Lika-Liku Labirin Bersama Laki-Laki Liberte / txt.log

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

=========

Liberte - Task 06

=========

Mereka memutuskan untuk keluar dari laboratorium khusus itu dan ... mendapati mereka bertiga dalam labirin, karena tembok-tembok putih tinggi berada menjadi sekat di sekitaran mereka.

Sementara, selain ricuh di luar makin berkembang, sepertinya para penjaga sebentar lagi tahu mereka telah berusaha kabur.

Jadi, bukan hanya menjadi burung dalam sangkar, mereka sekarang adalah tikus yang berlari ke perangkap, menarik sekali.

"Baik, jadi para pria yang budiman, ke mana dulu kita akan melangkah?" tanyanya dengan suara ringan.

*

Deo baru sadar, yang jadi masalah karena laboratorium utama Liberté ini pengamanannya sangat ketat, gedungnya sengaja dirancang seperti labirin.

Oh, Kanselir, maafkan aku, tapi, dasar arsitek sialan!

"Emm, kanan? Saya rasa saya lebih percaya dengan intuisi Tuan Silas daripada intuisi saya sendiri."

Itu kenyataan, Deo tidak pintar dengan intuisi, dia lebih ahli mengurusi deduksi dan hal-hal yang dapat dia kontrol.

*

Silas mengembuskan napas panjang. Dirinya benci kalau harus seperti ini. Jika di hutan, dia bisa menandai setiap pohon yang ada.

"Pertama-tama, kita dihadapkan pada tiga pilihan, kanan, kiri, dan lurus. Saya membawa bor. Namun, akan berisik jika melubangi tembok sebagai tanda. Apa ada yang membawa spidol? Atau selotip? Kita akan menandai jalur mana yang sudah kita lewati dan tidak boleh melaluinya lagi agar tidak berputar-putar di situ saja."

Silas membongkar ranselnya dan hanya menemukan masker, bor, paku, palu, dan perkakas kecil lainnya.

Cih! Selotip yang dimilikinya transparan!

"Kita coba lurus dulu. Apa selotip transparan ini cukup terlihat? Ada yang punya pita atau kain?"

Menggunakan perban p3k tidak bijak. Bagaimana kalau nanti mereka butuh perban?

Oh!

Silas mengeluarkan rubiknya dan dengan palu, dihancurkannya jadi berkeping-keping.

"Lumayan. Lebih terlihat daripada sekadar menempelkan selotip transparan ke dinding. Ayo kita jalan. Biar aku di depan!"

Silas memasukkan kembali kepingan-kepingan rubik ke saku jubahnya dan memakai tas punggungnya. Tangan kanannya yang memegang pipa besi mengerat.

*

"Oh aku bawa spidol." Sara mengambil spidol yang menempel di buku jurnalnya. Lebih mudah membuat tabel secara manual di buku catatan dibanding di papan pintar, menurutnya.

Sara memilih untuk berjalan paling belakang, sesekali menengok ke arah pintu tempat mereka keluar. Sebentar lagi mereka akan dibutakan oleh nuansa putih. "Silakan duluan, Pak Wartawan."

Deo mengangguk, kemudian ia menarik pintu dan berjalan keluar bersama-sama.

*

Mereka bertiga berjalan beriringan hingga akhirnya mencapai percabangan berikutnya.

"Kita lurus. Tampaknya sedari tadi, lurus selalu tepat!"

*

Sekilas, mereka seperti bukan orang-orang yang sedang kabur, mungkin karena Silas yang besar berjalan di depan.

Dan ... oh. Sepertinya mereka menemukan tembok-tembok penghalang pertama. Tidak ada belokan lain setelah Silas membawa mereka berjalan lurus.

"Buntu?" tanya Sara.

*

"Cerita kuno sebelum peradaban Liberté dimulai mengatakan bahwa seharusnya kita berjalan ke kanan. Kanan selalu benar," ujar Deo.

Kini dia jadi tidak bisa mempercayai intuisi Silas.

*

Cih! Aku tersasar! Silas ingin sembunyi dan menutup wajahnya dengan rambut hijau panjangnya persis seperti jamur yang mengatup.

"Nona Sara, silakan berikutnya, Anda yang menentukan. Maafkan ketidakmampuan saya memilih jalan," pinta Silas.

*

Dahi Sara berkedut. Dia disuruh memilih jalan? ingin rasanya berkomentar tapi ia tidak boleh membuang banyak waktu.

Untungnya mereka menandai jalan, kalau tidak, mereka bisa tersesat terlalu jauh. Jalannya juga tidak bercabang tiga jadi mereka bisa memilih jalan yang Silas tidak pilih sebelum akhirnya mereka bertemu percabangan yang belum mereka tandai.

"Oke, sekarang kita ke kiri."

Atau kalau ada jalan buntu, mereka bisa kembali lagi.

*

Deo mengangguk, mengikuti perkataan Sara, mereka akhirnya berbelok ke arah kiri.

Semoga bukan jalan buntu.

*

Sara menandai dinding yang mereka lewati dengan spidol, sebuah tanda silang kecil di sisi agak bawah dinding. Ada suara gema langkah di tempat lain, tapi tampaknya masih agak jauh. Petugas sepertinya sudah menyadari mereka pergi dari kungkungan ruang khusus.

Selama mereka tidak berpapasan dengan para petugas itu, mereka tidak perlu capek-capek berlari, 'kan?

Sara menghela napas panjang ketika mereka menemukan percabangan berikutnya.

"Saya rasa ini giliran anda dan insting jurnalis anda yang mencoba mencari jalan keluar dari sini."

Oh, ayolah ikut berguna, Pak Wartawan.

*

Deo menerima spidol dari Sara dan tanpa ragu memilih ke kanan.

Bahasa kebenaran itu sederhana, dan kebenarannya hanya ada satu, maka dari itu ...

"Maaf, sepertinya saya kurang beruntung." Deo mencoret dinding yang ada di ujung lorong sebelah kiri. Ia mendesah, perjalanan keluar dari sini tentu akan memakan banyak tenaga untuk berpikir.

"Mari kembali ke tempat tadi dan mengambil arah yang berseberangan." Deo langsung memberikan solusi.

*

Silas pun menggaruk tengkuknya bingung. Jika di hutan saat mencari jamur, dia bisa membedakan dengan arah tumbuh pohon, kerapatan jamur, lagipula pohon yang jarang ada menyebabkan dia bisa melihat ke sekitar dengan baik.

Sementara di sini, semua serbaputih.

"Coba sekarang kita ke kiri lagi. Kalau orang sudah salah, peobabilitas salah tetap saja berkurang bukan?"

*

Setelah beberapa kali kembali ke titik awal, Sara menyimpulkan sementara: para lelaki ini membawanya ke jalan yang berliku.

Ah, tapi paling tidak mereka tidak ketahuan petugas. Penekanan pada 'tidak' karena mereka harusnya bisa keluar dengan mulus.

Harusnya.

Tolonglah mereka cepat-cepat keluar sebelum ia menjadi skeptis.

Sara terus menandai dengan spidol, bergantian dengan Deo. "Kita sebaiknya terus merapat ke arah barat, tapi kali ini saya memilih lurus."

*

Deo hanya bisa mengangguk, dia tidak punya usulan lain lagi ketika tadi usulan dia malah membawanya ke jalan buntu, mungkin dia perlu berpikir untuk tidak mengikuti cerita kuno yang belum tentu terjadi.

"Baiklah kalau begitu. Saya rasa perjalanan kita masih panjang ke depan."

*

"Kita tampaknya harus patuh pada intuisi wanita. Nona Sarra sedari tadi benar. Sementara kita selalu menyasar!"

Silas menarik napas panjang kecewa.

*

"Kita selalu bisa mencoba lagi nanti, Tuan Silas," ujar Deo.

Lagipula, tidak ada kompetisi di sini, kata Deo di dalam hatinya.

*

"Baiklah, kali ini kita lurus!" Silas nyaris skeptis dengan pilihannya yang selalu menemui jalan buntu.

Akan tetapi, kali ini.... dia menyadari sesuatu. Ruangan yang ada di hadapannya tidak lagi serbaputih.

"Apa kita berhasil keluar dengan selamat?"

*

"Saya curiga belum, Tuan. Rasanya tidak mungkin semudah ini?" Deo membalas pertanyaan Silas dengan pertanyaan yang meragukan kesimpulan Silas.

Pasti ada sedikit rasa tidak percaya dengan Silas karena pilihannya tadi hanya berujung ke jalan buntu (pilihannya juga sama saja sih).

"Bagaimana menurut Nona Sara?"

*

Sara sekedar menelengkan kepala. Kenapa mereka mulai bertanya sebuah retorika? Eh, tapi layani saja.

"Kanselir tidak bodoh, mungkin ketika kita keluar dari sini, pasukannya sudah menunggu?"

*

"Kalau begitu berita bagus, tidak mungkin kalau pasukan kanselir akan menawan kita, bukan?" Deo berbalik ke Sara dan Silas.

Sambil berusaha menjaga agar bibirnya tidak tersenyum di saat yang tidak tepat.

*

"Tapi kita sudah kabur, paling tidak masih ada alasan untuk menahan kita?" Sara menaikkan alis, menahan tawa.

Rencana mereka awalnya adalah untuk menyerah pada "lawan", kalau ternyata Kanselir yang menyambut mereka di pintu keluar itu lain soal.

"Apa sebentar lagi kita akhirnya menemukan pintu keluar?"

*

"Itu pasti pintu keluar!" Silas berkata yakin. "Semoga tidak terjadi hal yang buruk. Dan semoga, kita bisa menyelamatkan semua koloni!"

Pria itu membulatkan tekad untuk beejuang apa pun yang terjadi!

--

Credits:

Silas -   Shireishou

Deo -  boiwhodreams_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro