🌻🌸Pihak Ketiga🌻🌸

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Jika kekurangan yang diperdebatkan maka tak akan ada yang menyudahinya. Cinta itu untuk menerima semua kekurangan, bukan mengubah diri sendiri menjadi orang lain~

****
Last Memory by Galuch Fema

Happy reading jangan lupa vote

Tangan terkepal kuat pelan-pelan mengendur setelah berhasil melampiaskan tangannya pada pipi Arsha. Jujur ini pertama kali melakukan seperti ini apalagi untuk orang yang paling dekat dengan dirinya. Jika tidak ada pengakuan jujur dari bibir Arsha, mungkin tidak akan berakhir seperti ini. Suasana tegang dan emosi memuncak kembali hadir di antara mereka  berdua.

"Aku harap kamu hanya bercanda, sayangnya  candaanmu terlalu kelewatan. Maaf aku terlanjur emosi sehingga melakukan seperti tadi."

Arsha hanya bisa mengamati penyesalan pada mata itu yang terlihat panik dan terus menatap tangan yang telah menampar pipi Arsha.

"Pergilah. Aku mau melanjutkan tugas lagi. Ada banyak pekerjaan yang sedang menantiku."

Arsha semakin berkecil hati, terpaksa melangkah keluar. Seandainya saja laki-laki tadi percaya dengan semua ucapannya mungkin tak akan berakhir seperti ini.

Sedangkan laki-laki yang tinggalkan Arsha hanya menatap nanar kepergian orang yang menjadi suruhannya.  Ia sangat kecewa, jelas-jelas ia melihat sendiri jika saat dipantai Arsha dan Elsa terlihat sangat dekat, menyimpan perasaan satu sama lain.

Farhan menutup beberapa dokumen karena sudah tak mampu lagi untuk meneruskan karena rasanya kepala mau pecah. Ia menggerakkan  mouse dengan pandangan tertuju pada layar di depan. Bukan file yang dicari melainkan galeri yang menyimpan beberapa foto dengan masa lalunya. Gadis itu selalu tersenyum bahkan saat dirinya pernah melukai hatinya.

Potongan memori yang sudah terkubur rapat akhirnya mencuat kembali. Ia lalu menutup rapat laptop tersebut karena sepertinya perlu merencanakan kembali rencana baru.

🌻🌸🌻🌸🌻

"APA?" pekik Derra sambil mengoleskan bedak dengan kasar di wajahnya. Tangan kiri memegang gawai dan tangan kanan tatap bersolek di depan cermin.

Suara di seberang membuat perubahan yang drastis di wajahnya. Ia menatap jam dinding di tembok. Setengah jam lagi waktu biasa berangkat kerja. Ia lalu meraih tas kantor dan beberapa berkas di atas nakas. Berlari masih menggunakan sepatu pemberian Arsha melewati meja makan.

"Mah, Derra berangkat. Sarapan di kantor saja!"

"Pakai—" Mamah terkejut melihat putrinya yang sudah di depan gerbang tengah menyetop sebuah taksi. Depan rumah termasuk jalan ramai sehingga untuk menghentikan sebuah taksi tak akan membutuhkan waktu lama.

Derra mengabaikan pesan mamah, satu-satunya tujuan saat ini adalah ke kantor dan bertemu dengan Bayu yang barusan menelponnya.

Jalanan masih pagi memudahkan gadis itu ke kantor tanpa hambatan. Buktinya seperempat jam sekarang ia sudah berdiri di depan lift.

Memencet tombol bolak-balik tetapi sepertinya lift masih penuh karena pintu di depannya belum terbuka. Wajah Derra masih panik dengan tatapan benda di tangannya. Pintu lift terbuka menampakkan  beberapa orang yang keluar hendak menuju ke lobi.

"Aduh!"

Derra tak hati-hati karena melamun sehingga berkas yang di tangan berceceran karena menabrak seseorang. Hendak menengadah ke atas untuk melihat tetapi tak berhasil mengenali wajah di balik masker. Semua  berkas sekarang berada di tangan Derra karena bantuan laki-laki itu yang sudah meminta maaf dan langsung pergi begitu saja.

"Sial," gerutu Derra dengan sangat kesal. Baru berdiri ia mencium aroma parfum yang sangat ia kenal sama seperti saat kejadian di pemakaman.

"Bodo amat," tukasnya sambil menuju dalam lift.

Di ruangan Derra, Bayu sudah menunggu dengan wajah panik.

"Bay?" sapa Derra tak kalah panik. Ia duduk di depan Bayu yang tengah menatapnya dengan kesal. Ya, sudah tiga hari laporan yang harus diserahkan tetapi masih saja ada lada dirinya.

"Dicariin nyonya besar."

Bulu kuduk seketika langsung berdiri. Bayang-bayang surat pemecatan sudah menghantui dirinya.

"Ber-kas."

Bayu mengangguk sambil terus menatap gadis yang selalu menolaknya.

"Ditunggu hari ini juga. Planning perusahan tentang produksi, marketing bakal dirombak total karena nyonya besar sudah mengetahui kemunduran perusahan setelah ditinggal kematian suaminya."

Derra menghempaskan tubuhnya untuk bersandar pada sofa. Mungkin hari-hari ke depan bakal sangat berat. Dia pasti harus stay di ruangan, bisa-bisa istirahat siang juga bakal di depan laptop. Tidak, ini tak boleh terjadi mengingat ia sering keluar kantor hanya untuk menemani Arindra shopping.

"Direktur utama sudah ada, kamu tak  boleh sesuka hati keluar saat jam kerja," tegur Bayu sambil memeriksa berkas yang Derra bawa.

"Nyonya besar yang akan jadi direktur utama?" seloroh Derra menatap Bayu dengan tatapan penasaran.

Bayu menggeleng lemah, ia memikirkan Derra yang sekarang kinerja mulai menurun. Jangan sampai dikeluarkan mengingat sekarang sudah ada yang menempati posisi paling atas di perusahaan.

Derra tersentak kaget, ia menegakkan tubuhnya seraya bertanya, "Siapa? Bukankah almarhum tidak mempunyai keturunan?"

"Orang pilihan almarhum,  pernah berwasiat saat masih hidup."

Derra meraba tangan, pagi-pagi begini sudah membicarakan orang yang meninggal. Mana ruangan dingin banget karena Bayu menyetel AC dengan suhu yang rendah.

"Sudah ketemu sama itu orang? Tua atau muda? Ganteng apa jelek?"

"Kamu itu selalu saja melihat orang dari penampilan luar saja," tukas Bayu dengan kesal karena dari dulu dia ditolak terus sama manager marketing ini. Senyum tersungging di bibir Derra membuat Bayu ingin segera memiliki tapi bayangan tentara itu membuat pikirannya menjadi berantakan.

"Laporan data untuk shopping goods sama new insought goods mana?" tanya Bayu sambil terus membolak balik kertas tersebut karena belum menemukan apa yang ia cari.

"Ada di situ."

"Tidak ada, Derra?"

"Sebelum aku ke sini, sudah jelas-jelas aku masukkan bareng berkas itu," protes Derra merasa di pojokkan.

"Cari saja sendiri!" perintah Bayu sambil menaruh berkas itu di pangkuan Derra.

"Kalau sudah, bawa ke mejaku. Tuh, di meja sudah ada planing marketing yang sudah ditandatangani oleh direktur yang baru."

Derra tak memedulikan ucapan Bayu, jemarinya tangkas meneliti lembaran yang jelas-jelas ia persiapan sebelum berangkat.

"Tidak ada," keluhnya singkat dengan tatapan tak percaya. Kemana hilangnya satu berkas itu? Ia kembali teringat ketika berpapasan dengan seseorang di depan lift yang mengakibatkan berceceran.

"Apa mungkin orang tadi? Untuk apa mengambil barang tak penting bagi dia?"

Derra bangkit dengan malas, untung masih menyimpan file berkas itu. Mau tak mau ia mencetak lagi karena Bayu menginginkan sejak tiga hari yang lalu.

Pandangan Derra tertuju pada sebuah tanda tangan di atas kertas yang menarik perhatiannya.    Sayangnya hanya sebuah tanda tangan saja tidak ada nama yang tertera mengikuti coretan tangan itu.

Sebuah ketukan dari pintu yang menampakkan  seseorang tengah berdiri di sana. Seorang office boy tengah menenteng kantung keresek putih sambil berjalan mendekati Derra.

"Ada titipan dari seseorang yang memakai baju tentara untuk Mbak Derra."

Gadis itu setengah kaget, ia melupakan seseorang yang harusnya sebelum berangkat sudah ia kabari jika ia akan berangkat sendiri.

Dengan cepat meraih gawai untuk menghubungi orang tersebut. Melalui videocall wajah di seberang terlihat tak seperti biasa seperti sedang dirundung masalah yang berat.




Arsha yang sudah menunggu setengah jam di atas motor dekat lobi utama tempat Derra bekerja. Bujuk rayu kepada satpam tak memperbolehkan untuk bertemu dengan Derra. Tapi dengan bantuan office boy setidaknya sekotak susu beserta roti  yang ia beli tetap bisa sampai kepada Derra.

Arsha mencoba tersenyum melihat layar di depannya. Senyuman sekarang terasa berat, menatap wajah di depan yang ada rasa cintanya akan tumbuh setiap detiknya. Padahal sejak baru datang di lobi ini, ia  berpapasan dengan orang yang berani menamparnya kemarin. Saat tadi mereka sama-sama terkejut karena bertemu di tempat ini, orang itu buru-buru pergi. Sekarang, masalah tambah panjang dan rumit.

"Maaf."

Hanya satu kata keluar dari sana. Arsha menelan bulat-bulat rasa kecewa di dalam dada. Ia hanya bergeming sambil menatap gadis itu yang tengah sibuk mencari sesuatu di atas mejanya.

"Tadi ada panggilan dari Bayu yang mengabarkan direktur utama yang baru di sini datang,  aku terpaksa buru-buru berangkat."

Tubuh Arsha menegang. Jadi kedatangan dia barusan ke tempat ini untuk ....

"Sa, kamu ketemu sama orang itu?"

Derra mengernyitkan keningnya sambil memperjelas penglihatan menatap Arsha yang masih duduk di atas motor di depan lobi utama kantor.

"Ketemu siapa?"

"Direktur utama kamu yang baru?" tuduh Arsha yang sudah panas dingin. Ia tidak menyangka jika dia akan keluar dari persembunyiannya saat ini juga, padahal saat perencanaan akan muncul jika Derra sudah bertekuk lutut pada Arsha. Namun kenapa ia harus muncul saat ini juga?

"Apa karena aku sudah bertindak di luar kendali?" batin Arsha terus bertanya-tanya.

Tubuh Arsha sedikit rileks melihat gelengan kepala Derra.

"Aku datang, dia sudah pergi. Padahal jelas-jelas aku ingin bertemu dengannya?"

Arsha tak paham dengan kalimat terakhir yang Derra ucapkan. Semoga saja ini hanya gurauan saja.

"Apa maksud kamu?"

Derra menyadari kesalahannya karena ucapan barusan. Jelas-jelas dirinya dengan Arsha telah bersepakat jika akan menjalani hubungan mereka ke arah yang lebih serius lagi.

"Maaf. Bukan membuatmu cemburu. Aku cuma penasaran saja siapa direktur di sini."

"Kamu jangan dekat-dekat dengan dia. Sudah tua, keriput, peyot dan tinggal menunggu ajal saja," kekeh Arsha agar Derra menyetujui permintaannya.

"Serius?" tanya Derra tak percaya karena dilihat dari coretan tanda tangan menggambarkan jika direktur utama di sini tak seperti yang Arsha lontarkan.

"Kamu nanti pulang naik taksi, ya?"

"Kenapa?" protes Derra kesal. Tahu seperti ini tadi ia memakai mobil miliknya saja.

"Aku ada latihan sepak bola nanti sore di lapangan."

Tampak raut kecewa wajah Derra semakin menjadi. Arsha hanya menatap sedih, ini adalah alasan saja agar mereka berjauhan terlebih dahulu setelah hubungan dirinya dengan Farhan membaik. Kebetulan juga nanti ada latihan sepak bola bisa menjadi alasan.

"Tidak apa-apa," sahut Derra memaklumi karena Arsha tidak dapat dikenakan masalah waktu mengingat ia bisa dibutuhkan setiap saat jika ada tugas mendadak.

"Kamu tidak marah?"

"Tidak. Aku bisa pulang bareng Arindra saja."

"Terima kasih. Kita ketemu besok," sahut Arsha bersiap-siap mematikan tombol telepon tetapi sayang gerakan tangan terhenti ketika layar menampilkan lambaian  tangan gadis itu sambil berbisik lirih, "I love you."

Ungkapan dari gadis itu membuat Arsha tidak fokus dalam pekerjaannya. Hampir saja ia salah menginput data mengingat Arsha di kesatuan sebagai tenaga administrasi.

Secepat itu Derra jatuh ke dalam perasaan yang sama dengan dirinya. Dalam hitungan hari yang bisa dihitung dengan jari, gadis itu mengungkapkan perasaan dari hati. Padahal ia sendiri pernah  berkata seperti itu saat pertama kali kenal saat asmara belum bermuara dalam hatinya.

Kaos bola dan celana pendek sudah menyatu pada tubuh Arsha. Hari ini ada jadwal latihan mengingat pertandingan akan digelar sebentar lagi. Oleh karena itu ia harus bermain maksimal. Lagi-lagi ia tidak fokus, bayanga  Derra masih saja melintas di otaknya.

"Arsha!" pekik para penonton menyemangati Arsha yang gagal memasukkan bola ke kandang lawan padahal ini sudah setengah permainan. Dengan tertunduk lesu, Arsha melangkah menuju tepi lapangan untuk beristirahat. Merebahkan tubuh dengan terjulur ke depan sepertinya mengurangi rasa letih pada kakinya.

"Sore."

Tubuh Arsha terlonjak mengubah posisi menjadi duduk melihat seseorang yang ia pikirkan tengah berada di sampingnya.

"Sa, kamu sama siapa ke sini?"

Arsha menatap samping kanan dan kiri. Yang ada hanyalah rekan kerjanya saja.

"Sama Arindra, dia mengantar hanya sampai depan saja."

"Untuk apa kamu kemari?"

Arsha masih belum paham maksud kedatangan Derra ke lapangan ini.

"Ketemu dengan kamu? Ada masalah? Ada yang keberatan? Atau jangan-jangan ada yang cemburu?"

Senyuman Arsha langsung mengembang meruntuhkan keraguan sehari ini. Melihat kedatangannya menguatkan kembali hatinya yang tak akan goyah walaupun akan ada yang menghadang.

Di balik pagar lapangan sudah berdiri seseorang berkaca mata hitam tengah meremas selembar kertas yang sedari tadi dicari oleh Derra.

"Awas kalian!"





-Tbc-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro