🌻🌸Bunga Pengantin🌻🌸

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pada umumnya  orang mencari seseorang yang tepat untuk dirinya. Namun, ia sendiri melupakan menjadi orang yang tepat untuk orang lain.

***
Last Memory by Galuch Fema


Happy reading jangan lupa vote

Peluh sudah membanjiri kemeja batik yang dikenakan Arsha. Peluh juga mengalir di dahi membuat Derra menatap Arsha dengan khawatir.

"Kamu sakit?" tanya  Derra sambil mengambil sehelai tisu untuk diusapkan di kening Arsa.

Arsha menggeleng cepat, ia tidak mau jika Derra curiga karena ia sedang panik.

"Mungkin kecapekan saja karena tadi habis latihan," sahutnya berbohong. Menatap kaca di depannya sambil menguatkan diri sendiri jika tidak akan terjadi sesuatu yang buruk.

Anggap saja orang yang berdiri di depan adalah orang lain yang tak dikenal dan tidak akan pernah bisa menghancurkan hubungan dirinya dengan Derra.

"Atau kita pulang saja," tukas Derra mwmberikan pilihan tetapi sejatinya dalam hati agak kecewa mengingat sudah berdandan maksimal mungkin.

"Andai saja bisa tetapi sepertinya tidak mungkin," jerit hati Arsha.

Arsha melajukan mobil meninggalkan parkir depan, padahal ia tahu jika tempat itu yang disediakan untuk tamu undangan. Lebih baik memilih area belakang sehingga bisa memasuki pintu samping bukan depan. Walaupun sejatinya Derra dan Farhan masih bisa bertemu saat ini dan di tempat ini.

"Kok lewat sini," protes Derra dengan kebingungan ketika pergelangan tangan sudah sedikit ditarik masuk melalui pintu kaca di samping gedung utama.

"Tidak apa-apa. Sama saja nanti kita ke aula juga."

Derra hanya mengiyakan saja, lagian ini bukan acara teman atau kerabat. Ia hanya mendampingi Arsha kondangan saja.

"Kita ke atas menyalami kedua mempelai, setelah itu pulang!"

"Kok cepat sekali?" Derra curiga sepertinya ada sesuatu yang tidak beres.

"Tidak apa-apa, aku ingin istirahat."

Derra mengangguk sambil menaiki anak tangga ke atas panggung utama. Menyalami kedua mempelai yang sama sekali tak ia kenal.

"Pacar baru?" tukas mempelai pria ketika bersalaman dengan Arsha membuat Derra menatap ke arah Arsha yang sedang gugup.

"I-ya," jawab Arsha lirih sambil mengalihkan tatapan karena sepertinya ia bisa merasakan jika Derra tengah menatap ke arahnya.

"Sudah ketemu sama Far—"

"Aku ke bawah dulu," potong Arsha sambil menarik tangan Derra menuruni tangga ke bawah dengan buru-buru.

Detak jantung yang sudah berjalan normal tiba-tiba dipaksa bekerja lebih cepat lagi.

Derra hanya menggeleng cepat melihat kelakuan Arsha, untung saja tidak ada kejadian terjungkal di tangga.

"Sha?"

Laki-laki yang masih menggenggam tangan Derra langsung menoleh menatap wajah cantik Derra.

"Ada apa?"

"Makan siomay dulu," tukas Derra memelas sambil melirik stand makanan di samping.

Rencana yang tinggal beberapa langkah lagi tiba-tiba gagal karena permintaan Derra.

"Kita beli saja di luar."

Derra cemberut sambil memainkan tali tas panjang.

"Siomay di acara hajatan lebih enak dibandingkan beli," lirih Derra sambil berbisik.

Niat hati mau pasang wajah kesal tetapi tidak jadi karena celotehan Derra.

"Ayok kita makan siomay," ajak Arsha sambil terus menggenggam tangan Derra. Ia tak mau melepaskan begitu saja karena ada satu mangsa yang sedang mengintai mereka.

"Enak?" tanya Arsha begitu serius. Cuma empat  butir siomay sudah membuat gadis ini bahagia. Padahal bisa saja membeli di luar sepuasnya.

"Sha, ada yang mau aku tanyakan?"

Arsha yang sedang fokus melihat seseorang langsung menatap  Derra yang sedang membersihkan jarinya yang terkena saus.

"Apa?"

"Apa maksud kamu tadi di atas panggung?"

Arsha mengernyitkan keningnya tanda tak paham, apalagi suara musik mengalun lumayan kencang.

"Aku gak paham maksud kamu?" Laki-laki itu menggeser kursinya berdekatan dengan Derra agar bisa mendengar jelas apa yang diucapkan.

Namun, tidak dengan Derra karena degup jantung sudah berpacu cepat,  lengan  bersentuhan mereka bersentuhan membuat tubuh Derra kaku, padahal ia tak mengingat bagaimana agresifnya saat di pantai.

"Ak-aku cuma minta penjelasan kamu saja tentang apa yang kamu ucapkan tadi bersama pengantin pria di atas panggung."

Arsha berpikir keras mengingat kembali apa yang diucapkan di atas panggung. Senyum tersungging di bibir Arsha karena menyebutkan salah satu kata.

"Kamu pacar aku," ucap Arsha membuat Derra salah tingkah. Ia menyembunyikan semburat merah di wajahnya pura-pura menatap samping tetapi tangan Arsha langsung menggerakkan wajah Derra agar tak melihat ke sana karena ada sesuatu hal.

"Untuk sekarang aku tidak bisa mengikat hubungan kita tetapi setidaknya hanya ada satu nama di hatiku. Aku orang yang akan selalu ada saat kamu butuh, akan menjadi orang pertama saat kamu sedih dan kata."

Derra mendengarnya terasa menjijikkan tetapi entah mengapa ia suka.

"Sekarang aku yang bergantian  bertanya. Jika nantinya akan ada seseorang datang dengan kelebihannya, apakah kamu akan memilih dia dan meninggalkan aku?"

Sekarang gantian Derra yang terpojok, jujur ia merasa nyaman dengan hubungan mereka sekarang tetapi untuk masalah hati, ia belum sepenuhnya bisa.

"Harus dijawab sekarang?" Senyum tak bersalah membuat Arsha geregetan.

"Terserah. Kalau mau jawab besok silakan, tapi jangan salahkan jika nanti aku pilih orang lain?" canda Arsha hanya menguji pasangannya

"Lah, kok?" proses tak terima

"Ya sudah, jawab," saran Arsha setengah memaksa.

"Ak-aku nyaman dengan kedekatan kita sekarang," sahutnya lirih dengan wajah merah merona.

Ada rasa bahagia tersendiri di wajah Arsha tetapi hanya berlangsung beberapa detik saja karena sudah ada seseorang di samping Derra, entah dia sengaja mendekat atau sekadar lewat karena kebetulan samping Derra duduk tempat orang berlalu lalang  di aula ini. Arsha mendekatkan posisi duduknya, semoga saja gadis ini tidak berpikiran yang aneh-aneh. Untung saja sedang menikmati satu cup es krim.

Mata Arsha dan Farhan saling  bertemu tetapi Arsha langsung membuang tatapannya pura-pura tidak saling mengenal. Dalam hati berdoa keras agar Derra tak melihat orang itu.

Sayangnya doa Arsha tak dikabulkan, gadis ini meletakkan  es krim di bangku  kemudian berdiri tepat di belakang Farhan membuat Arsha semakin panik.

"Mau ke mana?" bisik Arsha dengan panas dingin.

"Acara lempar bunga, siapa tahu dapat," seru Derra yang sudah sangat bersemangat mendekati kerumunan orang yang memiliki niat yang sama.

"Nanti aku belikan, tidak usah ikut rebutan!" pekik Arsha kebingungan setengah mati bagaimana menghentikan ide gila pasangannya.

"Beda dong, kalau bunga yang ini banyak yang mengharapkan karena siapa tahu akan menyusul menikah seperti kedua mempelai di sana."

Arsha memijit kening, Farhan yang masih berdiri di depan Derra pasti mendengar celotehan barusan. Sedangkan gadis itu tetap saja  bersikukuh sambil bersiap-siap menangkap ketika pengantin sudah memberikan aba-aba bunga akan dilempar.

"Oke, kita akan menikah secepatnya," sahut Arsha terpaksa.

Sayangnya Derra tak mendengarkan karena sudah fokus dengan aba-aba di atas panggung. Sialnya yang mendengar adalah Farhan, dengan tatapan galak ia melirik Arsha. Ia menggeser langkahnya agar tak berdekatan dengan gadis di belakangnya.

Arsha sendiri bisa merasakan jika Farhan tengah menatap dengan tatapan tidak suka. Mungkin jika tidak dalam keramaian seperti ini, mereka sudah  berantem seperti biasanya.

"SATU"

"DUA"

"TIGA"

Derra gesit melompat untuk mendapatkan buket bunga. Dengan mata yang terpejam, namun tangan Derra merasakan jika bunga itu berada di tangannya. Ketika hendak ditarik, ia baru sadar jika ada orang lain yang menegang bunga yang sama. Netra langsung membuka untuk mengetahui siapa juga yang meriah bunga itu. Sayang, ia tak begitu jelas karena kerumunan orang sehingga tak dapat mengenali orang itu.

Perlahan pegangan bunga itu sedikit mengendur dan Derra mendekatkan ke pelukannya karena sekarang  adalah miliknya seorang.

Tak jauh dari mereka berdua, kedua lutut Arsha terasa lemas. Bagaimana mungkin mereka berdua ditakdirkan memegang bunga yang sama. Sempat tadi syok karena Derra ingin melihat siapa yang memegang bunga yang sama.

Arsha yang sudah memegang tas Derra langsung bergerak cepat sebelum kedua orang di sana saling menatap. Derra yang tengah bahagia mendapatkan apa yang diinginkan seketika terkejut karena Arsha menarik tangan setengah paksa menjauhi kerumunan tadi.

"Sudah aku bilang, jangan!" pekik Arsha sambil meredam denyut jantung yang sudah tak beraturan. Dekat pintu keluar, Arsha langsung merebut bunga itu dengan kasar. Melemparkan benda yang tak bersalah pada tempat sampah dan mengabaikan perempuan yang sekarang sudah berkaca-kaca karena menahan amarah.

"Nanti aku belikan di luar," sahutnya sambil meredam suasana.

"Karena aku tak ikhlas kamu menerima barang pemberian Farhan," sambung Arsha dalam hati.






Matahari bersinar terik menampakkan senyumnya di pagi hari. Sayangnya cahaya itu tak berhasil menghangatkan suasana di dalam mobil yang terasa dingin dan kaku.

Setelah insiden pembuangan bunga kemarin, membuat Derra lebih memilih diam membisu. Padahal di tangannya sudah terdapatnya bunga walaupun tak sama yang kemarin dapat.

Mobil masih berhenti karena Arsha lebih memilih menyelesaikan masalah mereka, lagian waktu juga masih pagi.

"Tidak suka?" tanya Arsha melirik gadis yang masih bergeming menatap bawah.

"Mau cari yang sama seperti kemarin?" tawar Arsha dengan bingung. Ia mati kutu kalau didiamkan seperti ini, lebih baik Derra bercuap-cuap dibandingkan dengan perang dingin.

"Tak perlu."

Arsha menarik napas sambil mengubah posisi duduk menjadi menatap Derra.

"Terus kenapa masih marah?"

"Kenapa membuang begitu saja bunga kemarin? Padahal banyak yang ingin mendapatkan giliran aku sidah dapat, malah dibuang."

"Maaf," tukas Arsha merasa bersalah dengan tindakannya. Seharusnya ia bisa meminta baik-baik tanpa harus merebut."

Suasana menjadi tambah kaku, tapi Arsha tak melihat Derra menangis, yang ada hanya memalingkan wajah saja.

"Kita ambil lagi bunga itu," seloroh Arsa sambil menyalakan mesin mobil.

Seketika tangan Derra bergerak menahan lengan Arsha.

"Jangan. Tidak usah," cegah Derra menggagalkan niat Arsha.

"Bukankah bunga kemarin yang  bisa mengembalikan senyum kamu? Bukan bunga yang sekarang  dipegang," tukas Arsha melirik bunga mawar warna merah yang ia beli tadi sebelum menjemput Derra.

"Ak-aku—"

"Aku tidak mau kamu menerima pemberian dari siapa pun selama aku masih mampu membelikan untuk kamu," protes Arsha dengan wajah seriusnya.

Derra akhirnya melirik samping, mengerucutkan bibir tanda protes balik.

"Itu kan bunga dari pengantin siapa tahu—"

"Pengin nikah cepat?" tuduh Arsha membuat Derra berjingkat kaget.

"Bu-Bukan seperti itu? Ada kebahagiaan tersendiri ketika dapat bunga itu," jelas Derra karena sejujurnya belum siap untuk menikah.

"Dapat bunga dari aku kamu tidak bahagia? Kurang? Perlu beli lagi? Sama sekalian tukang bunga buat menanam bunga di halaman rumah kamu?"

Derra akhirnya tersenyum dengan kalimat terakhir yang lolos di bibir Arsha. Laki-laki ini pinter sekali membolak-balikkan hati.

"Aku suka sama bunga ini."

Derra lebih baik mengalah dibandingkan terus berdebat tidak jelas.

"Kalau sama yang ngasih bunga?" ledek Arsha sambil mengerlingkan sebelah mata.

"Heh, pagi-pagi sudah gombal. Enggak lihat apa dari tadi Papah memperhatikan kita?"

Mata Arsha membulat karena baru sadar jika papah Derra tengah menatap dari luar mobil.

Derra melenggang memasuki ruangan dengan hati gembira. Sarapan gombalan dari Arsha membuat bibir terus tersenyum menambah wajah cantiknya.

"Tumben bawa bunga. Mau melayat?" tanya Arindra yang berpapasan dengan Derra saat di tikungan yang menuju ke ruangan mereka.

"Bukan. Memang siapa yang meninggal?" Derra terus mendekap erat bunga itu enggan membenarkan orang lain memiliki.

"Terus ngapain bawa-bawa bunga?" selidik Arindra penasaran.

"Dari Arsha."

Langkah Arindra seketika berhenti. Ia tak menyangka jika Derra akan bertekuk lutut pada tentara itu.

Derra menatap belakang karena sepertinya Arindra tak disamping. Ia mendapati tengah terpekur sedih menatap bawah.

"Kok berhenti? Ada apa?"

"Eh, tidak. Aku ke toilet sebentar," seru Arindra berlari menjauh dari Derra.

Derra mengangkat kedua bahu dan melanjutkan langkahnya. Baru beberapa langkah sudah dikejutkan lagi dengan seseorang di depannya.

"Beneran datang gasik. Direktur utama mau ketemu kamu, ditunggu di ruangannya!" perintah Bayu yang pagi-pagi sudah direpotkan  dengan kedatangan atasan barunya.

"Oh, tua bangka, jelek dan sudah bau tanah," ucap Derra sambil bergegas menuju ruangan yang tak jauh dari tempat ia berdiri.

Bayu hanya mengernyit kening tanda tak paham. Ada yang janggal dari pernyataan Derra barusan.


Pintu kaca diketuk, sebelum Derra memasuki ruangan di sana. Sebenarnya bisa langsung masuk mengingat pintu setengah terbuka. Merasa tak ada jawaban, dengan hati-hati Derra membuka pintu tersebut.

Jantung seketika berdetak kencang ketika satu langkah sudah memasuki ruangan itu. Sebuah pemandangan tak terduga di dalam sana.

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro