13. We're room(enemies)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'You say that you hate me. Then tell me shit nobody knows.'

-Isabel LaRosa-

***

Heath kira Poppy bakal takut atau setidaknya menjaga jarak setelah apa yang terjadi di antara mereka berdua di kamar hotel. Nyatanya nyali gadis itu terlalu besar bahkan sikapnya sekarang tampak biasa-biasa saja ketika menggeret koper setiba di bandara Mykonos.

Manusia boleh saja saling membenci, tapi ketika Tuhan menyatukan mereka dalam satu pesawat satu deret tempat duduk, Heath agak ngeri mendefinisikan apakah ini takdir atau kebetulan. Di depannya tentu saja tiga gadis lain melayangkan pandangan penuh selidik terkait hasil akhir siapa ambruk di atas meja bar.

"Kau yakin tidak ikut kami, Babe?" bisik Norah ketika Poppy berpamitan ke hotel tempat Heath menginap. "Belum tentu di sana kau dapat kamar. Ini musim liburan, Babe."

Poppy menggeleng cepat, "Pasti ada kamar kosong, tidak mungkin tidak ada."

"Omong-omong, apa yang terjadi semalam?" Giliran Alexia menarik lengan Poppy seraya mencerling ke arah Heath yang berdiri agak jauh.

Sesaat semburat rona merah menghiasi pipi Poppy. Bibirnya melengkung membentuk senyum malu-malu kemudian memutar kepala ke arah Heath lalu berkata, "Intinya dia bukan gay. Itu Heath tegak seperti keadilan. He's fucking hot as hell."

"What?" Serempak ketiga temannya menoleh ke arah Heath. Sekali lagi.

Merasa menjadi bahan perbincangan berandal-berandal kecil di sana, Heath salah tingkah lantas menyugar rambut dan membuang muka sembari mendesis merutuki apa yang dibocorkan Poppy kepada teman-temannya.

Kapan dia punya rasa malu?

"Selamat bersenang-senang!" teriak Poppy melambaikan tangan ke arah teman-temannya setelah mendatangi Heath. "Di mana alamat penginapanmu?"

"Kenapa kau tak ikut mereka?"

"Kenapa harus?"

Bola mata Heath memutar. Jelas ada yang tak beres dengan isi otak Poppy. Terlalu malas memikirkan hal lain, Heath menghentikan sebuah taksi. Tak lama, seorang sopir berkepala plontos menurunkan kaca mobil seraya tersenyum,

"Που θέλετε να πάτε?"
(Pou thelete na pάte? = Mau pergi ke mana?)

"Πάω στο ξενοδοχείο." Heath menunjukkan detail alamat penginapannya kepada sang sopir.
(Ράo sto xenodocheίo = Aku ingin pergi ke hotel)

"Oke." Sopir yang tampak ramah tersebut keluar dari taksi kemudian membuka bagasi agar tas carrier Heath dan koper besar Poppy-yang jadi beban barunya-bisa masuk.

Poppy tertegun beberapa saat mengamati betapa fasih Heath berbicara bahasa Yunani layaknya warga lokal. Sampai-sampai tanpa sadar, dia mencubit lengannya sendiri berharap apa yang ditangkap matanya sekarang bukan semata-mata ilusi siang hari. Sialnya suara Heath yang agak berat tengah menimpali perkataan si sopir menjadi sebuah kejelasan bahwa ada sisi lain yang tidak pernah diketahui Poppy.

Fuck...

"Hei, berapa banyak barang yang kau bawa? Memberatkanku saja," protes Heath membuyarkan lamunan Poppy.

Beruntung Heath tidak menangkap gelagat Poppy yang menilikinya diam-diam. Gadis itu masuk ke dalam mobil berbarengan dengan Heath kemudian berucap, "Sebanyak yang kuinginkan dan itu bukan urusanmu." Dia menurunkan kaca jendela taksi membiarkan sepoi angin membelai permukaan kulit. Terutama otaknya.

Bagaimana tidak, bagi Poppy ada pesona tersendiri kala mendapati seorang pria pandai berbahasa selain bahasa ibu. Dia jadi penasaran, hal apa lagi yang disembunyikan Heath dari balik tampangnya yang jarang tersenyum itu.

"Ah, indahnya..."

Kendaraan bercat kuning menyala itu melaju perlahan-lahan membelah jalanan beraspal. Melintasi rumah-rumah tradisional bergaya Cyladic yang berukuran kecil dan beratap datar, kecuali atap gereja yang melengkung membentuk kubah. Sejauh mata memandang, semua bangunan didominasi warna putih sementara pintu serta jendela dicat biru supaya selaras dengan langit juga buih ombak membentur bibir pantai. Di satu sisi, bunga-bunga bougenville aneka warna tampak tumbuh subur menghiasi tiap rumah sehingga terlihat rindang juga sedap dipandang.

Poppy mengabadikan pemandangan tersebut melalui ponsel untuk diunggah ke media sosialnya nanti. Dia tidak sabar bercerita tentang pengalamannya selama di pulau menawan ini walau harus bersama pria menyebalkan tak punya hati seperti Heath. Merasa diperhatikan, Poppy menoleh, menangkap basah Heath mengamatinya dalam diam.

"Don't look at me like that, Mr. Alonzo. Kau bisa naksir padaku."

"Cih! Entah apa yang merasuki otakmu," cibir Heath mengalihkan pandangan.

Poppy mendekat dan berbisik, "Karena kau bukan gay." Dia menjulurkan lidah dan melempar tatapan genit.

Bola mata Heath otomatis berputar. "Seperti kau menarik saja."

"Nyatanya kau juga terangsang denganku," balas Poppy tanpa dosa membuat sopir melirik perdebatan mereka melalui spion mobil.

Heath berdeham lagi-lagi dibuat salah tingkah lantas menyenggol kaki Poppy, menyiratkannya menjaga etika terutama yang berkaitan dengan hal-hal mesum.

"Apa? Aku benar kan?" bela Poppy menyorot Heath dari atas ke bawah dan berhenti di pangkal paha lelaki itu. "Terlalu naif sampai tak sadar jadi munafik," ledeknya.

Semakin ditanggapi semakin tidak ada habisnya olokan yang keluar dari bibir Poppy. Seharusnya Heath menyelipkan obat tidur atau selotip besar tuk membungkam mulut gadis itu. Sungguh telinganya memerah mendengarkan cecaran yang sama sekali tidak benar.

Sesampainya di hotel berhias bunga-bunga bougenville merah muda, mereka disambut seorang staf berkulit eksotis mengenakan kaus putih yang dilapisi kemeja lengan pendek tanpa dikancing. Tanpa basa-basi, Poppy melangkah maju penuh percaya diri saat menanyakan ketersediaan kamar. Bahkan kalau bisa, dia ingin kamar besar dengan pemandangan laut juga bathub.

"Sayangnya, semua kamar sudah penuh, Nona," ucap staf tersebut disertai ekspresi kecewa.

"Apa?" Intonasi Poppy seketika naik satu oktaf. Tidak! Tidak! Mana mungkin kamar penuh di saat dirinya sudah jauh-jauh ke mari? "Tolong cek ulang, siapa tahu ada yang pulang nanti siang, Tuan."

Staf itu menggeleng pelan. "Maaf, Nona."

"Sudah kubilang jangan ikut ke mari, kau masih keras kepala," omel Heath. "Έχω μια κράτηση. Biar dia satu kamar denganku. Tidak ada biaya tambahan kan?" tanyanya kepada staf tersebut.

(Έkho miα krάtisi = Aku sudah reservasi)

"Tidak, Mr. Alonzo. Anda membayar kamar tersebut untuk dua tamu. Hanya saja... Untuk double bed kami sudah penuh, hanya tersisa twin. Συγνώμη."

(Seegnomee = maafkan aku)

Heath nyaris mengumpat pelan. Artinya dia harus satu ranjang bersama si berandal kecil. Benar-benar sial tanpa ujung, batinnya ingin membenturkan diri ke dinding.

"Ναι. Ευχαριστώ."

(Neh = Oke)
(Efhareesto = Terima kasih)

Mau tak mau Heath tentu harus setuju, tidak mungkin dia membatalkan penginapan sementara belum tentu ada tempat kosong untuknya. Dilirik sinis Poppy yang ikut-ikutan berpikir seolah-olah dipaksa dalam satu kamar adalah mimpi terburuk sepanjang hidup.

"Ini di luar rencanaku!" cecar Poppy seakan-akan bisa membaca isi kepala Heath. "Kau mau aku tidur di luar? Fine!"

Sebelum gadis itu menarik kopernya, Heath menahan lengan Poppy. "Aku bisa berbagi kamar kalau kau mau."

"Sayangnya, aku benci berbagi. Apalagi denganmu Heath!"

Heath menampik lengan Poppy lalu memanggul tas carriernya. "Terserah kau saja! Kau tidur di atas pasir pun bukan urusanku!"

"Aku telepon Joey karena kau menelantarkanku-"

"Silakan. Dia bakal kutuntut balik sudah menyusahkanku dengan berandalan sepertimu," sela Heath bergegas ke lantai dua.

"Sialan!" geram Poppy kalah telak dan terpaksa mengekori Heath.

Kamar yang disewa Heath memang cukup besar meski terdapat satu ranjang twin. Sesuai keinginan Poppy, kamar ini memiliki akses langsung ke arah pantai Megali Ammos. Satu hal yang membuat Poppy bergidik ngeri adalah adanya taburan kelopak bunga-bunga segar di atas ranjang bak menyambut pengantin baru. Buru-buru diacak-acak bunga sialan tersebut sembari menggerutu bahwasannya mereka datang bukan sebagai kekasih.

Pandangan Poppy beredar mendapati ada satu lemari bercat putih di sudut kiri bersebelahan dengan jendela panjang bertirai transparan tengah menari-nari bersama angin. Ada juga balkon berisi dua kursi dan satu meja kayu yang bakal pas digunakan menikmati secangkir teh sembari mengabadikan pesona matahari terbenam.

Heath membongkar barang-barangnya tanpa memedulikan keberadaan Poppy. Dia menyambar setelan pakaian santai dan handuk kemudian bergegas ke kamar mandi.

Kesal bukan main, Poppy menendang tas carrier Heath hingga ambruk ke lantai. Menginjak-injak benda tersebut tanpa peduli apa isi di dalamnya. Ada sedikit rasa sesal menggerayangi benak Poppy. Tidak semestinya dia bersikukuh ikut Heath jikalau akhirnya di luar ekspektasi. Mau kembali ke teman-temannya pun Poppy dilanda dilema sebab serasa menjilat ludah sendiri.

Tak berapa lama, ponsel Poppy berdenting menunjukkan notifikasi dari kakaknya. Lagi-lagi Joey si tukang drama menuntut kabar juga deretan foto keberadaan adiknya sekarang.

Wait, kalau aku lapor sekamar bersama Heath, apanJoey akan membunuhku? Tidak! Tidak! Aku tidak akan bunuh diri, lebih baik aku berkata kalau sekamar bersama teman-temanku.

Poppy : Aku di Mykonos bersama teman-temanku, Jo. Heath juga ada tapi di hotel lain. Jangan ganggu aku! Aku bukan anak kecil!

Poppy berdiri di pinggir balkon lalu memotret dirinya seraya mengacungkan jari tengah.

"Aku benci kau, Joey!" serunya menuliskan pesan terakhir sebelum mematikan sambungan internet.

###

Puas berkeliling ke museum arkeologi Mykonos dan Tinos, mengunjungi kincir angin Boni di puncak bukit Mykonos dan mengambil foto. Mereka melanjutkan petualangan dengan bersantai di pantai Megali Ammos bersama ratusan turis lain di bawah puluhan payung jerami dan kursi jemur.

Poppy yang pada dasarnya tidak punya urat malu, meminta Heath mengolesi krim tabir surya ke punggung telanjangnya. Sempat ditolak tegas, Heath menuruti kemauan Poppy usai diledek habis-habisan.

"Kenapa, Mr. Alonzo? Takut terangsang lagi, huh?" goda Poppy memiringkan tubuh dan menopang kepala dengan satu tangan selagi menekuk sebelah kaki jenjangnya. Sengaja dia membelai setiap inci lekuk badannya yang terlatih di gelanggang seraya mencerling ke arah Heath. "Wah ... kau benar-benar bukan gay ternyata."

"Shut the fuck up, Pearson!" ketus Heath menyambar botol krim tabir surya.

Tidak hanya itu saja, mereka membeli gelato yang cocok dimakan saat cuaca sedang terik. Poppy memotret gelato dan menyuruh Heath menyandingkan miliknya yang berisi dua varian rasa. Berlatar birunya langit, gundukan gelato yang nyaris meleleh itu tampak kontras.

"Aku heran kenapa kalian selalu mengambil foto yang tidak penting," komentar Heath. "Tinggal nikmati saja, apa susahnya?"

"Aku juga heran kenapa hidupmu terlihat membosankan," balas Poppy. "Take it easy, Mate."

Puas makan yang manis-manis, Heath mengajak Poppy ke salah satu restoran yang menyajikan olahan seafood sebagai menu makan siang. Barulah sore harinya, mereka singgah ke salah satu bar.

Atas rekomendasi lelaki itu, Poppy mengiakan ajakan ke The Garden daripada harus ke restoran Scorpion's yang berjarak lima kilometer. Disuguhi pemandangan laut Megali Ammos berhias riak-riak yang pecah menjadi buih saat bersentuhan dengan bibir pantai.

Selama musim panas, matahari agak enggan menggelincir ke peraduan sehingga cakrawala masih terang benderang walau jam sudah menunjukkan pukul enam petang. Kendati demikian, kehidupan malam Mykonos justru baru di mulai. Bar, restoran, hingga kelab-kelab dipadati pengunjung yang lelah menghabiskan waktu di pinggir pantai. Tak luput pula musik-musik mengiringi setiap sudut tempat hiburan, mengentak-entak mengundang mereka menari dan bernyanyi bersama.

"Kau sepertinya sering ke sini," tebak Poppy. "Aku bahkan tidak tahu kau lancar berbahasa Yunani."

"Tidak semua hal perlu kau ketahui," jawab Heath memindai penampilan Poppy yang selalu di luar nalar. Oke, memang sebagian besar pengunjung wanita bakal berpakaian sama, hanya saja entah kenapa Heath tidak suka Poppy terlalu mengumbar-umbar.

Menjijikkan!

Poppy memang cantik. Heath akui itu dalam hati. Rambutnya cokelat memanjang, matanya tajam beriris cokelat terang mirip kayu manis, bibirnya mungil nan tebal, ujung hidungnya bulat menggemaskan. Entahlah, Heath tidak bisa mendefinisikan secara pasti, namun tanpa disadari gadis itu, dia memang punya daya tarik sendiri.

Apalagi setelan bikini hijau sangat pas di kulitnya yang mulai menggelap, meski ... di bagian pinggul ada rok mini crochet yang benar-benar tidak menyamarkan bagian panties Poppy. Dia yakin para buaya bakal meneteskan air liur bila berserobok dengan bongkahan pantatnya yang sintal. Heath agak bingung jenis pakaian wanita yang terkadang tidak sesuai fungsinya.

Lamunan Heath buyar saat pramusaji datang membawakan hidangan yang menggugah selera. Sepiring falafel tortila-makanan tradisional timur tengah yang menggunakan bahan buncis dan kacang fava dicampur berbagai bumbu-diberi saus humus berupa saus dari jus lemon, buncis, tahini, dan bawang putih, bersanding manis bersama segelas Greek Vermouth. Sementara Poppy memesan burger juga koktail Pina Colada yang menyegarkan.

"Joey mengirim pesan tadi," ujar Poppy membuka obrolan.

"Lalu?"

"Aku bilang kita di Mykonos."

Kontan Heath terbatuk-batuk sebelum Poppy menyelesaikan kalimatnya. Sial! Yang dipikiran Heath saat ini adalah bagaimana jika adik Joey yang tidak pernah menyaring omongan tiba-tiba membocorkan sesuatu?

Terutama malam itu?

"Kau bakal mati sia-sia jika tidak mendengar ucapanku sampai akhir," ledek Poppy keheranan. "Pikirmu, aku akan bilang kalau sekamar dengan sahabatnya yang berpura-pura jadi gay? Jangan gila!" Dia mengibaskan tangan sembari terbahak-bahak sebelum ekspresinya kembali datar. "Karena aku tahu kita berdua bakal mati di tangan Joey."

"Kau bilang apa?" Heath mencoba mengatur napas.

"Aku bilang menginap bersama teman-temanku. Mereka sudah kukirimi pesan juga siapa tahu Joey tidak percaya. Aku bilang ke Joey kalau hotelmu beda dengan kami," tutur Poppy panjang lebar. "Jangan khawatir, aku lebih cerdik daripada Joey."

"Terserah kau. Asal jangan-"

"Aku tidak akan cerita bagian itu," potong Poppy tahu ke mana arah pembicaraan Heath.

Tidak mungkin pula aku berkata kepada Joey, 'Hei, Dude, di Obuda aku menelan sperma sahabatmu. Sekarang kami sekamar dan hal itu bisa saja terjadi lagi.'

Mereka sama-sama diam sebab tak berani menyinggung malam panas di hotel kala itu. Poppy berdeham menyelesaikan suapan burgernya, sementara Heath melanjutkan makan tortilanya. Namun, sesekali pula mereka saling curi-curi pandang seakan-akan ingin memasuki lorong waktu di mana mereka saling menggoda satu sama lain di bawah pengaruh wiski.

Wajah Poppy mendadak merona saat bayangan dirinya menggapai klimaks juga dipaksa menelan benih Heath. Orgasme luar biasa yang pertama kali dirasakan Poppy dalam seperempat abad hidupnya. Bahkan dia masih ingat betul rasa Heath di mulutnya muga sorot mata Heath yang menggelap ketika mencapai pelepasan.

Fucking hot as hell.

Atsmofer di sekitar Poppy berubah sepanas sauna ketika bertemu pandang dengan Heath. Tergesa-gesa dia menyambar koktail tuk menyamarkan betapa hebat debaran dadanya sekarang. Seolah-olah jantungnya sudah tak betah di dalam sana dan ingin mencuat keluar.

Sial! Sial! Sial!

Semakin diusir, kilasan tersebut kian berputar hebat di kepala. Bagaimana Heath memainkan miliknya dan Poppy menunggangi vibrator membayangkan itu adalah kejantanan Heath. Oh tidak! Efek domino itu kembali menyala-nyala menciptakan sengatan listrik di perut Poppy. Tidak semestinya dia berpikiran mesum di sini, di tempat umum, di saat banyak orang sedang bercanda seraya menumbuk gelas.

"Take it all!"

"I-"

"I don't care. Take it all!"

Sekujur tubuh Poppy meremang merasakan pusat tubuhya berdenyut-denyut mendambakan sesuatu. Sebisa mungkin, Poppy merapatkan paha ketika irama nadinya makin tak karuan serta puncak dadanya mengeras membayangkan andai kata lidah Heath bermain-main di setiap inci tubuhnya. Memberi jejak padanya.

"Daydreaming about me, Baby?" bisik Heath di telinga Poppy.

Fuck! Sejak kapan dia sedekat ini?

Seringai tipis tercipta di sudut bibir lelaki itu bersamaan kilatan penuh arti terpancar dari matanya yang tajam. Heath memiringkan kepala, memerhatikan lekuk bibir Poppy yang setengah terbuka kemudian berbisik lagi, "Why are you so blushing like this?"

"Shut up, Big boy." Poppy mengelak setenang mungkin walau tak yakin apakah Heath mendengar secara jelas dentuman jantungnya mirip genderang perang. "I'm wearing heels bigger than your dick. Be careful, Alonzo."

Heath memicingkan mata kemudian menegakkan badan sebelum akhirnya pergi meninggalkan Poppy seorang diri. Refleks gadis itu mengibas-ngibaskan tangan secepat mungkin akhirnya berhasil menutupi kegugupannya yang hampir terbaca. Poppy tak mau tunduk hanya karena satu malam panas. Tidak! Bahkan waktu itu saja tidak layak disebut malam panas.

"Heath!" teriak Poppy melihat langkah Heath makin menjauh dari pandangan. "Sialan!"

"Hurry up! Your heels are slowing you down more than your brain is, huh?"

Beberapa orang yang mendengar ejekan tersebut terbahak membuat Poppy menanggalkan sepatu bertumit pendeknya. Dia menghampiri Heath dan mengacungkan jari tengah, "Fuck you, DickHeath!"

"Kau yang memulai kenapa juga kau yang marah?" balas Heath menyorot kaki telanjang Poppy. "Pakai sepatumu."

"Tidak!"

"Don't be fucking childish, Poppy." Heath merebut sepatu Poppy lalu berjongkok tuk memasangkannya ke tungkai gadis itu. "Jika kakimu terluka, aku tak mau mengobatimu."

"Aku bisa mengobatinya sendiri," gerutu Poppy mengamati Heath memakaikan sepatu di kaki kanannya.

"Ya ya, terserah kau saja." Heath berdiri lalu menggandeng erat tangan Poppy.

"Wow wow, don't!" Poppy menepis tangan Heath dan bergerak mundur. "Kalau ada yang menangkap basah kita, mereka berpikir kita ini teman. We aren't friends, got it?"

"Terserah kau sajalah!" Heath berjalan mendahului tanpa memedulikan panggilan Poppy yang menyuruhnya menunggu sekali lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro