ketularan sakit." Langit kembali mengusap puncak kepala Dara dengan lembut.

Dara mengangguk. "Makasih."

"Gak mau bilang sama-sama. Masa yang dipeluk bonekanya doang? Akunya enggak, nih?"

Langit langsung memeluk Dara dan boneka itu sekaligus.  Bibirnya mengecup puncak kepala Dara berkali-kali. "Cepet sembuh, jangan sakit lagi."

"Makasih ya, Lang."

"Apapun buat kamu, Dar."

***

Hari demi hari, dan bulan demi bulan telah berganti. Setelah keberangkatan Langit ke Bandung, Dara menjalani hari-harinya seperti biasa.

Sekolah, mengurus pesanan kaus sablon yang semakin hari semakin bertambah.

Masih banyak orang-orang yang membully Dara di sosial media. Namun, Dara tidak menanggapi karena menurutnya itu sama sekali tidak penting.

Minggu-minggu pertama, hubungannya dengan Langit masih baik-baik saja. Masih sering komunikasi dan saling memberi semangat untuk menjalani hari mereka.

Namun, semakin kesini, komunikasi semakin jarang.

Bohong jika Dara bilang, Hubungan Dara dengan Langit baik-baik saja. Karena nyatanya, Langit kadang tidak membalas pesannya. Dara masih mewajarkan hal itu, mungkin, Langit benar-benar sibuk?

Dara baik-baik saja, Walaupun tidak benar-benar baik karena selalu ada saja berita tentang Langit dan juga Anara.

Dara lagi-lagi mewajarkan itu. Lagipula, ini sudah resikonya menjadi pacar Langit, kan?

Langit juga sering mengirim buket bunga setiap minggunya untuk Dara.

Langit juga sudah kembali ke Jakarta. Namun, mereka masih jarang bertemu mengingat film yang dibintangi oleh Langit dan juga Anara sudah tayang minggu lalu.

Banyak acara-acara yang harus Langit hadiri.

"Gila sablonnya bagus banget. Bahan kaosnya juga oke. Gak nyesel gue pesen," ujar ketua kelas 12 IPA 4 saat dia tengah mecoba memakai bajunya yang baru saja datang.

"Iyalah, makannya emang paling bener pesen di gue, Bang." Pandu tertawa seraya menghitung uang yang diberikan oleh ketua kelas itu.

"Iya-iya, yaudah gue ke kelas dulu, ya! Thank bro." Dia membawa baju pesanannya dan pergi dari kelas Dara.

Pandu tersenyum senang. "Lumayan, Dar. Nambah duit jajan."

"Du, bentar lagi kan kita ulangan kenaikan kelas, apa ada baiknya uang lebih kita simpen aja? Masukin ke rekening gitu. Buat simpenan kita pas keluar sekolah. Beli toko kecil buat julan baju, kan kalau udah keluar sekolah kita gak punya tempat jualan, Du."

"Iya juga, ya. Emang lo gak papa kalau gak dapet duit jualan? Emang gak butuh?"

"Bokap gue masih mampu kasih gue duit buat jajan." Dara tertawa.

Pandu mendengkus kesal. "Iya, iya. Gue kan lupa. Takutnya lo kayak gue, Bokap udah tahu gue usaha, udah gak pernah dikasih duit kalau gak minta. Untung Emak gue sayang gue, jadi duit dari Emak tetep ngalir."

Semenjak usahanya dengan Pandu berjalan lancar, Dara juga lebih sering berkunjung ke rumah Pandu setelah mereka ke tempat sablon.

Untuk sekedar beristirahat, belajar masak dengan Emak, atau makan bersama di sana.

"Dar, Dar, ini beneran Anara sakit?"

Dara mengerutkan alisnya saat Melly langsung duduk di sampingnya.

Memang, selama ini yang memberitahu kabar soal Langit dan Anara ya Melly. Jiwa stalker gadis itu benar-benar tidak bisa diragukan.

Kalau Dara, sih, paling males lihat-lihat berita begitu. "Masa, sih?"

"Iya, katanya masuk rumah sakit kemarin sore."

Dara mengambil alih ponsel milik Melly. Dara menghela napas melihat berita itu.

Bukan karena Anara sakit, tapi karena berita itu menunjukan Langit yang tertangkap kamera datang ke rumah sakit saat malam hari untuk menjenguk Anara bersama managernya.

Selain itu, Anara juga mengungah postingan buket bunga dengan tempelan notes bertulisan cepet sembuh. Dan di bawahnya ada nama Langit.

Artikel beserta bukti itu langsung terbit dan tersebar tadi pagi.

Entah settingan atau tidak. Tapi Dara yakin, soal bunga pasti bukan settingan.

"Lo lagian sabar banget sih, Dar. Banyak berita Langit sama Anara soal ini sama itu. Lo masih mewajarkan terus," kata Melly yang merasa iba melihat Dara begini.

"Yaudahlah. Lagian Anara kan Temen Langit. Wajar kalau Langit kasih dia bunga, kan? Masa nengok orang sakit gak kasih apa-apa?"

"Dar, kan masih bisa kasih buah-buahan atau apa, kek. Langit juga suka kirim lo bunga, loh. Kesannya lo sama Anara tuh kayak enggak ada bedanya di mata Langit."

"Mel, kehidupan Langit yang dulu, sama yang sekarang itu udah beda. Tugas gue sekarang ya mau gak mau harus ngerti," jawab Dara.

Melly menghela napasnya. Bukan, bukan Melly ingin menghancurkan hubungan mereka. Ia hanya tidak suka melihat Dara terus menerus diberi asupan tentang pacarnya dan gadis lain terus menerus.

Dulu Cakra, sekarang Langit.

"Anara juga dikabarin putus sama Saddam. Saddam itu pacarnya, dia penyanyi. Mereka saling unfollow, belum lagi, Saddam juga akhir-akhir ini galau terus. Apa lo gak takut kalau Langit sama Anara makin deket?" tanya Melly.

Dara tersenyum. "Mel, Langit pasti lebih tahu hatinya buat siapa. Kalau suatu saat nanti Langit sendiri yang bilang kalau dia suka sama Anara, gue yang bakal mundur saat itu juga."

Pandu yang sedaritadi menyaksikan menghela napasnya. Ia bingung, sebenarnya, ia senang karena semakin hari dirinya dan Dara semakin sering bertemu.

Tapi, dia juga sedih melihat Dara yang entah benar kuat atau pura-pura kuat melihat berita soal Langit dan artis itu.

"Mel, udah dong. Kasian Daranya diteken terus. Lo kira dia klakson?" ucap Pandu.

"Gue bukan neken, Du. Gue cuman mau yang terbaik buat Dara."

"Dara lebih tahu apa yang terbaik buat dia. Kita itu sahabatnya, tugas kita ya dukung apapun keputusan dia lah!" jawab Pandu sebal.

Melly menghela napasnya. Tangannya terulur menepuk pundak Dara. "Maaf ya, Dar. Harusnya gue enggak marah-marah gini."

"Gue paham, Mel. Makasih, ya."

TBC

Hallo! Gimana kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Langit

Dara

Melly

Pandu

Semoga suka ya!

Spam komen di sini, sabi kali =>

650 komentar, next besok, bisa?

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro