🌻🌸Teka-teki Arsha🌻🌸

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ikhlaskan semua yang berlalu pergi karena hidup tak selalu perihal senang melainkan pahitnya berjuang

****
Last Memory by Galuch Fema

Happy reading jangan lupa vote


Derra merasa ada yang aneh dengan Arsha, bisanya tiap pagi selalu memberinya kabar jika tak bisa mengantar kerja. Sudah sering bersama dengan Arsha, membuat Derra hapal semua jadwalnya.


Baru juga sampai di lobi, laki-laki itu sudah menghadang sambil berkacak pinggang. Pantas saja datang terlebih dahulu karena Derra sengaja mampir ke swalayan. Orang yang biasa membelikan bekal, hari ini absen menjemput.


Derra bersikap biasa saja, malas juga menanggapi orang seperti itu. Ia memilih tak menatap bahkan lebih baik menganggap tidak ada dengan melewati begitu saja.

Farhan tambah meradang melihat sikap Derra. Ia  segera menyusul dengan melangkah cepat di belakang Derra.

"Saya tunggu di ruangan sekarang!"

Gadis itu selalu acuh karena memilih masuk ke ruangannya. Duduk santai di kursi, netra melihat di ujung mejanya terdapat cake kecil berbentuk hati. Tanpa melihat siapa yang mengirim, gadis itu memilih bermain dengan layar ponselnya.

Derra mendengkus kesal karena hampir sepuluh panggilan ternyata sama tak diangkat teleponnya.

Ketika hendak mematikan, tiba-tiba panggilan itu terhubung. Suara lirih seperti enggan menerima telepon dan dia mengatakan baik-baik saja dan tidak mau diganggu bahkan langsung mematikan telepon. Derra langsung beranggapan jika Arsha sedang tidak baik-baik saja.

Baru hendak meletakkan telepon tiba-tiba tersentak kaget karena sudah ada seseorang di hadapannya.

"Kenapa masih di sini? Apa tidak paham kalau saya menyuruh ke ruangan saya bukan bertahan di ruangan ini?"

Derra menatap wajah angker di sana, sepertinya dia mendengarkan percakapan tadi terlihat dari raut mukanya yang memasang wajah tidak suka.

"Masih banyak yang harus dikerjakan, nanti atau besok mungkin akan ke ruangan bapak."

Farhan kesal karena Derra menyebutkan kata besok bukan hari ini atau detik ini. Padahal Farhan sudah menginginkan perjumpaan ini agar berjalan maksimal.

"Sepertinya kamu tidak sibuk, masih bisa meluangkan waktu menelpon pacar," sindir Farhan sambil melipat kedua tangan di depan dada untuk menahan gemuruh karena api cemburu yang Derra sulutkan di depan matanya.

"Saya tunggu sekarang juga," paksa Farhan membuat Derra terpaksa membuka layar laptop nya. Di sana terpapar strategi pemasaran yang cukup menggugah selera Farhan untuk segera mempelajarinya.

Setengah jam berlalu, Derra izin pergi dengan alasan ada keperluan dengan divisi lain. Farhan masih bertahan di ruangan ini sampai dikejutkan dering ponsel Derra yang tertinggal di atas meja.

"Selalu saja dia," tukas Farhan sambil menggeser layar untuk menerima panggilan dari rivalnya.

"Jangan ganggu, Elsa sedang sibuk!" pekik Farhan sambil melempar ponsel ke atas meja.

Sore yang dinanti tetap sama, dia tidak datang. Ponselnya juga mati sama sekali tak bisa dihubungi. Derra memilih pergi lebih awal sebelum waktunya pulang  sehingga membuat atasannya kembali murka.

Suasana lapangan batalyon terlihat ramai sedang latihan sepak bola di sana. Derra bisa mengamati jika Arsha ikut di sana, bahkan mereka sempat saling menatap saat Arsha masih sibuk main laga, Derra memilih duduk di tepi lapangan ditemani angin sore.

"Untuk apa kemari?"

Pertanyaan singkat tetapi menyakitkan, seperti tak ada dosa jika bertanya seperti itu.


"Memastikan baik-baik saja."

Derra enggan menatap samping, pemandangan di depan sana lebih menenangkan dibanding sosok yang tiba-tiba berubah dingin.

"Aku sudah biasa menjaga diri semdiri tak perlu ditanyakan."

Derra memilih diam, diteruskan seperti apa juga jika situasi seperti ini percuma saja. Bahkan setengah jam pun hanya berakhir sia-sia. Derra sibuk dengan ponselnya sedangkan Arsha lebih suka memainkan botol minumnya.

Arsha kembali lagi ke lapangan tanpa sepatah kata pun sedangkan Derra memilih pergi karena sia-sia saja pengorbanan kemari karena tak mendapatkan respons baik dari Arsha.

Seharusnya Derra yang lebih  berhak marah daripada Arsha yang tiba-tiba mendiamkan tanpa alasan.

Di hati Arsha sendiri sebenarnya berkecamuk perasaan yang tak jelas. Tekanan dari Farhan dan Arindra seakan ingin menjauhkan hubungan  dirinya dengan Derra.

Sore ini masih bertahan di rumah sakit, menemani seseorang karena Farhan sendiri belum datang. Entah apa yang dilakukan orang itu padahal sebentar lagi jadwalnya berangkat dinas.

Sayup-sayup terdengar suara orang bercakap-cakap dari luar memasuki ruangan yang sama.

"Bagaimana kondisi Mamah, Om?"


"Memburuk."

Arsha bisa menebak jika mereka adalah Farhan bersama dokter yang kebetulan masih saudara.


"Apa yang harus Farhan lakukan?"


Ketiganya sekarang berkumpul menatap tubuh di depan yang kondisinya terus melemah.


"Buat beliau bahagia di sisa umurnya. Penuhi keuangan terakhirnya sebelum menutup mata."


Arsha memilih undur diri tetapi masih mendengar sayup-sayup suara dari dalam.


"Farhan akan mengabulkan keinginan Mamah untuk secepatnya menikah."


"Sudah ada calon?"


"Masa lalu Farhan kebetulan kita bertemu lagi dan kita satu perusahaan  tempat Farhan bekerja."

"Bagus setidaknya Om yang akan mwnjadi wali saat menikahkan kalian berdua."

Keduanya tertawa lirih tetapi sangat menusuk ke pendengaran Arsha. Sampai kapan pun akan selalu kalah termasuk memiliki Derra.



Pagi ini Arsha terlihat sudah menyambangi rumah Derra, tatapan ayahnya Derra sudah menyiratkan akan ada banyak pihak yang menentang hubungan ini.

Kali ini Derra sudah bersiap-siap, sengaja menyelesaikan pagi-pagi jadi jika tidak ada yang menjemputnya ia bisa naik taksi tanpa harus ada kata telat.

Keduanya sudah berada di dalam mobil, Arsha memberikan sesuatu seperti biasa. Namun sekarang jumlahnya dua kali lipat, mungkin sama dengan kemarin.

"Kenapa kemarin tidak menunggu sampai aku selesai latihan?" tanya Arsha membuka percakapan.

"Kenapa kemarin tidak menjemputku saat pagi hari?" Derra berbalik bertanya. Bahkan tatapan gadis itu terasa mengena di hati Arsha.

Arsha kembali fokus dan belum menjawab pertanyaan Derra.

"Aku cemburu."

Derra kaget dan langsung menatap Arsha sambil mengernyitkan keningnya.

"Cemburu sama siapa?"

Arsha memegang setir lebih kuat. Derra seakan tidak paham dengan sakit yang dirasakannya.

"Atasan kamu."

"Kalau cemburu terus kenapa kamu pergi begitu saja? Berarti dengan sengaja kamu membiarkan aku bersama laki-laki itu. Katanya mau balik lagi? Terus kenapa juga sampai sore tidak kembali? Bahkan sampai pagi pun kamu tidak datang menjemput,"  berondong Derra mengeluarkan unek-unek yang dari kemarin ia tahan.

"Sebenarnya kemarin aku belum pergi hanya menghindar saja karena ada panggilan telepon. Saat aku hendak kembali tiba-tiba tak sengaja mendengar percakapan intens kalian."

Derra sekarang bukan main terkejut. Hatinya sudah bergemuruh hebat menahan laju denyut jantung tak beraturan.

"Di-dia—"

Berat untuk melanjutkan kata itu, bisa jadi menjadi akhir hubungan mereka.

"Mantan kamu," telisik Arsha geregetan karena enggan sekali menyebutkan nama orang itu.

Derra mengangguk lemah sambil memainkan ujung kerudungnya. Dengan sedikit takut menatap Arsha yang wajahnya sudah berubah datar.

"Ka-kamu marah?"

Arsha berdehem lirih. Enggan menatap balik Derra karena ia sudah memasuki jalan yang sangat padat.

"Aku marah karena kamu tak berterus terang."

Arsha seperti membohongi hatinya sendiri, seharusnya tak pantas berkata seperti itu. Ia seharusnya sadar siapa yang paling tidak berterus terang dalam hubungan mereka. Dosa dia lebih banyak dibandingkan kesalahan Derra, Derra belum berani berterus terang mengingat Farhan sendiri baru muncul beberapa hari yang lalu. Sedangkan dosa Arsha lebih besar dimulai pertama kali mengenal Derra sampai sekarang.

"Maaf, aku takut menyakiti kamu."

Derra berkata sangat lirih karena dari lubuk hatinya yang dalam.

"Kenapa kamu membiarkan dia bebas menyentuh kamu? Apa kamu masih merasakan cinta kepada dia?"

Derra spontan menggeleng seraya berucap, "Aku tidak mencintai dia."

"Dan kamu menyuruh aku percaya sama kamu begitu saja?"

Sudah terpuruk sekarang tambah dipojokkan seperti ini, alangkah tidak beruntungnya pagi ini.  Belum nanti di kantor harus bertemu dia lagi.

"Aku tidak menuntut kamu harus percaya sama aku," tukas Derra kecewa berat.

"Aku lebih-lebih kecewa karena kemarin pagi kamu berangkat sama dia."

"Dia memang menjemputku tapi aku tidak berangkat bareng sama dia. Aku pakai taksi," elak Derra sambil meletakkan di atas dashboard.

"Tapi di kantor kalian bisa bebas bertemu, kan?" pancing Arsha terus memojokkan Derra.

"Kita membicarakan masalah pekerjaan saja bukan masalah pribadi."

Derra sudah sangat kesal karena terus diinterogasi oleh Arsha. Ia melepaskan sabuk pengaman karena mobil sudah berhenti di depan lobi.

"Aku percaya sama kamu," ucap Arsha memandang Derra dengan penuh kehangatan tak  dingin seperti tadi.

"Maksud kamu?"

Senyum manis Arsha mampu meluluhkan gadis itu.

"Maaf kalau sudah berbicara seperti tadi. Jujur aku sangat cemburu melihat kedekatan kalian. Sempat berpikir jika kalian akan balikkan."

"Aku bukan perempuan seperti itu," sungut Derra kesal karena dari tadi selalu dipojokkan terus.

"Sudah sana masuk. Nanti kena amuk bos baru," ledek Arsha mencairkan suasana.

"Awas saja kalau berani mengamuk. Akan aku adukan sama pacar aku. Biar ditembak saja kalau berani gangguin."

Arsha tertawa pelan.

"Nanti aku kabarin lagi bisa enggak jemput kamu pulang. Sepertinya ada urusan yang perlu aku selesaikan."

Arsha berbohong, padahal ia sehabis ini ia sudah janjian dengan orang lain.

"Tidak apa kalau tak bisa jemput setidaknya kasih kabar dulu."

Arsha mengangguk mengiyakan ucapan Derra. Gadis itu membuka pintu kemudian tersenyum ke arah Arsha. Untung sekarang lebih baik, setidaknya hatinya bisa lebih tenang sebelum berhadapan dengan atasannya.

Ketika mau masuk ke dalam lift, ia kembali teringat bekal yang Arsha berikan ternyata ditaruh di atas dashboard. Derra langsung berputar arah menuju lobi, biasanya laki-laki itu selalu bertahan sebentar di halaman kantor setelah mengantar dirinya.

Hati bersorak karena dari jauh melihat mobil Arsha masih terparkir di sana. Saat beberapa langkah laki menuju ke sana tiba-tiba dari arah samping melihat seorang perempuan yang tengah masuk ke dalam mobil itu dan duduk di samping Arsha.

Tubuh Derra lemas seperti semua tulang di tubuh dilucuti satu per satu. Bagaimana tidak perempuan itu adalah Arindra—sahabatnya. Ada perlu apa dengan Arsha? Apakah mereka saling kenal? Bukankah Derra sendiri belum mengenalkan satu sama lain? Kapan mereka berkenalan? Apakah di belakangnya?

Derra berjalan lunglai kembali ke ruangan dengan hati yang sudah hancur berkeping-keping.

-Tbc-

Jangan lupa mampir ke cerita saya yang diposting di facebook di akun Lovrinz and Friends dengan judul Insyaallah Jodoh  yang setiap hari update. Minta doanya ya kalau naskah itu selesai berarti bisa naik cetak.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro