🌸🌻Jebakan Farhan🌸🌻

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jangan menyimpan nama seseorang dalam hati karena hati mudah berubah. Namun, simpanlah dalam doa karena doa akan tercatat di langit.

***

Last Memory by Galuch Fema


Maaf baru bisa lanjut cerita di wattpad setelah sibuk di dunia biru. Happy reading, jangan lupa vote

Mata menatap langit-langit sambil terus membayangkan apa yang terjadi dengan mereka.  Derra paham jika Arindra  dari dulu menaruh rasa suka pada Arsha.

Arsha sendiri kenapa tidak  berterus terang jika hari ini ada urusan dengan sahabatnya. Derra memijit keningnya yang terasa sakit.

"Kamu!" pekik Derra terkejut dan bangkit dari kursinya. Terlalu lama melamun tak menyadari kehadiran seseorang.

Senyum bulan sabit dengan sedikit lesung pipit tengah duduk santai di hadapan Derra.

"Ada apa kemari?" sanggah Derra merasa tak nyaman karena Farhan terus memperhatikan secara berlebihan.

"Minumlah," bujuk laki-laki itu sambil menyodorkan teh hangat di atas meja untuk lebih dekat dengan posisi Derra.

"Tak perlu," bantahnya sengit. Sampai kapan pun tak akan mau menerima sesuatu dari masa lalunya termasuk cinta Farhan.

"Aku tahu hatimu sedang kacau."

Suara laki-laki itu terdengar lembut masuk ke dalam relung jiwanya. Ibarat paranormal laki-laki itu bisa menebak isi hati Derra. Gadis itu berpikir apakah raut wajahnya terpancar sedang patah hati sehingga Farhan bisa menebak isi hatinya?

"Aku tidak apa-apa."

Mulut bisa  berkata seperti itu tetapi suara berat dan mata berkaca-kaca sudah menggambarkan apa yang sedang Derra rasakan.

"Apa laki-laki itu menyakiti kamu?" tuduh Farhan dengan wajah ikut berubah sengit.

Pikiran Derra langsung tertuju pada Arsha.

"Apa yang kamu lakukan bersama Arindra?" bisiknya dalam hati.

"Tidak," jawab Derra sambil pura-pura tersenyum  seolah hatinya baik-baik saja.

"Jika laki-laki itu menyakiti kamu, aku akan langsung menghajar dia."

Farhan menyatukan kedua telapak tangan siap memukul laki-laki itu karena dendam ini sudah pendam saat mengetahui ternyata ada rasa diantara mereka.

"Dia tentara," cibir Derra sambil tersenyum sinis melihat ke arah Farhan setengah meremehkan.

"Terus kenapa kalau dia tentara? Kartu dia ada sama aku," bisik Farhan lirih keceplosan berbicara membuat ekor mata Derra langsung melirik tajam ke arah pimpinannya.

"Maksud bapak?" selidik Derra penasaran.

"Sudahlah. Kita bahas pekerjaan ini saja."

Farhan sudah mengeluarkan laptop dan beberapa dokumen untuk segera didiskusikan dengan Derra. Gadis itu mau tak mau kembali menuju kursinya karena sudah menyangkut pekerjaan  tetapi untuk kali ini hanya menjadi audiens saja karena otak belum bisa memecahkan angka-angka itu karena sosok Arsha masih bersarang di kepalanya.

"Pasti laki-laki itu yang membuat kamu gagal fokus hari ini," tukas Arsha dengan ketus sambil menutup laptop dan segera pergi menuju ke ruangannya.

Farhan langsung ke ruangan hanya meletakkan dokumen saja selanjutnya pergi ke suatu tempat. Biarkan saja bawahannya yang meneruskan pekerjaan. Mumpung saat ini ia menjadi atasan jadi sesekali bisa keluar masuk perusahan sesuka hati dia. Pekerjaan bisa dikerjakan secara online jadi tidak mengharuskan stay di tempat kerja.


Bau obat-obatan seakan sudah menyatu dengan indra Farhan. Sesibuk apa pun dia pasti akan ke sini juga menengok wanita yang sudah melahirkannya tengah berjuang dengan maut.

Baru di ujung pintu dengan tangan yang masih menempel di gagang pintu, ada rasa keengganan untuk masuk. Bagaimana tidak harus bertemu dengan laki-laki itu. Padahal dia tadi di kantor sudah berniat untuk menghajar orang yang sudah membuat Derra bersedih. Jika bukan di depan Mamah pasti pertikaian sudah terjadi seperti biasanya.

Derap langkah Farhan terus mendekat brankar, membuat Arsha menatap sekilas. Sayangnya mata yang sudah lama menahan nyeri sakit masih terpejam sehingga tidak melihat putra kesayangan datang.

"Masih  belum sadar habis kemoterapi."

Farhan diam saja tak menanggapi ucapan barusan. Mengusap rambut yang sudah berubah putih dan tipis karena banyak yang berguguran. Satu kecupan mendarat di kening Mamah.

"Apa yang kamu lakukan kepada Elsa?" tanya Farhan dengan nada sengit.

Arsha terbelalak kaget. Pertemuan tadi pagi tidak ada masalah karena hubungan baik-baik saja. Entah apa maksud ucapan Farhan tetapi dari dulu memang dia tak pernah suka dengan kedekatan mereka.

"Maksud kamu?" tuduh Arsha tak kalah sengit. Paling tidak suka kalau Farhan menyebut nama kekasihnya.

"Pagi-pagi sudah murung saat berangkat kerja. Siapa lagi kalau bukan kamu yang membuat dia sedih."

Suasana langsung memanas, menahan emosi mati-matian agar tidak meledak di tempat seperti ini. Tempat yang mengharuskan suasana tenang karena tempat untuk orang yang sedang sakit.

Arsha terus memikirkan tiap ucapan Arsha. Tadi pagi setelah mengantarkan Derra ia sudah sangat berhati-hati mengajak Arindra pergi. Itu pun menunggu Derra benar-benar masuk. Jangan-jangan memang  Derra kesal karena Farhan terus menggangunya saat jam kerja.

"Sepertinya kamu sendiri yang lancang mendekati dan membuat dia bad mood."

Tatapan tajam dari ekor mata Farhan mengarah pada Arsha.

"Jaga ucapan kamu!" pekiknya dengan suara sedikit meninggi.

Tawa lirih mengejek menambah lagi suasana menjadi panas.

"Benar bukan kamu yang membuat dia seperti itu?"

Jemari sudah tegang hendak menerkam mangsa. Jika hati tak menahan emosi mungkin Farhan sudah menghajar habis-habisan.

"Apa aku salah mendekati Elsa karena dia tetap milik aku. Sejujurnya diantara kita belum ada kata pisah. Jadi wajarlah kalau aku masih  berhak mendekati dia."

Gantian sekarang Arsha yang meradang merasa tak terima. Walaupun fisik masih bisa menahan hati yang panas tetapi tidak dengan angan mereka yang sudah adu jotos karena masing-masing tak terima.

"Jangan sampai Derra jatuh kembali pada laki-laki macam kamu," ancam Arsha yang sudah meradang. Sepertinya pergi dari sini lebih bagus dibandingkan nanti dirinya diamankan satpam karena berkelahi di tempat ini.

Baru beberapa langkah menuju pintu, terdengar erangan lirih dari belakang.

"Farhan?" panggil Mamah dengan lirih tetapi cukup terdengar di telinga Arsha yang beberapa langkah lagi sampai di pintu.

Laki-laki tubuh tegak itu langsung membalikkan  tubuhnya melihat mereka berpelukan erat. Bahkan tangan Mamah sempat mengusap kepala putra kesayangannya.

"Kapan datang?" tanya Mamah sambil tersenyum bahagia.

"Sudah beberapa jam yang lalu," tukas Farhan  berbohong sehingga membuat Arsha ingin merobek mulut itu. Padahal laki-laki itu baru datang beberapa menit yang lalu.

Arsha mending memilih diam, percuma  bersuara karena dari dulu tak pernah dianggap. Ia mending bertahan menyaksikan kebohongan apalagi yang sedang Farhan rencanakan.

"Kenapa tidak membangunkan Mamah saja?"

Farhan kembali tersenyum sambil menggenggam tangan Mamah dan mengecup punggung tangan.

"Farhan tidak akan menggangu Mamah saat istirahat."

"Arsha mana?"tanya Mamah melirik ke samping karena sebelum mata terpejam, wanita itu paham betul siapa yang menjaganya.

Farhan enggan menjawab, ekor mata melirik ke arah pintu sudah memberi isyarat kepada Mamah. Ekor mata Mamah melirik ke arah pintu.

Arsha hanya bisa merasakan jika tatapan terasa hambar dan dingin tak sehangat kepada Farhan. Arsha hanya bisa menelan ludah pekat, berusaha menghibur hatinya yang sakit. Lebih baik pergi saja dibandingkan bertahan di tempat ini.

"Kapan kamu ajak Elsa menemui Mamah."

Arsha kembali lagi menghentikan langkahnya saat nama kekasihnya disebut. Ia kembali menatap belakang dan Farhan tengah menatapnya dengan memasang senyum licik kepada Arsha.

"Mamah mau ketemu sama Elsa?" Farhan seakan bisa mencari celah agar Arsha tambah meradang.

"Ya. Mamah ingin bertemu sebelum mati."

Kedua laki-laki di sana terlunjak sangat kaget, menatap wanita yang tubuhnya semakin hari semakin menurun drastis.

"Jangan katakan seperti itu. Farhan janji akan membawa Elsa kemari kalau perlu saat ini juga."

Arsha kembali terkejut. Ia tak boleh membiarkan Derra kemari bertemu dengan keluarga Farhan.

"Serius kamu akan membawa Elsa kemari?" tanya Mamah dengan wajah berbinar.

Mamah mengangguk bahagia, bahkan setitik air mata bahagia hampir jatuh dari pelupuk matanya.

Arsha mengepalkan tangan karena ia tak mungkin membiarkan ini terjadi.

Sementara Farhan merasa ini tugas yang sangat berat, mengajak Elsa kemari sama saja membuat klien deal atas kerjasama bisnis.

Otak berpikir bagaimana merayu Elsa kemari, mengajak berbicara saja, dia sangat tidak bersemangat. Sangat sulit melunakkan hati dia setelah perpisahan mereka apalagi hati Derra sudah terpaut pada Arsha.

Arsha juga mendengar barusan, pasti dia tidak rela jika Elsa kemari.

Farhan berdiri berpamitan dengan Mamah.

"Mau balik ke kantor karena Farhan sudah terlalu lama di sini. Masih banyak pekerjaan yang harus dikerjakan,"  ucapnya sambil mengecup pipi tirus yang  tinggal tulang pipi saja karena sebagian daging sudah mengikis digerogoti sel kanker yang ganas.

Mamah mengangguk hendak meneruskan  istirahat karena pasca kemoterapi hari ini entah mengapa tubuhnya semakin melemah.

Di samping pintu Farhan menatap Arsha yang sedari tadi bertahan dekat pintu.

"Jaga Mamah aku, nanti sore aku kemari lagi  tentunya bersama Elsa."

Ingin sekali Arsha menampar mulut itu. Ia sama sekali tak  bisa menjaga perasaannya. Apalagi senyum dia menusuk ulu hatinya.

"Jangan sampai kamu membawa Elsa kemari karena aku tidak akan membiarkannya. Kalau perlu langkahi dulu mayat aku," bisik Arsha setengah mengancam.

Farhan tak memedulikan ucapan Arsha, ia tetap berjalan dengan gagahnya menuju pintu keluar. Mau tak mau Arsha kembali lagi menuju dalam karena tak mungkin membiarkan wanita itu sendirian di dalam.

Selalu saja ia yang kalah dan untuk kali ini Farhan kembali yang menang tetapi nanti sore berniat akan datang menjemput lebih awal agar Derra bisa pulang  bersamanya.


Farhan tampak bingung setengah mati saat sudah sampai di kantor. Ia tak tahu bagaimana membujuk Elsa untuk ikut bersamanya. Tadi saja saat berpapasan sebelum masuk, Elsa sudah membuang tatapannya saat keduanya tak sengaja saling bertemu.

Farhan meremas rambutnya membuat sedikit acak-acakan. Menyatukan kedua tangan untuk menumpu kepalanya yang terasa berat. Jika bukan keinginan Mamah ia tak mungkin seperti ini.

"Coba saja dulu lah," ucapnya sendiri tetapi dengan nada pasrah.

Ia lalu menuju ruang Elsa  yang masih berada di lantai yang sama tetapi bagian paling ujung. Melewati kubikel yang mendadak hening saat dirinya lewat. Namun, setelah sampai ujung kembali lagi terdengar cicit suara di sana. Farhan  hanya bisa menggeleng.

Farhan  langsung masuk dan benar saja gadis itu masih asyik dengan lamunannya.

"Sudah makan siang?" tanya Farhan dengan penuh perhatian.

Elsa hanya melengos kemudian pura-pura sibuk menatap layar monitor padahal ia tak tahu apa yang sedang ia lihat dan kerjakan.

"Hari ini temani saya meeting di luar."

Elsa yang mencibir pelan. "Maaf bukan tugas saya. Ada bagian lain yang lebih pantas mendampingi bapak bukan saya. Lagian pekerjaan saya masih banyak."

"Biarkan tugas kamu dikerjakan tim marketing yang lain," rayu Farhan yang sudah panas dingin menanti jawaban penolakan dari Elsa.

"Cuma sebentar saja, kan? Ada tim marketing lainnya yang juga ikut meeting?"

Bagaikan mukjizat jika Elsa berkata seperti itu. Wajah Farhan langsung berseri dan mengangguk cepat.

"Kita berangkat sekarang. Saya tunggu di mobil!" perintah Farhan dengan tegas. Ia tidak ingin Elsa berubah pikiran makanya harus gerak cepat.

Dengan langkah lesu, Derra memasukan laptop ke dalam tas. Ia sendiri tidak paham meeting di luar untuk bagian apa soalnya dari tim marketing tidak ada pemberitahuan apa pun atau saja ada tetapi ia tak paham karena sedari tadi bergelut dengan rasa kecemasan dan penasaran terhadap Arsha.

Mobil milik Farhan sudah menunggu depan lobi, ketika Derra membuka pintu tengah cukup terkejut karena tidak ada orang lain di sana selain Farhan.

"Katanya ada tim marketing lain?" protes Derra kesal karena dibohongi. Kalau seperti ini sama saja dia  berduaan dengan pimpinannya.

"Sudah meluncur menggunakan mobil kantor."

Mau tak mau Derra masuk masih tanpa menaruh kecurigaan. Mobil melesat pelan keluar halaman perusahan dan  bergabung dengan kendaraan lain di jalanan.

Kecurigaan Derra muncul ketika mobil memasuki pelataran parkir sebuah rumah sakit.

"Pak, kok kita ke rumah sakit?" protes Derra dengan bingung.

Farhan memilih diam tanpa membalas pertanyaan Derra entah ke sekian kali dari tempat parkir sampai depan ruangan Mamah dirawat.

Sementara Arsha yang tengah menahan kantuk sangat terkejut ketika mendengar suara yang sangat ia kenal.

"Sialan, Farhan membawa Derra sekarang ke tempat ini," gerutunya sangat kesal. Arsha sangat panik, untung saja wanita itu masih terpejam.

Ia lalu memilih pergi lewat pintu samping paviliun karena tak mungkin bertemu dengan Derra di tempat ini.

-Tbc-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro