11. Bet Me

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'Say another lie, set my mind on fire. Like you've never felt this high, so close.'

-Zandros ft Limi-

***
Ketiga teman Poppy curi-curi pandang ke arah Heath yang duduk di belakang dan tak jauh dari posisi mereka. Ekspresi lelaki maco itu datar bahkan tidak menunjukkan kesan ramah sedikit pun. Bibirnya terkatup rapat dan sesekali menyesap Negroni. Dia menyandarkan punggung seraya bersedekap lantas berpaling ke tiga gadis itu. Mereka salah tingkah dan buru-buru berpura-pura mengobrol sembari terkikik entah membicarakan apa.

"Pantas saja Jhonny meneleponku dan bertanya apakah sudah ada korban pembunuhan atau tidak," cibir Alexia kepada Poppy lalu melongok ke arah Heath yang acuh tak acuh.

"Sialan!" desis Poppy. "Pantas saja si keparat itu tahu di mana keberadaaku."

"Dia tidak menjelaskan lokasimu, Babe. Tapi, dia menunjukkan lokasiku. Jhonny juga diancam akan dihajar sampai babak belur," terang Alexia membela adiknya. "Dia itu dokter atau preman sebenarnya?"

"Dasar dokter gila," ledek Arya. "Apa semalam kau baik-baik saja?"

Poppy menghela napas panjang kemudian menumpukan kepala di atas meja. "Aku baik-baik saja, tapi sekarang rasanya seluruh pergerakanku serasa dibatasi." Dia bangkit lagi membuat rambut panjangnya tersibak. "Kalian tidak lihat matanya seperti ingin membunuh orang?"

"Yeah..." Norah melenggut pelan. "Ah, omong-omong, bagaimana kalau kau manfaatkan situasi ini untuk membangunkan itu Heath? Masih abu-abu kan?"

Bagai menemukan secercah cahaya, serempak Poppy, Alexia, dan Arya menjentikkan jari menyetujui ide Norah.

"Kau kan kuat minum, ajak dia sampai mabuk, Babe," kali ini Arya yang memberi usul lalu merendahkan posisinya dan berbisik, "seringkali hormon pria begitu liar di saat mereka tidak sadarkan diri."

"Aku tidak sudi bercinta dengannya Arya," protes Poppy lalu menoleh ke arah Heath yang menyipitkan mata ke arahnya. Poppy mengacungkan jari tengah sembari mencibir lalu berbalik ke Arya, "meski kami berciuman, ternyata itu juga tidak membawa pengaruh besar."

"Nah..." Arya menggeleng cepat. "Lanjutkan, Lex, kau pasti punya pemikiran yang sama denganku, Babe."

Alexia memutar bola matanya lantas berkata lirih, "Mabuk bukan berarti harus bercinta. Kau goda dia seperti wanita nakal, pastikan itu Heath ... tegak seperti keadilan. Kau ambil beberapa foto bersamanya seolah-olah baru saja melewati malam panas. Foto itu bisa jadi bahanmu mengadu ke Joey kalau Heath melewati batas."

"Kalau seperti itu bakal ada perang besar di antara mereka," sahut Norah.

"Bukannya pertengkaran itulah yang diinginkan Poppy? Menjauhkan Heath dari Joey? Hubungan mereka juga aneh kalau kita lihat-lihat, terlalu dekat-"

"Melebihi suami-istri," sambung Poppy sering menangkap basah kakaknya masak berdua bersama Heath. "Baiklah. Aku suka idemu. Malam ini kita eksekusi." Dia menyilangkan tangan dan menyuruh temannya mengaitkan jemari. "Demi itu Heath."

"Demi itu Heath."

Mereka berempat beranjak dari kursi begitu pula Heath menenggak habis Negroninya lantas mengekori jejak Poppy. Mereka bergegas ke stage dekat pantai di mana penyanyi pendatang baru dari Brooklyn, Amerika, berhasil mencuri perhatian penikmat musik melalui lagu Baby Doll. Begitu sampai di area VVIP, sang penyanyi muncul seraya menyapa penonton.

Heath berdiri agak jauh di belakang Poppy sembari melipat tangan di dada--layaknya bodyguard--memastikan tidak ada pria-pria kurang ajar mendekati gadis itu. Sesekali dia mengangguk-angguk kepala menikmati suara merdu Ari Abdul dalam diam. Salah seorang wanita berambut merah mencolek Heath dan berkata," Rileks, Bro. Wajahmu tertekan sekali."

Ekor mata Heath menyorot tajam membuat gadis itu mencebik kesal.

"Dia tampan tapi aneh."

Memilih tak memedulikan olokan tersebut, Heath kembali memfokuskan pengawasannya di mana Poppy kini sedang bisik-bisik bersama seorang pria bertelanjang dada. Gadis itu tertawa saat si pria mengatakan sesuatu di telinganya. Tawa yang terasa dibuat-buat dari kacamata penglihatan Heath. Sesaat kemudian, Poppy tampak menyengguk lalu melingkarkan tangannya ke leher si pria.

Penonton berjingkrak-jingkrak tanpa memedulikan butiran pasir berterbangan. Mereka mengikuti lirik yang dilantunkan Ari Abdul begitu pula Poppy yang sangat hafal baitnya di luar otak. Semakin lama jarak di antara si berandal kecil dan pria kurang ajar tersebut makin terkikis dan Heath tahu ke mana arah pergerakan tersebut.

You belong to me, hate what's underneath
I'm everything you need
You know I'll never leave

Otomatis Heath melangkah secepat kilat, menerobos kerumunan orang-orang. Jika dibiarkan tangan-tangan nakal itu bakal bergeser dari pinggang ke bokong, manalagi Poppy mengenakan rok sialan mini sampai pantiesnya mengintip malu-malu. Heath berdiri menjulang tinggi di belakang Poppy, meremas kuat bahu si pria membuat gadis itu menoleh melayangkan protes.

"I told you, Little trouble," ujar Heath lalu berpaling ke si pria yang memaki seraya meringis kesakitan. "Pergilah jika tidak mau kuhajar!" perintahnya membuat si pria meludah mengenai sandal Heath.

"Kau pantas diludahi memang," ledek Poppy mengacungkan jari tengah lalu membalikkan badan dan bergabung bersama ketiga temannya.

Kau pantas diludahi memang.

Kata itu menggema di gendang telinga Heath menggantikan entakkan musik di depannya.

Kau pantas diludahi memang.

Bibir Heath tak membalas sebab sudah terbiasa menerima perlakuan kasar dari orang-orang yang membencinya. Bagi Heath itu bukan masalah besar karena sejatinya dia juga tidak butuh manusia yang berpura-pura mau menjalin hubungan pertemanan dengannya.

Sebanyak apa pun makian yang keluar, hati Heath sudah mati rasa bertahun-tahun lalu. Dia sendiri lupa bagaimana merasakan emosi layaknya manusia lain di sekitarnya saat ini.

Tertawa lepas.

Menangis.

Jatuh Cinta.

Menikmati hidup yang hanya sekali.

Menikmati waktu yang tak dapat diputar kembali.

Selama ini keseharian Heath bagaikan robot yang sudah terprogram. Bangun, makan, mandi, bekerja, merawat Rex, antar-jemput berandal di depannya, dan tidur. Teman dan keluarganya pun hanya satu--si cerewet Joey--tidak ada yang lain.

Kau pantas diludahi memang.

###

Heath duduk di kursi sebuah bar dekat area hotel yang disewa Poppy. Entah angin mana gadis itu mendadak mengajaknya minum berdua dan bertaruh siapa yang bertahan sampai akhir. Heath sempat menolak karena paham gadis seperti Poppy terlalu banyak gaya namun pada akhirnya tumbang juga. Tapi, gadis itu bersikukuh menantang Heath serta berjanji bakalnmemberikannya lima ratus poundsterling jika dia K.O.

Pasti ada sesuatu, batin Heath saat instingnya memunculkan peringatan waspada.

Wanita itu seperti ular, kau tidak akan tahu rencananya sampai mereka membelit tubuhmu ketika lengah.

"Aku tidak seberapa suka bintang tamu yang terakhir. Daripada aku bosan di sana lebih baik ajak kau ke sini," ungkap Poppy menenggak wiski Irlandia dalam satu tegukan. Dia meringis merasakan cairan kuning kecokelatan itu menyebar di lidah memberi sensasi manis dengan akhir sedikit pedas. "Jadi, katakan padaku Heath, apa rencanamu setelah ini?"

Yang ditanya menyugar rambut undercut-nya lalu meneguk minuman,"Bukan urusanmu."

"Wah ... egois sekali," ledek Poppy menuang kembali botol wiski ke dalam sloki. Jemari lentiknya membelai pinggiran gelas kristal seraya menaikkan sebelah alis menyorot penampilan lelaki itu--terutama dua kancing kemeja linen yang selalu dibiarkan terbuka. "Kau mengikuti ke mana pun aku pergi sementara aku tidak boleh?"

"Karena itu memang bukan urusanmu, Pearson," balas Heath makin ketus, menuang wiski kembali dan menenggaknya lagi. "Apa kau ini tidak latihan? Bukannya kau ada turnamen?"

"Harold memberiku ijin, tenang saja," jawab Poppy mengulum senyum tipis lalu meneguk lagi. "Sudah mulai pusing, dokter Alonzo?" ledeknya menunjuk wajah Heath yang agak memerah. "Masih gelas ke berapa, huh?"

Heath menggeleng pelan. "Memangnya kau?" Dia menuang kembali lalu meminumnya seraya mengunci tatapan ke dalam bola mata Poppy. "Wajahmu yang merah bukan aku."

Poppy mengibaskan tangan sambil terkekeh. "Aku cukup kuat tahu. Bahkan disuruh berkelahi dalam kondisi mabuk pun bisa."

"Oh iya, sejak kapan kau belajar bela diri?" Heath melontarkan pertanyaan.

Poppy berpikir sejenak sembari menopang dagu. "Saat junior high school," ungkap Poppy mengingat-ingat kembali tepatnya pertama kali tertarik pencak silat dari pada bela diri lain. "Pencak silat di mataku sangat keren, apalagi saat memperagakan teknik kuncian dan tendangan."

"Kenapa bukan krav maga?" Heath melipat tangan di dada setelah menenggak gelas ketujuh.

Poppy geleng-geleng kepala. "Tidak. Aku diajarkan orang tuaku tidak mempelajari budaya negara yang suka playing victim dan membunuh anak-anak juga wanita."

"Kau benar. Aku juga benci mereka."

Poppy kembali meneguk minumannya lagi. "Kalau kau? Kenapa kau memilih jadi dokter?"

"Apalagi memang? Untuk misi kemanusiaan," jawab Heath menyodorkan gelasnya saat Poppy mengisyaratkan menuang wiski untuknya.

"Ternyata kau punya hati juga."

Sudut bibir Heath naik,"Tidak juga. Tergantung sudut pandangmu menilaiku dari mana."

"Ya memang. Kau ini menyebalkan, suka marah tidak jelas, suka menghancurkan kebahagiaan orang lain, suka menghajar pria yang mendekatiku padahal belum tentu mereka salah," cerocos Poppy mulai merasakan pening sementara Heath menuang wiski sekali lagi. "Kenapa kau gay?"

"Bukan urusanmu," jawab Heath dan tak lama jatuh pingsan di atas meja.

"Gelas kedua belas," gumam Poppy lalu bertepuk tangan. "Aku memang! Hey aku menang lima ratus poundsterling!" teriaknya tanpa malu ke tamu bar lain yang disambut siulan.

Poppy segera membayar botol-botol wiski dan memberi tip ke bartender dengan senyum lebar berhasil mengalahkan Heath. Sekuat tenaga, Poppy membopong tubuh besar Heath ke kamar hotelnya--sesuai rencana yang disepakati bersama teman-temannya.

"Sialan, badanmu berat sekali, Heath," gerutu Poppy berjalan susah payah ke lobi hotel yang berjarak beberapa blok dari bar. Dia menolak bantuan seorang staf hotel yang ingin menolong membopong tubuh besar Heath. Tertatih-tatih Poppy masuk ke dalam lift yang membawanya ke lantai atas.

Begitu lift terbuka, dia bergerak lagi dan hampir saja oleng menabrak tanaman hias hotel jikalau kakinya tak buru-buru menahan beban tubuh juga Heath di sisi kanannya. Begitu tiba di depan kamar bertuliskan angka 866, Poppy menempelkan kartu hingga berbunyi bip.

Dia menyeret tubuh Heath masuk ke dalam kamar dan jatuh bersamaan di atas kasur. "Ah ... punggungku," keluh Poppy menepis tangan Heath dan berguling seraya menarik napas panjang.

Selanjutnya, Poppy beranjak tuk memosisikan Heath telentang. Dia mencibir sambil geleng-geleng kepala, "Dia benar-benar mabuk."

Diambil lipstik merah dari dalam tas kemudian memulas bibirnya lagi tuk mengeksekusi rencananya. Ditanggalkan rok leather menyisakan thong hitam juga bra yang sengaja dijadikan atasan oleh Poppy. Di depan cermin, dia meraup udara memenuhi paru-parunya merasakan adrenalin membanjiri setiap pembuluh darah. Sialan! rutuknya dalam hati kala jantungnya bertabuh tak karuan.

Kesannya aku yang akan memperkosa pria.

Poppy merangkak naik ke atas tubuh Heath yang masih belum sadarkan diri. Jemarinya begitu lincah melucuti pakaian yang melekat di tubuh Heath hingga menampakkan ukiran tato ular tercetak di sepanjang tulang selangka merambat ke bahu sebelum berakhir di perbatasan siku atas, di siku kirinya terdapat tato dua balok hitam melingkar membuat Poppy bertanya-tanya apa makna garis itu.

Detak jam sepertinya tengah berhenti berdetak saat Poppy mengagumi ciptaan Tuhan yang sudah memahat bentuk tubuh Heath sedemikian sempurna. Jemarinya meraba-raba kulit tan melalui otot dada Heath yang keras layaknya perisai yang tak mampu ditembus. Jari-jari itu makin turun ke bagian perut sebelum berhenti di area V shape pinggul Heath yang tertutup celana. Dia menggigit bibir bawah, membelai bulu-bulu tipis di bawah pusar Heath yang mengarah ke ... harta karun.

Semakin lama dia memuja dalam diam semakin liar imajinasi Poppy yang didasarkan dari ciuman mereka di lorong kala itu. Sorot matanya berpindah ke fitur wajah Heath yang terlelap; rahang tegas, tulang hidung yang tinggi, mata dalam nan tajam dipayungi alis lurus, bibir bawah yang agak tebal-favorit Poppy, bewok tipis, juga rambut cokelat gelap yang memanjang sampai tengkuk leher.

Fuck...

Sisi nakal Poppy rasanya ingin bersimpuh saat ini juga. Andai kata tidak ada masalah pun Heath bukan sahabat kakaknya, mungkin dia akan menaruh hati pada lelaki ini. Sayangnya, Poppy sudah terlalu hafal tabiat Heath yang meruntuhkan minat.

Tabiat yang membuatmu berbuat binal, huh?

Dewi batin Poppy mengolok keras-keras. Gadis itu mengangkat bahu tak mau tahu lantas menyibak rambut ke samping kemudian menunduk tuk memberi ciuman di dada, leher, pipi seolah-olah mereka melewati malam begitu panas. Dia juga memberikan jejak-jejak kemerahan di ceruk leher lelaki itu agar terlihat meyakinkan. Setelahnya, dia menyambar ponselnya, berbaring di samping Heath begitu mesra kemudian memotret dari berbagai sudut.

Saat mengamati hasilnya, Poppy tertawa sendiri. Bukan hanya di samping Heath saja, dia kembali memosisikan diri di atas lelaki itu dan bergaya seperti sedang mencekik lehernya. Diabadikan posisi intim ini sembari membayangkan bagaimana komentar Joey kalau tahu adik dan sahabatnya tidur bersama.

Tidak disangka-sangka, Heath membalikkan keadaan hingga ponsel yang dipegang Poppy terlepas. Gadis itu membeliak kaget saat Heath berkata,

"Sudah selesai permainannya, hm?"

Wait, what? Bukannya dia mabuk? Bukannya tadi dia pingsan?

"H-heath..." Poppy nyaris kehilangan kata-kata. "K-kembalikan ponselku!" jeritnya saat Heath meraih gawai milik Poppy.

Sialnya,dia tidak berkutik karena Heath benar-benar menindih kakinya..

"Jadi, ini rencanamu, Pearson? Membuatku mabuk untuk mengambil foto murahan ini?" komentar Heath. "Mau adu domba lagi, huh?"

"Bukan urusanmu!" bentak Poppy. "Kembalikan padaku, sialan!"

Alih-alih menjawab, Heath menyelipkan ponsel itu di saku belakang celananya lalu menahan kedua lengan Poppy ke atas. "Kenapa kau selalu memancing masalah, Poppy?"

"Aku? Kapan?" Poppy tersenyum sinis. "Daripada kau. Munafik, licik, muka dua."

"Watch your fucking mouth, Pearson!"

"Apa? Aku benar kan?" Poppy menyorot lurus iris abu-abu Heath lalu memelankan suara. "Kau bukan gay, Heath. Kau--"

Heath membungkam mulut Poppy yang terlalu banyak bicara. Di bawah pengaruh alkohol yang masih menguasai mereka, ciuman tersebut tidaklah lembut layaknya dua manusia yang ingin merajut Cinta, melainkan dua manusia yang saling melampiaskan amarah.

Lidah Heath menjelajahi setiap sudut mulut Poppy dan mencecap sisa wiski di bibir manisnya. Mengisap lidah Poppy begitu rakus kemudian menggigit bibir bawahnya sebelum kembali memagut kasar. Tak mau kalah, Poppy mengimbangi permainan lidah Heath meski butuh jeda tuk mengambil napas banyak-banyak. Namun, di bawah kungkungan pria ini, Poppy memang merasakan bukti gairah Heath bereaksi.

Dugaannya tidak meleset.

Heath bukan gay seperti yang diisukan Joey.

Lantas kenapa selama ini Heath tidak mengonfirmasi dan membiarkan Joey menyematkan status gay?

Desau akhirnya meluncur dari bibir gadis itu ketika ciuman Heath berpindah ke leher. Dia menjilat kulit lembap gadis itu dan memberi jejak merah seperti yang ditinggalkan Poppy padanya. Poppy mencoba membuka mata walau segalanya buram, berusaha menyadarkan pikirannya kalau yang satu ini harus dilawan bukannya berpasrah begitu saja.

Sial sungguh sial, dua sisi dalam dirinya tengah berperang batin. Sementara pikirannya sudah berceceran entah ke mana malah berganti kilasan-kilasan bak lacur bilamana Heath mendesaknya bercinta. Kasar dan liar.

"Heath..." racau Poppy melingkarkan kakinya ke pinggul Heath, menggesek-gesekkan pinggulnya ke kejantanan lelaki itu yang membengkak. "M-make me..."

Lelaki itu tersenyum miring, menggigit daun telinga Poppy membuatnya mendesah pelan. "Not yet, Little trouble," bisiknya parau.

Heath menegakkan badan lalu mendudukkan diri di atas sofa depan ranjang.

Poppy mendudukkan diri dengan napas terengah-engah sekaligus pipi merona. Kali ini dia tidak mau dicampakkan kedua kalinya. Tidak! Dia harus mendapatkan apa yang diinginkan. Sekarang. Di sini. Sekali pun seseorang mendengarnya menjerit, Poppy tidak peduli.

"Jangan naif, Heath. I know you want me too."

Ekspresi Heath tampak tenang bahkan setelah melumat mulut Poppy layaknya orang tak bercinta selama bertahun-tahun. Dia menggosok dagu yang ditumbuhi bewok tipis. "Give me a little show."

"Apa?"

Heath beranjak, berjalan begitu anggun dengan kemeja terbuka lalu membungkukkan badan. Dia memiringkan kepala dan berbisik,"Jangan naif, Little trouble. Kau memuaskan dirimu sendiri sampai menyebut namaku kan? Apa ciumanku di lorong benar-benar membuatmu terangsang?"

Seketika Poppy membeku bagaimana bisa Heath tahu bahwa dia pernah melakukan itu akibat frustasi dibayang-bayangi ciuman Heath.

Apa dia masuk ke apartemen diam-diam? Tapi, kapan?

"Ambil vibratormu dari koper," pinta Heath sekali lagi. "Give me a little show like you did."

***

Halo, untuk bab 12 bisa kalian baca di KK karena isinya terlalu smut kalau dipublish di WP (satu bab penuh 18++). 🙃🙃

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro