🌸🌻Telepon Gelap🌻🌸

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suatu saat aku bukan lagi orang tersembunyi, melainkan menjadi orang yang istimewa dan diprioritaskan untuk bahagia tanpa ada satu kata yang menjadi alasan untuk pergi

***
Last Memory by Galuch Fema

Perkenalan dulu, ya? Biar saling kenal sama Cast Last Memory kebetulan saya sudah dapat izin dari orang yang dijadikan cast

1. Elsa Derra

2. Arsha


3. Farhan Abqary Zafar

Happy reading jangan lupa vote

Laki-laki yang sudah merasa hatinya sangat panas hanya bisa menggenggam pagar besi dekat lapangan batalyon. Dalam hatinya bersumpah serapah atas kedekatan mereka berdua di depan matanya. Baru kali ini ia dihianati seperti ini oleh orang terdekatnya.

Ia bergegas menuju mobil yang sengaja parkir jauh dari lapangan. Udara AC mobil terasa menyejukkan raga dan hatinya yang masih panas. Mengambil selembar foto di dashboard menatap lekat. Gadis itu terlihat bahagia di sana sebelum perpisahan itu terjadi.

"Kenapa ke sini?" tanya Arsha bingung. Kembali teringat bagaimana perlakuan gadis ini dipantai. Semoga saja tak seperti itu lagi, mengingat di sini banyak rekan dan juga komandan yang tengah berada di tempat ini juga.

"Salah? Tidak boleh?" Derra bertanya balik karena niat baiknya dipertanyakan oleh Arsha.

"Bu-Bukan seperti itu?"

Arsha sangat panik mengingat wajah Derra sudah berubah, apalagi posisi gadis itu sudah bangkit dari tempat duduknya bersiap untuk pergi. Dengan terpaksa Arsha menahan lengan itu untuk duduk kembali. Benar saja sekarang Derra tersenyum membuat hati Arsha lega.

"Tidak perlu pulang kerja langsung ke sini."

"Kangen."

Cengiran di wajah Derra membuat wajah Arsha memerah, ternyata Derra masih agresif seperti saat mereka di pantai. Kepala celingukan siapa tahu ada yang mendengar ucapan barusan.

"Kan bisa nanti aku mampir ke rumah?" seloroh Arsha agar Derra jera tak seperti ini lagi.

"Berani sama papah aku?" sindir Derra sambil mengambil kotak plastik dan membukanya. Tangan itu langsung menyendok dan mengarahkan ke mulut Arsha.

"Apaan?" tanya Arsha ketakutan padahal Derra hanya hendak menyuapi saja.

"Racun biar cepat mati."

Niat hati mau romantis di tepi lapangan ditemani sepoi angin ternyata gagal karena wajah Arsha ketakutan ibarat yang dipegang Derra laksana bedil atau senjata tajam.

"Aku bisa makan sendiri tak perlu disuapi sepeti ini?"

Tawa kecil terdengar dari sekelompok orang yang berjalan di belakang mereka membuat Arsha mati kutu ketahuan diperhatikan seperti ini oleh seorang perempuan.

"Tuh, kan," sahut Arsha menggaruk rambut yang panjangnya hanya beberapa senti saja.

"Makan sendiri."

Ucapan Derra yang ketus dibarengi kotak makan yang sengaja diletakkan di atas pangkuan Arsha dengan kasar membuat sedikit lauk jatuh terbuang sia-sia.

"Galak amat, udah kaya bapaknya," batin Arsha.

"Terima kasih sudah perhatian seperti ini. Aku bisa apa-apa sendiri karena memang harus dituntut mandiri. Mendapat perlakuan seperti ini, aku malah kaku karena ini pertama kali."

"Memang tidak pernah pacaran? Jatuh cinta gitu?" tanya Derra merasa bingung. Di zaman seperti ini ada laki-laki setampan Arsha yang belum pernah dekat dengan perempuan.

"Belum."

Arsha hanya mengaduk  makanan di kotak, belum ada satu suap yang masuk ke mulutnya. Bukan tidak mau tetapi memang tidak menyukai makanan jenis mie.

Derra menatap sekilas tetapi masih dengan wajah cemberut.

"Makanlah, orang yang sedang esmosi biasanya lebih membutuhkan makanan!"

Sekarang berbalik, Derra yang disuruh makan apalagi sendok yang berisi mie sudah di depan mulutnya.

"Cepat makan."

Ucapan itu menyihir Derra sehingga mau makan apa yang disuapkan oleh Arsha.

"Kamu tidak makan?" tanya Derra yang sudah melihat isi kotak makan tinggal separuh.

"Aku kurang menyukai mie. Besok kalau mau bawa makanan mending sayuran saja."

"Sayuran?"

Kekeh tawa Arsha membuat laki-laki yang hanya memakai kaos sepak bola itu terlihat semakin tampan. Derra sendiri tak menyangka jika perasaannya yang tadi  pura-pura untuk menyelidiki siapa Arsha sesungguhnya malah berubah menjadi tertarik.

"Aku sama rekan-rekan biasa hidup di hutan, menjaga perbatasan wilayah. Di sana makan seadanya apa yang kita temui."

"Kenapa milih jadi tentara bukan yang lain? Banyak pekerjaan yang menjanjikan dibandingkan tentara."

"Amanat dari almarhum bapak menginginkan salah satu putranya ada yang menjadi abdi negara," terang Arsha sambil terus menyuapi  Derra sampai sendok terakhir.

"Bagaimana di kantor? Sudah ketemu sama direktur yang  baru?" tanya Arsha dengan was-was. Dicegah seperti apa pun pasti mereka akan  bertemu asalkan hati mereka tak lagi  bersatu.

Di waktu yang serba terbatas ini, Arsha berusaha keras agar Derra jatuh pada dirinya bukan dia. Apalagi jika dapat mengubah hubungan saat ini menjadi jenjang satu tingkat lebih serius.

"Aku tak  bertemu dengan direktur yang baru. Kenapa?"

Derra curiga karena wajah Arsha terlihat panik dan tegang.

"Tidak apa-apa," sahutnya sambil pura-pura sibuk mengikat tali sepatu.

"Bohong. Pasti ada yang disembunyikan. Ayo katakan." Derra terus menggoyang lengan Arsha agar berterus terang.

"Yakin kamu mau mendengarkannya?" tantang Arsha dengan wajah harap-harap cemas. Mungkin dengan berbohong akan membuat Derra tak berdekatan dengan direktur yang baru.

Derra mengangguk dengan semangat.

"Aku tak mau kamu suka sama direktur kamu yang sudah tua dan jelek. Derra sudah ditakdirkan untuk Arsha seorang," ledek Arsha sambil berdiri dan menaruh tas ransel pada Derra. Ia lalu berlari kencang menuju tengah lapangan meninggalkan Derra yang sudah merah karena malu.

Gadis itu hanya bisa mendekap tas itu dengan erat. Ia merutuki ucapan dulu saat pertama kali bertemu dengan Arsha jika ia tak akan pernah jatuh cinta pada abdi negara tetapi tidak untuk sekarang.

Gawai di dalam tas  bergetar, ada rasa ragu untuk mengangkat. Namun,  ini adalah dering kedua kali, dengan was-was membuka resleting karena baru pertama kali Derra memegang ponsel milik Arsha.

Layar menampilkan gambar penelepon, sayangnya oleh Arsha kontak itu dinamai  dengan huruf F saja. Gambar pemanggil juga tak begitu jelas karena gambar itu menampilkan seseorang yang berdiri menyamping dalam kegelapan.

Terpaksa Derra mengangkat karena sepertinya penting.

"Hallo, Assalamualaikum," sahut gadis itu dengan hati-hati. Panggilan sudah terhubung tetapi sepertinya tak ada suara dari seberang.

"Hallo, Assalamualaikum," ulang Derra sambil terus memperhatikan  laju detik panggilan di layar yang  masih menyala.

Tanpa sepatah kata, penelepon itu langsung mematikan hubungan telepon.

"Siapa?"

Tubuh tersentak kaget karena sudah berdiri sosok di depan sambil menaruh kedua tangan di pinggang. Mata Derra bergerak karena ketahuan sedang memegang ponsel yang bersifat milik pribadi.

"Kok pegang ponsel aku?" tanya Arsha menampilkan wajah tak suka pada Derra.

Derra semakin terpojok dan menyerahkan ponsel itu pada pemiliknya.

"A-ada telepon, aku tak sengaja mengangkat karena aku kira i-itu penting."

Derra berbicara gagap karena Arsha terus menatapnya dengan tatapan tidak suka. Bahkan cara meraih ponsel dari tangan Derra juga terasa kasar.

"Aku tidak suka kamu membuka ponsel ini karena di dalamnya banyak privasi. Ada sesuatu hal yang tidak semua harus kamu tahu tentang aku."

Derra mengakui jika ia salah dan lancang tetapi kalimat terakhir yang Arsha ucapkan terasa melukai hatinya. Derra sadar jika hubungan mereka sebatas dekat tanpa sebuah status walaupun Arsha sendiri pernah berterus terang tentang perasaanya tetapi apakah salah atau harus seperti ini, bicara dengan intonasi keras kepadanya?

Gadis itu hanya bisa menarik napas dalam dan berjanji tidak akan menitikkan  air mata untuk kaum  adam. Hanya perasaan dongkol saja melihat sorot mata depan.

"Ak-aku mau—"

"Sebentar!" potong Arsha masih dengan intonasi yang sama. Derra lama-lama jengah berdekatan dengan Arsha tetapi  ketika melihat wajah tampan itu terpaksa harus bertolak belakang dengan niatnya.

"Apa lagi?" tanya Derra melihat Arsha dengan wajah tambah panik ketika melihat layar ponselnya.

"Ka-kamu tadi menelpon  seseorang di kontak aku?" tegur Arsha yang sudah panas dingin melihat waktu durasi di telepon.

"Lebih tepatnya mengangkat telepon bukan menelpon."

Derra membela diri, ia tak mau dipojokkan  seperti ini.

"Terus kalian saling ngobrol?"

Kepala Arsha terus bergerak mencari seorang siapa tahu dia ada di tempat ini dan mengintai kedekatan dengan Derra.

"Tak ada suara dari sana, mungkin bisu kali."

Tubuh tegang Arsha sedikit melunak. Ia tak bisa membayangkan jika Derra akan berkomunikasi dengan seorang barusan di telepon.

"Aku mau pulang."

Derra bersiap dan menyerahkan ransel milik Arsha. Lama-lama dekat dengan Arsha bisa menggangu kejiwaanya.

"Sebentar."

"Apalagi, sih."

Mungkin jika dilukiskan wajah Derra sudah ditekuk berkali lipat. Ia menatap tentara itu yang tengah menghubungi seseorang di gawainya.

"Ada apa menelpon!" gertak Arsha mengawali pembicaraan di telepon tanpa diawali salam bahkan nadanya juga tak bersahabat.

Derra menatap wajah itu dan sangat penasaran siapa yang dihubungi Arsha.

"Lima belas menit lagi aku ke sana."

Pembicaraan di telepon di tutup dan wajah Arsha kembali melunak bahkan sekarang tersenyum kepada Derra.

"Maaf ak—"

"Pulang!" pekik Derra tak mau kalah. Arsha hanya bisa menahan senyum, sisi Derra sebenarnya mulai terungkap.

Untung saja suasana lapangan sepi sehingga tak ada yang mendengar jerit lolongan serigala betina.

Derra langsung menuju mobil Arsha, meninggalkan lebih dulu Arsha yang masih mematung tak jelas.

Selepas di dalam mobil, Derra meraih botol kecil yang selalu menemaninya. Membuka dan meminum satu butir agar  jiwanya lebih tenang.

"Mau pulang atau ke mana dulu?" tawar Arsha hendak melajukan mobil.

"Ikut dengan kamu, bertemu dengan orang yang barusan menelpon," tantang Derra membuat Arsha tak percaya.

"Ak-aku mau ada urusan. Kapan-kapan saja kita jalan bareng."

"Bukankah kamu barusan mengajak untuk pergi?" seloroh Derra semakin kesal.

"Tapi bukan ke tempat itu?"

Arsha semakin panik, sekarang gantian ia yang terpojok.

"Perempuan?" tuduh Derra membeliak marah.

"Bu-bukan." Arsha menggoyangkan kedua tangannya agar Derra percaya."

"Terus kenapa tidak boleh ikut?"

"Aku mau kondangan ke hajatan pernikahan bukan mau kencan dengan perempuan."

"Aku ikut," paksa Derra dengan mantap.

Wajah Arsha kembali menegang, jika nanti Derra ikut pasti akan  bertemu dengan menelepon yang barusan.

"Ini tidak boleh terjadi!" jerit Arsha di dalam hati.

"Derra—"

"Mau kita putus?" ancam Derra tiba-tiba mendapatkan ide gila yang tak masuk akal

Arsha menggaruk tengkuk yang sudah berkeringat dingin.

"Kapan jadiannya? Udah mau bilang putus saja."

"O-oke. Kita ke asrama dulu, enggak jauh dari sini. Soalnya aku harus ganti baju dulu," ucap Arsha sambil memutar otaknya.

"Itu baru pacar yang pengertian," sahut Derra sambil mengeluarkan seperangkat perang dari tas.

"Belum selesai juga?"

Arsha menggeleng melihat pemandangan di dalam mobil yang sudah berserakan peralatan Derra bahkan ke kursi  di mobil yang hendak ia duduki.

"Namanya juga perempuan. Tolong ambilkan Angled contour brush di tas plastik bening!" perintah Derra masih mengoles wajahnya.

Arsha mengambil barang yang dimaksud dan membukanya dengan terkejut. Satu tas isi kuas kosmetik semua. Entah mana yang harus diambil, pikirnya dengan kebingungan. Ia asal mengambil dan menyerahkan.

"Bukan ini. Kalau yang ini kan powder brush."

Arsha mengembalikan lagi ke dalam dan mengambil yang lain.

"Bukan. Ini eyeshadow brush."

Arsha memasukkan dan mengambil lagi.

"Bukan. Ini concelar brush," sahut Derra yang pada akhirnya mengambil sendiri apa yang diperlukan.

"Ini yang aku maksud," sahut Derra menunjukkan satu benda yang membuat Arsha bingung setengah mati.

"Semua sama saja kuas. Aku tahunya kuas buat mengecat tembok."

"Heh, apa kamu bilang!" selidik Derra yang sudah kesal. Untung acara beauty class di dalam mobil sudah selesai.

"Sory, aku tidak tahu  begituan. Lagian kenapa kamu dandan secantik dan berlebihan seperti itu?"

"Gak suka?" Derra menatap Arsha tajam.

"Bukan."

"Salah lagi, salah lagi," batin Arsha.

"Bukan seperti itu. Kamu itu sudah cantik tanpa  berdandan seperti itu. Lebih baik besok dandan di depan lelaki halal kamu—aku," saran Arsha yang terus memperhatikan Derra yang sekarang sudah memasang asesoris di kerudungnya.

"Jalan. Kita berangkat sekarang!" perintah Derra dengan perasaan terbang melayang karena godaan Arsha barusan.


Selama perjalanan ke gedung resepsi, Arsha terus berdoa semoga mereka tidak dipertemukan. Untung salon dadakan Derra yang memakan waktu hampir satu jam meleset dengan waktu yang dijanjikan tadi di telepon.

Jantung Arsha bergemuruh hebat, ketika mobil memasuki pelataran parkir tak sengaja melihat sosok dia ada di depan sebagai penerima tamu undangan.

Tubuh seketika lemas, ia tak mau jika Derra mengenali masa lalunya karena jujur saat ini Arsha sudah berjanji tidak akan melepaskan Derra untuk orang lain termasuk Farhan.

"Ayo kita turun," sahut Derra bersemangat tetapi tidak untuk Arsha.

-Tbc-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro