🌻🌸Terperangkap 🌻🌸

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Dan pada kenyataannya, akan ada seseorang yang menguatkan. Entah dengan cara tersakiti atau tersemangati~

***
Last Memory by Galuch Fema

Happy reading jangan lupa vote

Suara ombak yang tergulung dari tengah laut pada akhirnya akan terpecah di bibir pantai. Ombak itu bisa memilih kembali ke laut lepas atau akan mengering bersama pasir yang disinari matahari.

"Aku tak bisa jika tidak melibatkan perasaan jika bersama dia," sahut Arsha dengan jujur dan berat hati. Ia pasrah saja jika laki-laki di depannya akan melampiaskan emosi pada dirinya karena tak mengikuti sandiwara sesuai yang mereka rencanakan.

Wajah di seberang yang tertutup oleh masker seketika kaget, ia menatap Arsha sambil mengerutkan kening mencari jawaban jujur pada mimik wajah Arsha.

Seketika tepukan pelan di bahu Arsha, "Aku tahu pasti kamu berbohong."

Arsha hanya bisa mengembuskan napas sambil menahan gejolak di hatinya. Jangan sampai orang tersebut tahu perasaanya pada Derra.

"Aku tidak bohong, aku suka sama Derra."

Sayang ucapan tersebut hanya terdengar di hati Arsha sendiri. Ia kembali menatap ke belakang, sayangnya Derra tak terlihat dari pandangan matanya. Mungkin saja gadis itu sedang  bermain ombak atau pasir pantai.

"Aku akan di sini dulu memastikan jika kamu tak benar-benar suka sama Derra," sahut pria itu menuju mobil yang terparkir di jalan tepi pantai.

Di tempat yang tak jauh dari tempat Arsha, Derra tengah bersembunyi di balik pohon kelapa. Kedua telinganya jelas sekali mendengar percakapan dua laki-laki  dewasa. Jantungnya terus berdegup kencang mendengar sepotong penggalan kata-kata yang menjadi teka-teki sekarang di otaknya.

Dari pertama, Derra sudah curiga kedatangan Arsha secara tiba-tiba. Tentara itu bukanlah orang di masa lalunya tetapi orang baru yang datang membawa sekelumit misteri yang harus ia dapatkan jawabannya.

Derra langsung berlari kembali menuju bibir pantai saat melihat Arsha tengah berjalan ke arahnya yang sedang bersembunyi.

Gadis itu langsung menuju batu-batu karang dan segera duduk di sana. Matanya melihat kembali ombak yang terus bergulung tetapi otaknya masih berpikir bagaimana menemukan cara agar ia bisa bermain dalam sandiwara yang sedang diperankan Arsha.

Mata Arsha yang sedari tadi panik mencari keberadaan Derra akhirnya menemukan sosok gadis yang sedang duduk di atas bebatuan karang. Ia pun duduk di samping dengan jarak agar berjauhan. Sempat melirik wajah ayu tersebut tetapi kembali teringat ucapan laki-laki barusan jika tak ada kata cinta diantara dirinya dengan Derra.


"Ada masalah?" tanya Arsha hati-hati karena setelah seperempat jam duduk di samping Derra, gadis itu hanya diam dan melamun.

"Tidak."

Jawaban Derra belum membuat Arsha tenang. Sikapnya yang tiba-tiba berubah mengisyaratkan jika Derra sedang tidak baik-baik saja.

"Katakanlah, sepertinya kamu menyembunyikan sesuatu," paksa Arsha penasaran.

Derra langsung menatap Arsha dengan tatapan hangat karena ini adalah kesempatannya.

"Apa bukan sebaliknya? Kamu yang menyembunyikan sesuatu?" tuduh Derra tak mau kalah.

Tubuh Arsha menegang. Ia sempat berpikir jika bisa saja Derra mendengarkan percakapan dirinya dengan orang itu.

"Ini tidak boleh. Dia tidak boleh tahu," kecam Arsha dalam hati.

Derra kemudian tersenyum dan tersadar jika sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk mengungkapkan. Ia tertawa pelan sambil menutup mulut agar tak mencurigakan.

Gadis itu menggeser duduknya menjadi bersebelahan dengan Arsha, tepatnya lengan mereka sangat dekat. Tangan kiri Derra langsung memeluk lengan Arsha sambil meletakkan kepalanya di bahu Arsha.

"Siapa menabur angin, harus siap menerima badai. Jangan buat rumah ditepi pantai kalau takut sama gelombang," bisik Derra lirih sambil memejamkan matanya sekejab menikmati kebersamaan mereka.

Namun, tidak untuk Arsha yang tubuhnya langsung menegang mendapat perlakuan yang tak terduga dari Derra. Jujur hatinya mengakui jika terbesit sebuah rasa untuk gadis ini tetapi untuk sentuhan fisik seperti ini, ia belum siap. Deru jantungnya berpacu cepat, ia berdoa agar Derra tak mendengar laju jantungnya. Keringat dingin sudah bercucuran ibarat mengelilingi lapangan batalyon.

Dengan gemetar, tangan Arsha melepaskan kaitan tangan Derra yang sedang memeluk lengannya. Ia bergegas berdiri sambil menatap laut lepas untuk menahan konflik batinnya.

Derra melirik sambil tersenyum menatap wajah panik yang masih berdiri di sampingnya.

"Aku ikuti aturan permainan kamu karena aku bukan orang bodoh," pekik Derra dalam hati tertawa riang.

Arsha kembali teringat, ia melupakan seseorang yang sedang mengawasinya dari jauh. Ia berbalik badan dan menemukan orang tersebut tengah menatapnya tajam sambil berbalik menuju mobil.

"Bakal ada masalah, pasti dia salah paham," batin Arsha.

Arsha memilih berjalan menuju tepi pantai, ia butuh tempat untuk istirahat. Mengingat tubuh dan otaknya yang sudah hilang kendali ketika berdekatan dengan Derra. Sebuah kursi pantai di bawah payung tempat satu-satunya beristirahat. Toh biarkan gadis itu bermain dengan ombak atau pasir dibandingkan bermain dengan perasaannya yang semakin sulit untuk berjauhan dengan Derra.

Terpaan angin pantai terasa di wajah Arsha. Bukankah tadi ia menutup wajah dengan topi agar bisa secepatnya terpejam. Mata dipaksakan untuk membuka agar tersadar dari alam mimpi.

Sebuah wajah perempuan tengah menatapnya dari atas sambil tersenyum. Tangannya yang memegang topi digerakkan di atas wajah Arsha berusaha untuk membangunkan.

"Elsa?" sapa Arsha dengan terkejut. Ia baru teringat jika dirinya sudah mengajak ke pantai dan meninggalkannya memilih tidur.

"Jam  berapa sekarang?" tanya Arsha mengucek mata sambil mengumpulkan kesadarannya.

"Satu jam lebih kamu tertidur," jawab gadis itu sambil duduk di samping Arsha. Lagi-lagi Derra bersikap agresif membuat Arsha terkejut. Ia menggeser tubuh agar tak lagi  berdekatan. Sayangnya telat, lagi-lagi lengannya sudah berada di pelukan tangan Derra.

"A-apa kita pulang sekarang?" tanya Arsha terbata-bata karena gugup dan cemas  jika masih ada mengawasi kedekatan dengan Derra.

"Aku tidak ingin mengakhiri kebersamaan kita secepat itu," bisik Derra di telinga Arsha membuat bulu kuduk berdiri.

"Kenapa kamu jadi seperti ini?" Arsha semakin kebingungan.

"Bukankah kamu yang menginginkan kita dekat seperti ini?" goda Derra sambil mengerlingkan salah satu matanya.

Sontak Arsha langsung sigap berdiri, mengabaikan Derra yang hampir terjatuh jika tidak berpegangan pada kursi pantai. Benar saja, wajah itu langsung berubah kesal.

"Ak-aku cari minuman dulu," tukas Arsha asal. Semoga saja yang jual minuman letaknya jauh sambil mengembalikan denyut jantung sepertinya butuh lama untuk berdetak normal.

Baru beberapa langkah angin pantai berdesir membuat Arsha kembali lagi. Ia mengambil jaket yang dijadikan penyangga saat terlelap. Derra tak menyangka jika jaket itu sekarang membungkus tubuhnya.

"Terima kasih," sahutnya sambil memasang senyum paling manis.

"Aku tak mau kamu masuk angin gara-gara pantai. Papah kamu sangat menyeramkan jika sedang marah."

Arsha langsung buru-buru pergi meninggalkan Derra yang lagi-lagi sudah cemberut.

Derra menatap Arsha yang pergi menuju tepi jalan raya. Senyuman licik tersungging di bibir merah Derra.

"Kita lihat siapa yang akan kalah dan siapa yang akan menang," bisik Derra mengambil topi dan kaca mata hitamnya.

"Sepertinya jika ke pantai tak bermain air kurang puas," sahutnya sambil  berlari menuju pantai. Ia sengaja membasahi kakinya beradu dengan ombak yang sedang berlari ke arah Derra sehingga bagian bawah yang dikenakan sudah basah.

Untung saja jaket Arsha masih ia pakai karena angin sore semakin lumayan berembus. Hari ini ia sangat puas menikmati pantai, debur ombak dan pasir. Sudah lama ia tak ke pantai karena larangan papahnya. Entah rayuan maut apa yang membuat Papah luluh oleh Arsha.

"Minum!"

Derra sontak memundurkan laju langkahnya karena tiba-tiba botol mineral sudah ada beberapa senti di depan wajahnya. Lagi-lagi seperti ini. Ia langsung merebut karena lumayan haus. Mereka berjalan beriringan tepi pantai, Arsha tetap memilih jarak karena takut serangan tangan Derra yang sudah dua kali bertengger di lengannya.

"Kapan orang tua kamu datang?" sahut Derra sambil menikmati wajah di samping. Pantas saja Arindra terlalu menggebu untuk mendapatkan Arsha. Sering kali sahabatnya ngambek tidak jelas saat Arsha mengantar atau menjemputnya.

"Datang? Orang tua aku?" tanya Arsha tak paham dengan yang dibicarakan oleh Derra.

Derra mengangguk dengan pasti sambil terus mendekat ke samping Arsha.

"Untuk apa orang tuaku datang?"

Arsha semakin bingung.

"Datang untuk apa?"

Derra tersenyum sambil berucap, " Untuk lebih mengenal aku bersama orang tuaku."

Arsha menahan laju langkahnya. Ia menghadap gadis itu dengan tatapan yang sulit diungkapkan. Bukankah ini keinginannya? Sandiwaranya? Membuat Derra terjebak ke dalam rencananya? Namun setelah semua sesuai dengan direncanakan dan tinggal selangkah lagi mengibar bendera kemenangan tetapi ada rasa yang mengganjal di hatinya. Tatapan mata hangat Derra membuat pertahanan Arsha goyah.

"Kamu yakin mau hidup bersama dengan aku?" tanya Arsha berharap Derra menolak keingainannya. Sayang, ia mengangguk dengan semangat.

"Hidup bersama seorang prajurit negara yang suatu saat kapan pun bisa ditugaskan di mana pun."

Lagi-lagi Derra mengangguk.

"Sudah siap kehilangan jika suatu saat nyawa jadi taruhan saat di medan perang?"

Manik mata Derra langsung bergerak cepat walaupun bibir masih terkatup rapat. Arsha semakin mengerti perubahan wajah Derra.

"Ak-aku ...."

Arsha tersenyum sambil memegang kedua bahu Derra.

"Tak usah dijawab. Aku tahu, kita nikmati kebersamaan kita sekarang."

Derra mengangguk pura-pura malu dan tersenyum. Ia lalu merengkuh kembali lengan itu sambil terus berjalan menyusuri pantai menuju mobil Arsha terparkir. Sekarang tak ada penolakan sama sekali dari laki-laki itu.

"Tuhan, pintaku hentikanlah waktu saat ini juga karena aku tidak ingin kebersamaan ini berakhir," pinta Arsha dalam hati.


Mobil Arsha langsung melaju meninggalkan rumah Derra, karena buru-buru ia tak berpamitan dengan papah Derra yang sudah memberikan izin untuk mengajak Derra pergi.

Suara musik pelan mengalun di dalam mobil, sejujurnya Arsha kurang menyukai musik tetapi terpaksa ia melakukan untuk mengusir rasa gundah di hatinya.

Mobil melaju menuju sebuah rumah besar dan langsung masuk ke dalam. Dengan bergegas ia menyeruak masuk karena memang pintu tak terkunci.

Langkahnya terhenti ketika berhadapan dengan seorang laki-laki yang sedang sibuk dengan berkas-berkasnya.

"Ak-aku minta maaf. Apa yang kamu lihat tak seperti apa yang kamu bayangkan," tukas Arsha membela diri.

Merasa di sapa oleh Arsha, mata itu hanya melihat Arsha sekejap saja kemudian fokus kembali pada sederetan angka yang membuat otaknya harus berpikir keras.

Merasa diabaikan, Arsha langsung mendekat untuk memperjelas biar tidak terjadi salah paham.

"Aku kecewa sama kamu."

Satu kalimat yang membuat Arsha terperangah kaget. Ia menggeleng keras.

"Ak-aku tidak tahu jika dia—"

Sebuah bogem mentah langsung mendarat di rahang Arsha, ia jatuh tersungkur. Badannya sakit karena membentur sebuah lemari kayu jati. Tangan kanan terus memegang rahang yang nyeri, ia bangkit. Jujur ia bukan orang lemah tetapi terhadap satu orang ini ia akan bertekuk lutut mengingat jasanya yang sudah membiayai pendidikan sampai menjadi seorang tentara.

"Dengarkan aku dulu."

"Apa yang harus aku dengar. Dari pertama aku sudah memperingatkan jangan bawa hati dan perasaan untuk masalah ini."

"Ak-aku tak suka dengan Elsa," tukas Arsha berbohong agar orang di depan percaya.

"Aku percaya dengan omongan kamu tapi tidak dengan mata kamu yang tak bisa berbohong. Aku tahu diam-diam kamu menyukai dia, kan?"

Merasa terus dipojokkan  Arsha tertunduk, ia sangat lelah dijadikan korban seperti ini. Dengan pelan menengadah menatap mata yang sudah marah dan liar hendak menerkam mangsanya.

"Aku akui jika aku sudah jatuh cinta sama dia." 

Arsha tak gentar berkata demikian, dengan napas terengah dan keringat bercucuran sekarang ia mendapatkan  sebuah tamparan yang sangat keras.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro