Part 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dara menuruni satu persatu anak tangga. Gadis itu menatap datar ke arah Papanya yang entah sejak kapan sudah berada di meja makan.

Padahal, tadi malam Dara tidur sangat larut. Kapan pria itu sampai di rumah? Mengapa pagi-pagi buta dia sudah duduk di meja makan seorang diri?

"Makan." Dara yang mendengar nada dingin itu, memilih duduk di kursinya.

Ia meraih selembar roti kemudian ia oleskan selai kacang di atasnya.

"Papa kapan pulang?" tanya Dara. Namun, nada suara gadis itu tak terdengar antusias sama sekali.

Ragil, pria itu menatap putrinya sebentar. "Tadi pagi. Kamu udah tidur."

Setelahnya, terjadi keheningan antara Dara dan juga Ragil. Begitulah interaksi keduanya.

Sama-sama bersikap tidak acuh, atau bahkan berbicara seperlunya saja.

"Mama kamu gak pulang?"

"Enggak." Dara memilih mengunyah makanannya dengan santai.

"Egois."

"Papa juga."

Ucapan Dara, sontak membuat Ragil menatap protes tak terima. Dara yang menyadari itu, langsung menatap Papanya balik. "Kenapa?" tanya Dara.

"Seenggaknya, Papa masih sering berkunjung buat kamu, Dara."

"Oh, dua atau tiga bulan sekali itu namanya sering, ya, Pa? Baru tahu, Dara." Dara mengangguk-angukkan kepalanya.

Ragil menghela napasnya. "Dar, Papa ke sini buat ketemu kamu. Bukan buat ribut sama kamu."

"Iya, ini kan udah ketemu, Pa." Dara tersenyum manis ke arah Ragil.

"Papa sengaja libur biar bisa ke sini, Papa mau habisin waktu sama kamu."

"Papa lebih sering habisin waktu Papa sama keluarga baru Papa. Itu artinya, Papa lebih bahagia sama mereka dibanding sama Dara." Dara beranjak. Gadis itu meraih tangan Ragil kemudian mencium punggung tangannya.

"Dara berangkat." Dara langsung melangkah pergi meninggalkan rumah.

Ragil yang melihat itu, langsung memijat keningnya. Kapan perang dingin antara dirinya dan juga Dara berakhir? Dara selalu memberikan benteng antara mereka.

Di jalanan komplek, Dara menendang apa saja yang berserakan di sana. Gadis itu memilih duduk di sisian jalan, menangkup wajahnya dengan tubuh yang bergetar.

"Kita gak pernah bahagia sejak Dara hadir."

"Lahirnya Dara itu karna kecelakaan!"

"Aku mau kita cerai."

"Dar, Papa mau menikah."

Bayangan masa lalu terlintas begitu saja di kepalanya. Dara mengusap air matanya pelan. Ponselnya berdering menandakan ada pesan masuk.

Dara memilih meraihnya.

Cakra : Dar, Sonya sakit. Semalem dia telat makan. Gue minta maaf gak bisa berangkat bareng lo. Besok ya? Gue janji.

Dara mematikan ponselnya. Ia butuh Cakra. Dara memilih beranjak, gadis itu berjalan ke arah jalan raya untuk mencari angkutan umum.

Dia tak mau kembali ke rumah untuk membawa kendaraan. Ia tak mau bertemu dengan Papanya lagi.

TIN! TIN! TIN!

"Naik, Neng! Mamang Ojeg siap mengantar Neng Cantik kemanapun dia mau."

Dara terlonjak kala mendengar suara klakson di belakangnya. Gadis itu sontak saja berhenti dan menatap ke arah si pengendara.

Dan ternyata, orang itu adalah Langit. Cowok itu duduk di motor bebek miliknya.

"Oh, tunggu. Gue ada sesuatu!" Langit turun dari motornya, kemudian berjalan ke arah rerumputan di pinggiran jalan.

Memetik satu bunga liar, kemudian memberikannya pada Dara. "Nih, biar Dara gak nangis lagi."

Dara menatap Langit dan bunga itu secara bergantian. Langit tersenyum dan meraih tangan Dara. "Udah, terima aja. Gue tahu lo pasti deg-degan gitu kan dikasih bunga sama orang ganteng?"

Dara menatap bunga itu yang kini sudah berpindah ke tangannya. Langit kembali naik ke atas motornya.

"Ayo naik!"

"Eh, tapi lo gak malu kan dibonceng pakai motor Bebek?" tanya Langit.

Dara menggeleng. Andai saja Langit adalah Cakra. Dara pasti akan dengan senang hati langsung naik ke jok belakang.

Namun sayangnya, Cakranya sudah berubah. Waktunya tak lagi untuk Dara, hidupnya bukan melulu tentang Dara. Semuanya sudah terbagi dengan Sonya. Atau … Cakranya sudah milik Sonya sekarang? Dara tidak tahu.

"Bissmillah, Entin, kamu jangan mogok ya sayang? Aku kan mau bawa cewek cantik. Jangan malu-maluin ya Entin Sayang." Langit mengusap motor bebeknya itu.

Dara sontak tertawa mendengarnya. Langit ini sudah gila atau bagaimana? Berbicara dengan motor, seperti bicara pada pacar.

"Si Entin mau dinaikin lo. Ayo, Dar."

Dara memilih naik. Setelah itu, Langit melajukan motornya dengan kecepatan sedang.

"Si Entin gak bisa jalan cepet, Dar. Kalau cepet-cepet, nanti dia pegel-pegel, terus mogok deh."

Dara menatap jalanan dengan pandangan kosong. Gadis itu menghela napasnya. "Lang, gue mau tanya."

"Tanya aja."

"Sonya spesial banget ya buat Cakra?"
Langit terdiam beberapa saat. Cowok itu melirik Dara lewat kaca spion bundarnya. "Lo lebih spesial melebihi apapun, Dar," jawab Langit.

"Lo orang pertama yang bilang kayak gitu, Lang."

"Yaudah, nanti gue juga bakal jadi orang pertama yang ketemu orang tua lo, dengan niat ngelamar anaknya yang sok kuat tapi cengeng ini."

Dara memukul pundak Langit kesal. "Gue pacar Abang lo! Jangan ada niat nikung, Lang!"

"Abang guenya aja yang gak tahu diuntung. Udah dapet cewek cantik, kok malah disia-siain. Daripada mubazir mendingan gue ambil."

Langit ikut tertawa ketika Dara tertawa mendengar ucapan Langit.

Sejak pertama kali melihat Dara, ada sesuatu yang membuat Langit tertarik.

Dara itu kuat, dia tak suka memperlihatkan kelemahannya di depan orang lain.

Saat acara ulang tahun Cakra, Langit melihat Dara dan juga Cakra yang tengah mengobrol ketika acara selesai.

Langit mengikuti Dara, gadis itu menangis di dalam mobil, dan berakhir dirinya menolong gadis itu yang dicegat begal. Sebesar itu daya tarik Dara sampai Langit rela mengikuti gadis itu.

***

Dara turun dari motor Langit. Belum sempat ia mengucapkan kata terimakasih, tangannya sudah ditarik oleh seseorang.

Cakra, cowok itu menatap tajam ke arah Dara. "Lo sengaja gak bales pesan gue? Lo seneng gue gak bisa jemput biar bisa berangkat sama dia?" Cakra menunjuk ke arah Langit.

Dara menepis tangan Cakra. "Terus gue harus bales apa? Bilang, oh iya semoga Sonya cepet sembuh ya, Cak. Lo di sana aja, pacarin aja si Sonya sekalian. Gitu?" tanya Dara.

"Sonya izinin gue pergi karna dia tahu gue ada janji sama lo, Dar. Kenapa lo kelihatan benci banget sama Sonya? Kalau bukan karna Sonya, gue gak akan ada di sini."

Cakra semakin mengeratkan cengkalannya di lengan Dara. "Perlu banget ya izin sama Sonya?"

"Dar! Dia lagi sakit!"

"Emang harus banget lo yang jaga?"

Cakra mengusap wajahnya kasar. "Dia gak makan dari semalem, Dar. Dia baru mau makan pas gue dateng tadi. Lo bayangin, kalau tadi gue gak dateng, Sonya bisa aja makin parah."

"Harusnya kalau gak bisa nepatin janji, lo gak usah ngasih janji yang bikin gue berharap, Cak. Lo bilang, hari ini kita berdua tanpa Sonya. Tapi apa? Masih pagi, tapi lo udah bawa-bawa dia."

Cakra mengusap wajahnya kasar. "Dar! Sonya sakit!"

"Gue juga sakit, Cak! Hati gue yang sakit." Setelah mengatakan itu, Dara mendorong kuat bahu Cakra dan memilih pergi meninggalkan cowok itu.

Langit melipat kedua tangannya di depan dada seraya menatap ke arah Cakra. "Gue udah bilang, Bang. Dara bisa kapan aja pergi ninggalin lo. Tapi sayangnya, dia terlalu Sayang sama cowok brengsek kayak lo."

"Gue gak minta pendapat lo!"

"Gue cuman ngasih tahu. Gue yakin kok, suatu saat nanti lo sendiri yang bakalan nyesel. Udah, ya, gue mau ke kelas. Di sini hawanya panas." Langit memilih melangkah pergi meninggalkan Cakra.

Cakra mengusap wajahnya pelan. Apa yang Langit katakan benar. Dara bisa saja meninggalkan Cakra kapan saja. Tapi … cewek itu tidak melakukannya sama sekali.

Cakra benar-benar tidak ada niat mengingkari janjinya. Semuanya terjadi begitu saja.

"Maaf, Dar."

TBC

Ada yang ingin disampaikan untuk Dara?

Ada yang ingin disampaikan untuk Langit?

Ada yang ingin disampaikan untuk Sonya?

Kesan setelah baca part ini?

Semoga sukaa!!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro