Gulat Antar Pria, Nyawa Sirna /txt.log

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

=========

Liberte - Task 08

=========

[Sara]

Pak Kanselir melenggang dari ruangan meninggalkan sebuah pistol yang katanya berisi satu peluru untuk menghabisi seorang pengkhianat di antara mereka bertiga.

Aneh sekali pria tua itu, sudah berbicara berbelit, sekarang dia menyuruh satu diantara mereka melenyapkan nyawa. Belum lagi bagaimana ia bicara dengan cara separuh kebenaran.

Pandangan Sara mengedar ke ruangan melihat dua pria yang bersamanya, mereka pun sama-sama terpaku pada pistol itu.

"Jadi," Sara mengangkat pistol itu. "Kalian sudah paham 'kan, siapa yang seharusnya mati?"

[Silas]

Cih! Silas menarik napas. Wanita cantik itu benar-benar memesona. Namun, pria itu tidak boleh mati begitu saja.

"Tentu saya paham. Namun..."

Silas mendekati Sara dengan langkah tegap dan yakin.

"Senjata ini milik saya!"

Dengan kecepatan yang cukup tinggi, Silas mencengkeram tangan Sara yang memegang pistol, menariknya ke tubuh kekarnya sebelum membalikkan tubuh Sara dan merengkuhnya dari belakang.

Senjata itu pun kini berpindah tangan.

"Nah, Nona Sara. Saya rasa, kita berdua tahu siapa yang harus dibunuh bukan?"

Silas mengacungkan pistol itu ke arah Deo.

[Deo]

Melihat ujung pistol teracung ke arahnya, Deo hanya tersenyum miring.

"Tuan Silas, apakah saya benar-benar terbukti bersalah?" tanya Deo.

Ia lalu membuka kunci ponsel dan dengan kecepatan tinggi mengetikkan sesuatu di sana. Setelah selesai, ia mengarahkan layar ponsel itu ke depan wajah Silas dan Sara.

"Bagaimana? Apakah bukti ini cukup untuk Anda mengambil kesimpulan lain? Atau Anda, Tuan Silas, akan mengkhianati prinsip Anda sendiri? Membunuh seseorang yang belum terbukti bersalah?"

[Silas]

Tawa sinis mengudara. Silas melepaskan dekapannya dan mendorong tubuh Sara dengan halus ke belakang tubuhnya. Melindunginya.

"Kau pikir saya mau percaya? Justru biasanya orang yang mengaku memiliki bukti adalah orang yang paling bersalah!"

Silas bergerak menuju Deo bersiap melakukan rencananya. Silas berpikir, mempersempit jarak, tentu akan mempertinggi kesuksesan semua hal.

"Nah, selamat tinggal, Tuan Wartawan!"

[Deo]

Deo melebarkan senyumnya hingga gigi-giginya terlihat.

"Tuan Silas, bahasa kebenaran itu sederhana, tetapi alamiah manusia memang memilih untuk mempercayai hal yang ingin mereka percayai."

Dalam sekejap, Deo mengangkat kursi rapat di dekatnya dan mengayun benda itu ke arah tangan Silas yang memegang pistol.

[Silas]

Suara hantaman terdengar bersamaan dengan rasa nyeri yang menjalar dari telapak tangan hingga ke lengan.

Silas berteriak seolah rasa sakit begitu mendera berdenyut hingga daya genggamnya melemah dan pistol itu pun jatuh dan terdorong menjauh dari tubuhnya.

[Deo]

Memanfaatkan momentum tersebut, Deo segera melempar kursi dan bergerak ke arah pistol yang terlempar dari tangan Silas.

[Sara]

Oh, oh, barbar sekali para pria ini. Rasanya Sara hanya ingin menonton dan membiarkan pistol itu dimainkan mereka berdua.

Ia terlalu jauh dari pistol, ia cuma bisa menaikkan suara. "Kalian, hentikan."

Tapi rasanya percuma, 'kan?

Ia juga harus bergerak mengambil pistol itu ketika Pak Wartawan lengah.

[Deo]

"Hentikan nyawamu, Nona?" tanya Deo sambil mengangkat moncong pistol yang sudah ada di tangannya menuju ke Sara.

"Untuk seseorang sering keluar masuk Liberté, bahkan orang tuanya sempat melakukan riset di luar koloni, bukankah itu terlalu jelas?" Deo tersenyum, matanya menyipit dan menyalang jahat melihat seseorang yang ada di depannya.

"Saya tidak akan menerima perkataan terakhir, jadi ..," Deo terkekeh, "selamat tinggal."

Lalu, terdengar bunyi tembakan, harusnya begitu. Masalahnya, Deo tidak pernah menggunakan ataupun membaca manual pistol.

"Di mana pelatuknya ...?"

[Sara]

"Sepertinya memang seorang jurnalis tidak pernah melihat pistol sebelumnya, hm?"

Sara menggenggam badan pistol itu, tidak ada ketakutan di wajahnya. Ia juga tidak peduli kalau tiba-tiba sang wartawan tahu mana yang harus ditekan untuk menghempaskan peluru.

"Kalau semua orang yang pernah keluar masuk Liberte adalah pengkhianat, anda bisa juga menyalahkan kurir dan mobil karavan."

[Deo]

"Hanya saja, semua bukti mengarah pada Anda, Nona. Bukan kurir ataupun mobil karavan ... atau mereka komplotan Anda?" Deo menyeringai, menyembunyikan kegugupannya.

Sial! Andai saja dia tahu cara menggunakan pistol!

[Silas]

Silas terbeliak melihat Sara menggenggam badan pistol dengan sangat jantan... Eh... Tunggu dulu! Apa yang dipikirkannya?!

Namun, Silas tidak bisa membiarkan sesuatu yang buruk terjadi pada Sara. Tanpa berpikir lebih jauh, pria tinggi besar itu melompat menerjang tubuh Deo sekuat tenaga.

[Deo]

Badan Deo yang cenderung kurus tentu saja tidak dapat bertahan karena terjangan Silas. Dalam sekejap kakinya terhuyung dan dia jatuh di atas lantai dingin ruangan pertemuan itu, tubuhnya berguling sementara pistol terlempar dari tangannya.

[Silas]

Silas berusaha menekan tubuh Deo agar tetap bergeming. Tangan Silas terulur hendak mengambil pistolnya.

[Sara]

Sara mengambil pistol itu dengan santai. Ia menghela napas panjang. Tidak bisakah mereka membolongi kepala Kanselir saja?

Tapi sepertinya perebutan pistol itu jauh dari berakhir.

"Saya heran kenapa anda percaya saja kata-kata Kanselir soal saya, Pak Wartawan," ia memutar pistol itu di tangannya, main-main. "Memangnya kalau saya berkomplot dan mencuri dengan serakah, apa saya harus lama-lama menunggu Kanselir menggeser pantatnya dari singgasananya?"

[Deo]

"Kau!" Deo mengetatkan rahangnya, bahkan lidahnya tak sengaja tergigit hingga berdarah. Rasa besi mengalir ke dalam kerongkongannya.

Dadanya terasa sesak dan berat lantaran tubuh Silas berada di atas, menahan tubuhnya agar tidak ke mana-mana.

"Keparat! Pengkhianat Liberté sepertimu tak pantas hidup! Kau akan menghancurkan Liberté dan memindahkan seluruh teknologinya ke luar koloni, begitu, 'kan, Maestro Lituskultura?!"

[Silas]

"JANGAN BICARA SEMBARANGAN!" seru Silas terbawa emosi. Matanya nanar menatap Deo yang tubuhnya kini dia duduki. "Kau yang sejak awal menggaungkan soal penghianatan ini, kan?! Kau lah penjahatnya!"

[Sara]

Sara tertawa lepas, kini ia mengarahkan pistol ke arah kepalanya sendiri.

"Lalu apa, Pak Wartawan? Puaskah anda melihat wanita umur tiga puluhan bunuh diri dengan menembak kepalanya sendiri karena dipanggil pengkhianat?"

Lucu, sangat lucu. Terutama mendengar bahwa Liberte seakan melahirkan sendiri teknologinya.

"Coba tanya saja Kanselir, sudah berapa banyak teknologi yang beliau rampas dari saintis-saintis kecil yang tidak punya biaya untuk penelitian tapi tidak bisa mengajukan idenya ke pemerintahan."

[Deo]

Deo meronta, tapi sekali lagi, tiada guna. Tubuh Silas terlalu berat dan besar. Setidaknya, ia ingin meninggalkan sidik jarinya di pelatuk pistol dan ... Dar! Pelor panas itu akan melesat menuju Sara dengan kehendak tangannya, ia akan diangkat serupa martir yang berjasa karena melibas kejahatan!

"Minggir, Maniak Jamur, sialan! Aku akan membunuhmu, Nona Sara!"

[Silas]

Silas bangkit mencengkeram kerah Deo dan menariknya ke atas.

"Jangan sok kuat!"

[Deo]

Ya, dan ini dia, akhirnya.

"Mau apa kau! Hei, turunkan aku!" Deo meronta, kakinya kini benar-benar tak menapak lantai.

Kedua tangannya kini memeluk dirinya sendiri, bersiap untuk kemungkinan terburuk.

[Silas]

Silas mencebik melihat Deo sudah bersiap-siap. Apa dia pikir itu bisa menahan sakit? Terserah lah! Yang jelas, dirinya tidak akan bertindak setengah-setengah!

"Bersiaplaaah!" Silas mendesis sebelum melompat maju, mengangkat tubuh Deo yang kurus dengan mudah untuk kemudian melemparkannya ke arah dinding.

Suara tubrukan terdengar nyaring diiringi suara mengaduh.

Dan dengan gerakan cepat, Silas memutar tubuhnya dan melakukan tendangan telak ke wajah dengan steel shoe yang selalu dia pakai untuk melindungi dari kecelakaan kerja di laboratorium, hingga terdengar suara tulang yang bergemeretak.

[Sara]

Yak, lagi-lagi adegan yang tidak pantas ditonton anak kecil! Telah terjadi tubrukan antara dua momentum, yang satu bergerak dan satu statis, sehingga bisa dikatakan benda statis akan mendapatkan aksi sebanyak reaksi dari benda bergerak yang dilemparkan pada kecepatan tinggi...

Atau cukup menjadi distraksi.

Sara melangkah pelan menuju tujuan, tangan dominannya mengangkat telak dengan jemari sempurna pada pelatuk. Jarak menentukan segalanya, kalau salah, bisa-bisa targetnya tidak mati.

DOR

Peluru yang katanya tiket mereka melenggang pergi itu bersarang di tengah-tengah tenggorokan penjaga yang tidak dilempar Silas, menembus hingga menyisakan jejak darah menyiprat ke dinding dan ke arah Sara.

Sial, wajahnya jadi kotor sekarang.

"... Dan itulah caranya memakai pistol Liberte, anak muda. "

Ah, rasanya ingin dia tertawa lengking sekarang.

[Deo]

Deo mengaduh di lantai.

"Saya benar-benar tidak menyangka kalau saya akan dilempar ke salah satu penjaga," ujarnya sambil telentang di lantai. Harap-harap tidak ada tulang yang patah di dalam tubuhnya.

Di atas meja, ponselnya yang kini mati itu menjadi saksi bisu atas apa yang dia rencanakan.

Tadi, teks yang dia ketik di ponselnya berbunyi, "mari bersandiwara, saya tidak punya bukti yang cukup untuk mengungkap kebenaran kalian." Sebisa mungkin ia membelakangi penjaga saat menyodorkan ponsel itu ke arah Silas dan Sara.

"Enak saja, tugas memberantas pengkhianat itu harusnya dilakukan oleh Menteri Pertahanan, bukan kita. Menteri sialan itu bisa mendapat gaji buta kalau kita yang mengeksekusi. Untung saja, Kanselir tidak memberikan penalti jika salah satu dari kita tidak ada yang mati," jelas Deo sambil melihat pendar lampu di ruangan tersebut.

[Sara]

Sara tidak punya sapu tangan, jadi ia menyeka wajah dengan sisi lengannya. Darah orang lain, hm, sudah lama ia tidak kecipratan darah orang lain.

Lagipula, pengkhianat pasti ada banyak, berkelompok, benar kata Deo kalau itu seharusnya urusan Menteri Pertahanan. Mereka sudah banyak ditugaskan hal-hal aneh saat itu, disetir oleh Kanselir dengan agendanya.

Andai pelurunya ada lengkap.

"Jadi? Apa para pengawal ini punya barang yang bisa kita pakai? Pistol mungkin?" Sara menunduk melihat si pengawal yang lehernya sudah ia lubangi meringkuk di lantai. "Ah tenang saja kalau anda sudah siap berdiri baru kita akan coba pergi, Pak Wartawan."

[Deo]

Deo menganggukkan kepala.

"Saya setuju usulan untuk merampas senjata dan amunisi." Perlahan-lahan mencoba berdiri.

Semua tulang-tulangnya rasanya bergemeletuk saat ia mencoba berdiri. Semoga memang benar tidak ada yang patah di dalam sana.

Setelah tubuhnya berdiri sempurna, ia berpegangan pada meja rapat dan mengembuskan napas.

Lagipula, ia harus tetap hidup karena ia harus menemui seseorang nanti, seseorang yang ... mungkin penting.

[Silas]

Silas mengangsurkan tangan ke arah Deo. "Maaf saya sampai melemparmu. Harus saya akui, idemu memang nekat, tapi berhasil. Mereka sampai tidak bisa bertindak karena Nona sara menembak dengan sangat tepat."

Ya ... Semoga semua akan baik-baik saja.

[Deo]

Deo mengangguk. "Tidak masalah, Tuan. Sekarang apakah saya bisa mendapat perawatan dari kotak P3K yang tadi Anda bawa, Nona Sara?"

[Sara]

Bibir Sara mengerucut. Ia menaruh kotak P3K di atas meja, kemudian kembali ke mayat pengawal untuk mencari senjata dan mungkin alat komunikasi yang bisa ia bawa.

"Tuh, suruh Silas mengobatimu biar kalian impas."

[Silas]

Silas tersenyum menahan senang melihat Sara menolak mengobati Deo.

"Biar saya saja. Saya juga sering melakukan P3K karena sering jatuh saat mencari jamur."

Silas pun mendekati Deo setelah menyambar kotak P3k

[Deo]

Deo mengulas senyum lebarnya yang paling tulus, "terima kasih, Tuan dan Nona."[]

====

Credits:

Silas - Shireishou

Deo - boiwhodreams_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro