Roleplay So Far / txt.log

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

=========

Liberte - Task 02

=========

[Deo]

Deo berada di dalam mobil yang terdesak oleh kerumunan orang. Meski wajahnya tetap kaku dan dingin, jauh di dalam hatinya sebenarnya ia merasa panas dan kesal terhadap orang-orang ini.

Mereka pembuat onar dan kericuhan.

Namun, tak lama kemudian, Deo tersenyum saat mengetahui para aparat Liberté berhasil membuka jalan bagi mobil mereka untuk terus maju ke dalam laboratorium.

Sesampainya mereka di area parkir VIP, mereka langsung disambut oleh beberapa aparat yang berwenang untuk melakukan pengamanan ekstra ketat. Lagi-lagi, Deo merasa bangga terhadap koloni tempat dia dilahirkan ini.

"Deo, untuk laporan hari ini, siapapun yang datang kalau bisa rahasiakan!" ujar Pimred kepadanya.

Deo mengangguk paham.

Mereka bersama-sama berjalan di aula temu yang berada tepat di samping ruang kerja laboratorium, tempat saintis-saintis kebangaan Liberté juga ikut membangun koloni ini.

Saat masuk, mata Deo langsung menangkap seorang perempuan berkulit putih pucat dengan beberapa bercak keunguan. Pupil mata berwarna keemasan itu sekilas terlihat memandang ke depan, tapi Deo ahli dalam membaca lebih dalam, sorot mata itu mengawang entah ke mana. Sedikit sirat ketidakmauan juga ada di sana.

Wanita itu ....

Deo tersenyum. Meski ia tahu pandangan saintis berkulit pucat itu tidak mengarah kepadanya, tapi ia tetap menyunggingkan senyum dan menganggukkan kepala untuk menyapa.

Sang Maestro Lituskultura, Sarrachenia.

[Silas]

Silas masih menatap jurnal yang digenggamnya erat-erat sedari tadi. Duduk di kursi yang agak keras di tengah para ilmuwan yang saling pandang curiga terasa tidak nyaman. Memang kesendirian adalah tempat terbaiknya tinggal.

Namun, entah kenapa sedari tadi pandangannya sering beralih pada wanita dengan ekspresi ... yang mungkin terkesan bosan(?). Silas tak yakin. Dia jarang berinteraksi dengan orang lain.

Silas kembali membaca jurnalnya.

'Fokus, Silas! Kamu sedang mengikuti pertemuan penting!'

Suara debas terdengar. Pria itu memejamkan mata. Dia tidak bisa duduk diam begini! Rasanya melelahkan.

Dikeluarkannya rubik 4x4 dari saku jasnya. Namun, langsung selesai tidak sampai satu menit.

"Cih!" Dia berdecak kesal.

Namun, lagi-lagi rasa penasaran membuatnya kembali menoleh ke arah wanita dengan kulit pucat dan bercak ungu itu . Sungguh terlihat sangat elegan seperti cortinarius iodes. Silas merasakan jantungnya berdebar lebih kencang dari sebelumnya.

Belum ada tanda-tanda acara akan dimulai. Duduk seperti ini membuat kepalanya berdenyut-denyut dan hatinya gelisah. Mungkin memang dia harus segera melakukan sesuatu mengalihkan perhatian sebelum perasaan kesal karena duduk diam ini semakin menjadi-jadi.

Silas pun bangkit, dan bergerak mendekati sosok yang sedari tadi mencuri perhatiannya itu.

[Sara]

Di bagian depan ruangan, para elit pemerintah dan bajunya yang membosankan sudah bersiap-siap berbicara dan menampilkan slide yang hendak mereka tunjukkan ke hadapan tamu. Akhirnya, batin Sara sambil menahan dagu. Tapi, ia masih lebih senang menatap rumput-rumput semi sintetik di ruangan ketimbang memandang mereka yang berbaju hampir mirip dan bermuka hampir mirip.

Setelah dipikir-pikir, ruangan ini ramai sekali setelah semua bangku terisi. Ada kubu jas putih sepertinya, para saintis, dan ada kubu berpakaian necis, sepertinya wartawan tulen, bukan orang yang sengaja dipasang untuk memenuhi ruangan.

Hm?

Sara telat menyadari, tapi tampaknya ada beberapa pasang mata mengarah kepadanya? Ada apa? Apa baru kali ini mereka melihat sosok albino - tidak sempurna albino, sih - berjalan di bawah terik matahari?

Ia mengerjap, yang pertama diinderainya adalah seorang saintis pria yang bertubuh besar. Sara pun duduk sambil menaikkan sebelah kakinya.

"Maaf, tapi, posisi layarnya bukan ke arah sini, Pak." senyumnya.

[Silas]

Dia menyapaku! Dia menyadari kalau aku melihatnya! Luar biasa! Apa semua orang peka seperti dirinya? batin Silas langsung terpesona.

Silas melengkungkan bibirnya ke atas seperti biasa.

"Maaf kalau saya tidak sopan. Namun, sedari tadi, Anda menarik perhatian saya." Silas kali ini menarik napas panjang menenangkan dirinya yang sedikit gugup. Entah rasanya mirip saat Bunda berkata kalau dia harus pergi ke Liberte.

"Dan saya rasa, kita sama-sama bosan menunggu. Jadi, bolehkah jika saya duduk di samping Anda sebagai sesama peneliti yang bosan menunggu?"

Tiba-tiba Silas teringat sesuatu. "Ah, saya tidak sopan belum memperkenalkan diri. Saya Silas Xav Lcytsi. Salah satu spesialis peneliti jamur dan kaktus untuk bahan pangan." Suaranya terhenti. "Khususnya yang cantik seperti cortinarius iodes."

Ya ... lagi-lagi Silas bisa merasakan kemiripan jamur kesayangannya dengan wanita misterius itu. Anggun, cantik, memesona, tapi menyimpan banyak rahasia di baliknya.

[Sara]

Pria besar berambut gradasi kehijauan itu menunjukkan ketertarikannya, alis Sara sedikit naik. Rasanya aneh menjadi pusat perhatian, seperti pucuk tanaman di bawah cawan petri saja, kembali pikirannya bersuara.

"Oh, silakan saja, saya tidak keberatan." Sara menunjuk kursi di sampingnya.

Ia kemudian memperkenalkan diri sebagai Silas Xav Lcytsi menyebut salah satu nama jamur, seperti semua peneliti yang terobsesi dengan bahan penelitiannya. Benar sepertinya ia adalah peneliti tulen, bukan seorang muda yang idealis.

Entah, mungkin kemampuan Sara menilai orang sudah tumpul semenjak ia memutuskan hidup di bawah tanah.

"Cortinarius iodes, anda sepertinya makhluk jamur tulen," Sara menjeda. "Silas," sepertinya ini harus menjadi titik ia memperkenalkan diri, ya? "Panggil saja saya Sara."

Mata ambarnya mengedar lagi, ada wartawan necis di ujung sana yang tampak menguping pembicaraan mereka.

"Jadi, apa wartawan zaman sekarang tertarik sekali dengan jamur?"

[Deo]

Pimred dan Sekretaris Deo sudah mengambil duduk terlebih dahulu, sementara Deo masih mengeluarkan barang perlengkapannya dulu dan duduk di sebelah pimred. Para pengurus laboratorium sudah bersiap dengan bahan-bahan yang akan mereka presentasikan.

Untuk membuang waktu, lelaki itu mengedarkan pandangan dan menajamkan pendengarannya. Ada beberapa wajah yang familiar dengannya karena ia memang pernah membuat wawancara eksklusif dengan mereka. Termasuk salah seorang perempuan berkulit pucat yang duduk di seberangnya.

Sara, nama panggilannya. Perempuan itu terlihat bercakap dengan seorang lelaki berbadan besar dan berambut hijau (wow, sama seperti dirinya?) yang duduk di sebelahnya.

Silas? Hmm, sebuah nama yang tidak pernah ia temui. Apa lelaki berotot itu kurang bertalenta?

"Jadi, apa wartawan zaman sekarang tertarik tertarik sekali dengan jamur?"

Deo hampir menyemburkan kekehannya. Terakhir kali ia bertemu dengan Sara, sampai sekarang, perempuan itu masih begitu peka. Menakutkan dan ... menarik baginya.

"Dalam hal masakan? Saya suka dan terbiasa makan jamur. Juga mohon maaf, bukan bermaksud menguping, tapi perbincangan kalian terlalu keras." Tentu saja ini klarifikasi untuk menyelamatkan Deo sendiri.

"Ehem." Suara deheman segera membuat dengung rendah di ruangan itu kompak terdiam.

"Kami akan membuka agenda pertemuan hari ini. Namun, sebelum itu, mengikuti permintaan Kanselir, kami turut menghadirkan satu-satunya media paling berpengaruh dan paling terpercaya di seantero Liberté."

Mengikuti perkataan tersebut, Deo dan Pimred beserta sekretarisnya berdiri dari kursi, menaruh telapak tangan kanan di dada kiri, lalu membungkukkan badan.

"Mereka juga media yang paling dipercaya Kanselir. Tugas mereka akan meliput perkembangan kita terkait masalah yang akan kita bahas hari ini, sekaligus meredam kegaduhan masyarakat. Bagaimanapun juga, seburuk-buruknya berita yang akan kami sampaikan, harus dieksekusi dengan pikiran dingin tanpa membuat kepanikan, bukan?" Lelaki berjas yang membuka rapat itu bertanya dengan ramah sambil tersenyum.

Perkenalan dari pimred dan sekretaris segera menyambung keheningan di dalam ruangan, diakhiri dengan Deo.

"Saya adalah Deonycho Phenix, saya yakin banyak Anda sekalian banyak yang sudah mengenal saya." Matanya memandang ke Sara seolah memberikan kode secara tersirat. "Saya di sini sebagai satu-satunya wartawan yang bertugas dengan Anda. Mohon kerjasamanya."

Kemudian dia mengambil duduk kembali.

"Baiklah, dengan ini secara resmi, agenda pertemuan ini saya buka dengan satu berita buruk: sistem penopang kehidupan Liberté mengalami malfungsi sebanyak 50%."

Tepat saat itu, mungkin bagi orang lain, terasa ada suara yang menggelegar di dalam kepala mereka. Namun, bagi Deo, tidak ada suara itu. Yang ada hanyalah dentuman suara jantung dan wajah yang menegang. Tepat saat ia memegang kertas materi presentasi, ada satu kertas misterius yang bertuliskan: Liberté tidak seharusnya makmur sendirian.

Deo menarik napas, dan sebelum agenda pertemuan dijalankan lebih lanjut, dengan tegas ia memotong pembicaraan.

"Mohon maaf, tapi setiap informasi yang ada di ruangan ini bersifat konfidensial. Oleh karena itu ...." Deo mengangkat kertas misterius tersebut. "Oleh karena itu siapapun yang menaruh kertas ini harap mengaku dan keluar dari ruangan ini segera!"

Hening.

"Bukankah informasi jika sistem penopang kehidupan telah kehilangan 50% dari performanya sudah cukup bagi Anda?" Mata tajam Deo menyisir seantero ruangan, menilik satu persatu wajah yang menegang, panik karena rahasia mereka telah terendus bahkan sebelum dimulai.

[Silas]

Silas melebarkan senyum ketika menyadari kalau Sara ternyata cukup ramah dan bahkan tidak ragu memanggil dengan nama depan.

Senangnya! Rasanya seperti melihat tunas pertama jamur yang kutanam.

Silas mengangguk dan duduk. Dilihatnya seorang pria dengan wajah tampan juga menyapa Sara.

Cih! Jamur eh, wanita cantik memang selalu jadi incaran.

Maka Silas pun hanya tersenyum basa-basi pada Pria yang mengenakan name tag bernama Deo itu.

Silas pun menatap me arah depan siap mencatat apa pun yang akan terdengar. Otaknya mudah terlupa. Menulis adalah cara agar dia bisa tetap tenang dan mengingat kalau dirinya harus tetap diam.

Sama seperti kesabarannya untuk menunggu fase istirahat selama lima sampai delapan hari sebelum penanaman benih jamur berikutnya, kali ini dia harus bertahan.

Lagi-lagi diliriknya Sara yang tadi sempat menyapa Deo. Yah, mungkin nanti akan ada lagi kesempatan untuk mengobrol dengannya.

Tiba-tiba pikiran Silas kembali fokus kala suasana ruang mendadak hening. Pria itu menoleh dan baru sadar kalau Deo berdiri sambil mengangkat sebuah kertas.

'Liberte tidak seharusnya makmur sendirian'

"Eh?" Tanpa sadar mulut Silas bersuara. Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah semua penelitian yang kulakukan memang untuk kepentingan banyak orang?

Silas merasakan tangannya berubah menjadi sedingin jamur velvet shank.

[Sara]

Para pemilik kepentingan sudah naik mimbar, termasuk wartawan necis tadi, yang sepertinya masuk jajaran "mereka dengan kepentingan masing-masing". Rasanya, hampir semua pemilik media itu demikian, objektivitas menyelubungi subjektivitas yang diramu dengan teknik tertentu.

Ah, tapi ia cuma saintis, ia bukan seorang yang terlalu sosial.

Wartawan itu memperkenalkan diri sebagai Deonycho Phenix, membubuhkan embel-embel 'wartawan yang bertugas dengan anda', dengan tanda maksud lain di sana. Deo tampak familier dengan Sara, apa mereka pernah bertemu sebelumnya?

Sara hanya tertegun mendengar berita yang para pemilik kepentingan sebutkan: penopang kehidupan Liberte mengalami malfungsi sebesar 50%. Isi kepalanya sekedar gaung hampa, sebuah 'oh' besar. Tak disangka koloni yang dianggap palih masyhur seantero Terra bisa jatuh juga. Haruskah ia peduli?

Dan ya, benar saja, berita susulan yang mengikuti pengumuman tadi malah lebih menarik simpati para tamu di sana: sebuah surat yang terlihat sebagai ancaman. Sara menyembunyikan senyum melihat raut wajah para tamu berubah. Bahkan Silas, yang semula terlihat cukup tenang, mulai menunjukkan perubahan.

"Interupsi, para pemilik kepentingan sekalian," Sara melambaikan tangannya malas. "Sepertinya saya akan dicurigai kalau bilang seperti ini, tapi bukannya memang Liberte tidak seharusnya makmur sendirian? Memang selama ini kami peneliti menggunakan otak kami untuk apa, untuk mengisi kantong kalian, kah?"

Ah, mungkin sebentar lagi akan ada yang menggiringnya pergi, atau 'lenyap', sama seperti para peneliti jalanan yang lain.

[Deo]

"Nona Sara." Deo berdeham. "Untuk ukuran seorang saintis yang tidak pernah keluar dari gua penelitian Anda, seharusnya Anda tidak memiliki keberpihakan, bukan?"

Sekali lagi, Deo menorehkan senyumnya. Jika ada seseorang yang sengaja memancing dengan kertas misterius itu, ia juga harus balas memancing siapa dalangnya.

"Tentu Anda tahu maksud kertas ini, 'kan? Atau saya harus usul agar pimpinan rapat memanggil para aparat? Sistem penopang kehidupan Liberté sedang berada di ujung tanduk dan sayangnya kita membuang waktu dengan surat kaleng recehan seperti ini. Apa Anda bertanggung jawab atas hal ini, Nona Sara?"

[Sara]

Terasa lucu mendengar mereka yang kalang kabut soal masalah sistem penopang kehidupan. Memang, itu masalah vital, tapi lebih anehnya lagi karena Kanselir tidak terus terang pada khalayak luas. Yah, meminimalkan kepanikan mungkin hal yang utama - atau, mereka hendak menyembunyikan perihal kertas "konyol" barusan.

Sara memilih duduk, terlalu lama berdiri membuat tungkainya capek.

"Berpihak? Pada siapa? Rasanya tidak ada kubu lain di sini, dan kita semua lebih panik soal sistem penopang itu, 'kan? Lalu mau kalian apa dengan kami, memeras otak kami mencari jalan keluar?" Sara mengetuk-ngetuk mejanya pelan, senyumnya hanya semakin berkembang.

"Saya tidak tahu apa-apa soal surat itu, saya cuma bilang kalau saya setuju bahwa tidak sepantasnya Liberte makmur sendirian, tapi terserah kalau anda mau menganggap pernyataan saya sebuah ancaman."

[Silas]

Silas paling tidak suka sesuatu di luar jadwal. Jika memang seharusnya adalah oenjelasan dari kanselir, maka sebaiknya begitu. Kenapa harus dirusuh dengan wartawan dan surat ancaman yang belum tentu benar?

Silas mengangkat tangannya dengan enggan dengan perdebatan kali ini.

"Tak bisakah semua dilakukan dengan runut? Tolong dijabarkan satu per satu kenapa kita bisa ada di sini. Soal kemakmuran milik siapa, kita bahas setelah mendengar tujuan kita ke sini dengan detail tanpa ada yang ditutupi."

[Deo]

Deo berpaling sebentar pada pemimpin rapat sampai pemimpin rapat hanya mengangguk (meski penuh dengan keraguan). Di dalam pikirannya, adalah hal gawat jika sampai ada yang tahu apa isi pertemuan hari ini.

Kejayaan Liberté bisa terancam.

Lelaki itu juga memandang pimred yang juga memberi isyarat dengan anggukan, tapi kali ini penuh dengan keyakinan. Deo menganggap anggukan itu sebagai: "Jika ada informasi yang bocor, sebesar apapun itu, kita berpengalaman untuk meredamnya."

Deo mengembuskan napas.

"Baik, kertas ini akan saya simpan dan saya serahkan pada aparat yang berwenang. Untuk sekarang, saya rasa tugas kami sebagai media sudah dimulai dari sekarang. Lalu, untuk rapat silakan dilanjutkan kembali, saya mohon maaf atas interupsi yang kurang sopan." Lelaki itu mengatakannya dengan satu tarikan napas.

[Silas]

Silas mencebikkan bibirnya sedikit.

Setidaknya dia pria yang cukup cerdas serta mau melihat kondisi dan tidak bertindak serampangan.

"Terima kasih," bisik Silas pelan ke arah Deo sembari kembali mengeluarkan rubik untuk menenangkan diri.

Silas melirik ke arah Sara menantikan reaksi wanita cantik itu.

[Sara]

Riuh-rendah mulai mengisi ruangan. Ia tidak bisa menangkap apa yang dibicarakan semua orang, tapi sepertinya topik soal sistem penopang Liberte yang tinggal 50% itu kurang hangat dibandingkan surat ancaman. Atau ada yang ternyata memang peduli? Entahlah. Manusia yang Sara tahu lebih senang menyelamatkan bokongnya sendiri.

Sara melihat Silas tampak kalut, memandangnya seperti menanti reaksi Sara.

Sekarang, coba ia mengamati sekeliling dulu. Wartawan itu pasti turut mengintai, mencari siapa yang sudah "membocorkan" informasi.

"Apa kamu punya ide untuk menjadi pahlawan Liberte?" tanyanya pendek pada Silas. Sara menyilangkan tangan di depan dada, menunggu.

[Silas]

Gerakan Silas yang memutar rubik terhenti. Dia memandang Sara dengan "Pahlawan? Maksudmu?"

[Sara]

"Oh? Anda tidak ingin menyelamatkan koloni ini, Silas? Sepertinya semua orang ingin koloni ini tetap berjaya sendirian," Sara mengerling menanggapi wartawan yang tadi sudah berapi-api menyela demi sepucuk surat yang dianggapnya tidak penting.

"Benar begitu, Pak Wartawan Deo?"

[Deo]

"Mohon tenang dan kita bicarakan apapun itu nanti setelah pertemuan selesai, Nona Sara!" balas Deo dingin sambil kembali berkutat ke kertas dan laptopnya.

Pekerjaannya tidak dapat diganggu gugat, dan sesi "wawancara" ada waktunya sendiri.

Meski begitu, apa maksud Sara mengatakan ingin menjadi pahlawan?

Deo menaikkan kacamatanya ke pangkal hidung, menyimpan pertanyaan itu untuk nanti.

[Silas]

Apa menyelamatkan harus menjadi seorang pahlawan? Apa tidak bisa menyelesaikan masalah lalu menjadi manusia biasa saja yang tetap diam di laboratorium dan melakukan apa yang biasa aku lakukan?

Bibir Silas naik ke atas. Pria itu merasa kalimat Sara terasa sinis dan penuh luka. Mengingat dirinya sendiri saat pertama kali menghadapi kematian Bunda. Luka apa yang wanita itu pernah derita hingga dia sesinis ini?

Kali ini Silas kembali mengacak rubiknya dan memutuskan tak berkata apa pun setelah mendengar Deo meminta mereka tenang.

Yah, bicara dengan Sara saat semua masih berkabut seperti ini tidaklah bagus. Untuk menumbuhkan jamur, harus diperhatikan dengan baik bagaimana kelembaban, suhu, juga tempatnya bertunas. Karena itu, Silas memutuskan untuk mengangguk sopan dan menunggu.

[Sara]

Melihat kericuhan dan kondisi yang sudah tidak kondusif sepertinya menggerakan para pemilik kepentingan untuk mengakhiri rapat. Satu-persatu dari mereka yang semula duduk dengan muka tegang dan rahang keras berjalan keluar ruangan. Seperti biasa, pemerintah selalu memuntahkan sesuatu, mengunci mulut yang mendengar, dan berusaha merapikan masalah dengan hanya menimbulkan masalah baru.

Eh, tapi entahlah untuk sekarang, mungkin mereka punya sponsor untuk terus menggerakkan Liberte yang 50 persen sudah nyaris sirna? Atau akhirnya mereka akan bertekuk lutut pada para penduduk dan menaikkan bendera putih?

Sara masih tidak ingin pergi dari tempat duduknya, matahari masih ada di luar. Tidak enak berjalan dengan pakaian berlapis-lapis.

[Deo]

Pada akhirnya, rapat dilangsungkan dengan waktu sesingkat mungkin karena situasi dan kondisi yang tidak kondusif. Terlalu banyak kabut di antara mereka, tidak ada yang tahu siapa yang kawan dan siapa yang lawan.

Friends or foe, suatu ungkapan dari bahasa kuno yang tepat untuk menggambarkan orang-orang di situasi tersebut.

Lelaki berotot yang tadi selalu berbicara soal jamur memutuskan untuk mengikuti sebagian besar orang untuk berjalan keluar.

Deo merapikan semua dokumen yang dia butuhkan dan mengekor pimred beserta sekretarisnya, menjadikan mereka rombongan terakhir yang keluar ruangan.

Yup, rombongan terakhir, karena masih ada satu orang yang memutuskan duduk di sana.

Deo melirik seseorang itu, Sarrachenia. Seharusnya perempuan itu bersih, netral, dan aset yang berharga bagi Liberté. Apa ia berusaha untuk membelot sekarang?

Deo mendengus, senyum tipisnya tersungging.

Benar-benar wanita yang menarik.

Sedetik setelah Deo keluar, pintu aula pertemuan pun tertutup.

[Sara]

Sara melihat ke arah jendela kaca. Matahari belum juga turun, melihat pancaran sinarnya di tanah bebatuan membuatnya sedikit bergidik. Ruangan sudah sempurna sepi, terkecuali dia dan Silas di sana.

Sara mulai membuka catatannya soal Lituskultura, teh pasir menjadi temannya di kursi itu.

Seluruh notulen rapat sudah bisa diunduh, Sara melihat sejenak laporan mengenai Liberte dan 50 persennya itu, ia menggaruk pipi.

"Lima puluh persen ya ... apa akan ada dampak hebat yang segera terjadi?"

[Silas]

"Mungkin, dampaknya kita semua akan mati lebih cepat dari seharusnya." Silas yang sedari tadi mengamati gerak-gerik Sara menjawab pertanyaan retorik wanita itu. "Ah, bukan maksud saya lancang. Namun, tanpa air, kita hanya bisa bertahan hidup tiga hari. Tanpa makanan, orang seperti saya mungkin bisa bertahan tiga minggu atau kurang. Namun, saya tidak tega membayangkan jika Anda yang tidak makan selama beberapa hari."

Kali ini raut wajah Silas menampilkan ekspresi penuh kekhawatiran.

"Saya tidak ingin ada orang yang sampai tidak bisa makan."

Pria itu bergidik membayangkan Bunda yang tewas karena sakit dan tetap tidak bisa mendapatkan makanan yang layak.

"Apa Anda setuju?"

[Sara]

Sara menutup catatannya. Lituskultura adalah teknik yang memungkinkan penggunaan air dalam jumlah kecil, tapi tetap saja harus ada air sebagai penunjang. Manusia, di mana pun itu, tidak bisa hidup tanpa air. Kekeringan dan kelaparan bisa memicu pertengkaran kecil yang akan sangat merepotkan bila terjadi.

Apalagi manusia itu makhluk yang rakus.

"Hmm? Yah, repot saja bila ada yang tidak bisa makan. Walau saya rasa penopang hidup mati total bukan akhir dari dunia," Sara menjawab Silas. "Lagipula, Terra ini luas, masih ada koloni lain selain Liberte, bila semua tidak bisa diselamatkan."

Sara memeriksa lagi lima puluh persen yang dimaksud para pemegang kepentingan tadi. Sektor agrikultur akan terkena dampak lebih besar bila pemerintah memutuskan untuk mengurangi pasokan air untuk penjernihan udara. Selain itu, Sara tidak peduli soal pertambangan.

[Silas]

Silas mengamati pipa putih yang dipenuhi tanaman-tanaman kecil. Mereka memakai sistem hidroponik rupanya.

"Ibu saya meninggal karena kekurangan makan di luar Liberte." Ada senyum pedih terkembang. "Karena itu, saya tidak ingin ada lagi orang yang harus tewas seperti Bunda."

Sejenak Silas membuka catatannya dan mempersiapkan pulpen. "Kalau boleh tahu, apa spesialisasi Anda?"

[Sara]

Sara membaca kembali data yang ada, merasa ada sesuatu yang kurang tapi ia tidak tahu apa yang sudah dikurangi. Ia memilih tutup mulut.

Sementara, Silas mulai melankolis. Tampaknya ia bukan seorang yang lama menyimpan rahasia.

"Spesialisasi saya? Pasir," ia menunjukkan gambar beberapa sampel pasir dalam tabung yang terakhir dia ambil sebelum datang ke pertemuan. "Pasir tertentu dapat digunakan untuk membuat tanaman lebih subur dibandingkan sekedar menanamnya di tanah."

[Silas]

Mata Silas berbinar mendengar kata pasir. "Ah, morels mushroom cukup umum tumbuh di pasir. Sungguh, saya ingin mencoba menanam dengan pasir Anda. Selama ini, saya hanya menanam jamur-jamur saya di batang pohon, gabus, dan apa pun sampah yang bisa saya temui. Sedangkan kaktus, saya tanam di pasir gurun yang .... Anda tahu sendiri, sudah nyaris tidak memiliki apa pun."

Tiba-tiba Silas tersadar dia sudah terlalu banyak bicara.

"Ah, maaf. Saya terlalu banyak bicara. Saya suka lupa diri jika bicara tentang jamur. Tanaman apa saja yang biasa Anda tanam?"

[Sara]

Sara mendengarkan penjelasan panjang lebar Silas sambil mengangguk-angguk. Morchella esculenta adalah jamur yang luar biasa, tumbuh di tempat-tempat pasca kehancuran, misal setelah kebakaran hutan, sehingga lebih disarankan untuk menggunakan pohon sebagai media tanamnya. Menanam jamur langsung di pasir belum pernah ia lakukan, tapi mungkin dengan kadar hara tertentu, bisa membuat kondisi seakan-akan pasir itu cukup lembap.

"Saya menanam apa saja yang bisa ditanam, atau saya memilih yang harusnya tidak bisa ditanam di pasir, misal teh," ah, omong-omong soal teh. "Oh, saya bawa teh hasil tanam saya, saya menamainya teh pasir. Mau coba? Tidak ada racunnya kok."

[Silas]

"Teh ... pasir ... jamur .... cantik ... racun.... eh? Sa-saya..." Mulut Silas tiba-tiba tidak bisa berkoordinasi dengan otaknya.

Cih! Tenang, Silas! Napas! Ingat kata psikiatermu! Fokus!

Silas menepuk kedua pipinya keras-keras. Sakitnya lumayan membuat pikiran Silas kembali berkumpul ke tempat seharusnya.

"Maafkan saya. Saya hanya terlalu senang menerima teh dari Anda. Karena... selama ini, sangat jarang minum cairan lain selain air putih."

Silas mengangguk dan bersiap menerima.

[Sara]

Sara menelengkan kepala. Saintis memang aneh-aneh ya? Eh, tapi sepertinya Silas punya faktor lain yang membuatnya cenderung berbeda.

Hampir saja Sara terlarut soal pembicaraan lepas ini, tapi tidak masalah, sepertinya belum ada gangguan lebih lanjut selain peringatan ini. Soal surat ancaman, Sara rasa pasti Pak Wartawan Deo akan kembali dan mencoba mengimplikasikan keterkaitan dirinya dan surat itu.

Sara menuang isi termos ke tutupnya, teh sudah tidak terlalu panas dan bisa langsung diminum. "Silakan." ia memberikan tehnya pada Silas. "Pasir itu hebat, 'kan?"

[Silas]

Silas berterima kasih dan menerima tehnya.

"Terus terang, selama ini fokusku pada jamur dan kaktus. Aku lupa memperhatikan bahwa kita bisa mengembangkan media tanam."

Satu sesapan meluncur langsung ke mulut. Sensasi manis, sepat, dan segarnya menyebar merata.

"Luar biasa! Enak sekali! Apa Anda menjualnya?" Tiba-tiba otak Silas seperti berhenti sejenak.

Oh, kalau menjual, butuh promosi. Cara efektif untuk promosi tentu leeat media. Lalu ke mana wartawan yang protes tadi, ya? Apa dia mengejar konselir? Atau jangan-jangan dia...

"Hilang?"

[Sara]

"Menjual? Tidak, tidak. Saya lebih senang menikmatinya sendiri di dalam laboratorium pribadi." Lagipula, teh itu cukup sulit untuk didapat bibitnya, perlu sedikit banyak "mengemis" ke beberapa rekanannya.

Lagi, Silas fokusnya terpecah pada hal lain. Mungkin isi kepalanya bercabang banyak sekali - ah, mungkin bisa disebut, isi kepalanya menjamur banyak sekali sehingga ia bisa berpikir banyak hal dalam satu waktu.

Kali ini ia melihat ke arah pintu.

"Hilang? Apa yang hilang?"

[Silas]

Silas kebingungan dengan pertanyaan terakhir Sara. "Tentu saja si Wartawan. Siapa namanya tadi? Mirip dengan penghilang bau badan kuno....." Pria itu terdiam sejenak.

Oh, aku baru sadar kalau jangan-jangan aku sendiri sudah bau. Omong-omong bau, tadi sepertinya aku melihat ada toples kaca yang baunya cukup menyengat. Apa itu pupuk atau bibit?

Silas mulai mencari-cari ke sekitar. Tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada sebuah buku catatan yang jatuh di bawah meja.

Perlahan pria itu mengambilnya dan membukanya.

"Wah, catatan soal penanaman dengan hidroponik. Ada juga yang cara mencatatnya seperti saya."

Apa pemilik catatan ini juga menderita ADHD? Catatannya tidak teratur, tapi selalu memiliki sebuah catatan kecil di atasnya.

"Aku ... harus tetap hidup."

[Deo]

Sambil meminum kopi kalengan dari tangan kanannya, Deo kembali berjalan memasuki laboratorium. Dia telah memutuskan untuk tidak ikut menumpang pulang karena akan mulai "bekerja" hari ini.

Pimred-nya menyetujui hal itu, tanpa tahu hal menarik apa yang telah diterima oleh Deo, yang sekarang di simpan dalam kopernya. Seseorang menarik seperti apa yang baru saja ia temui tanpa sepengetahuan siapapun, bahkan pimred-nya sendiri.

Sepanjang kakinya melangkah, mulutnya bersiul, menyanyikan melodi entah apa yang pokoknya lewat saja di dalam kepalanya. Dua agenda telah terselesaikan, kini tinggal agenda yang terakhir. Deo kembali ke aula pertemuan dan matanya membulat saat melihat Sara, kini bersama Silas di dalam aula.

Kebetulan yang menguntungkan.

Deo melempar senyumnya.

"Kebetulan yang menarik. Saya kembali karena saya masih menyimpan kecurigaan dan pertanyaan saya terkait kertas tadi," ujarnya sambil meminum kopi.

"Oh," sambungnya, "sekalian juga, saya diberitahu pimpinan laboratorium bahwa saya bisa menggunakan ruangan ini untuk menyusun berita." Deo meminum kopinya lalu melempar senyum penuh makna ke Sara dan Silas.

[Sara]

Silas tampak menemukan sesuatu baru, lebih ke alur hidroponik Liberte, Sara mencatatnya di dokumen miliknya. Beberapa sektor mungkin bisa saja 'runtuh' bila tidak segera ditangani.

Dan, oh, si Pak Wartawan kembali, masih dengan senyumnya yang penuh percaya diri seakan segalanya sudah ada di tangannya.

Sara sekedar membalas senyumnya dengan senyum yang senada.

Ah, sebentar lagi waktunya pergi.

[Silas]

Ah, hidup, ya. Apa aku sebenarnya masuk hidup? Ada yang bilang hidup itu berbahagia dengan orang lain. Namun, aku nyaman dengan kesendirian. Tidak seperti pria itu.

Silas melirik ke arah Deo sebelum kembali menunduk dan memainkan rubiknya.

Kadang aku berpikir, kenapa wartawan itu selalu punya keberanian seperti itu? Mirip coprinellus disseminatus! Tidak takut berada dalam kerumunan. Justru makin bersinar!

Tiba-tiba Silas mengingat sesuatu.

Sinar keperakan yang wanita itu pantulkan sangat indah. Cih! Kenapa aku jadi melankolis begini. Padahal sudah lama aku tidak mendengarkan lagu. Bunda juga selalu menemaniku dengan lagu sebelum tidur. Kalau jamur apa mereka dinyanyikan juga supaya subur?

Silas melirik Sara lagi.

Cih! Fokusku benar-benar terbagi. Aku harus mulai mencari bagaimana caranya meningkatkan kapasitan produksi hingga 200% kalau begini!

Silas kembali menepuk pipinya dan menulis catatan besar-besar di agendanya.

JANGAN MELIHAT KE SANA! MULAILAH BEKERJA!

[Deo]

Walaupun Deo bilang kalau dia memiliki sebuah pertanyaan yang mengganggunya ... setelah tegukan kesekian untuk kaleng kopi pertamanya, Deo menyimpan kembali pertanyaan tersebut. Benar kalau dia tadi terlalu dimakan emosi, sekarang, ia memilih untuk mengamati terlebih dahulu.

Kedua tangannya saling menggenggam di depan wajah, dengan laptop yang menyala dan berkas-berkas yang sudah ia keluarkan, otaknya mulai bekerja.

Oke, para saintis hebat Liberté, kemajuan apa yang akan kalian tawarkan untuk mengatasi masalah ini?

x

=========

Liberte - Task 03

=========


[Sara]

Senja akhirnya nyaris sirna, Sara sudah berpikir untuk segera pulang ke laboratoriumnya dan menyapa kasur sebelum mengerjakan tugas perihal Liberte yang penopang hidupnya tinggal 50% sebagai pekerjaan rumah. Ia menahan kuap lebar sambil menuju ke arah pintu.

Oh? Gagang pintunya sama sekali tidak merespon. Tulisan-tulisan yang tampak seperti sandi yang harus dipecahkan mulai berpendar di daun pintu. Wah, apakah ia terjebak? Sara pun melihat kembali ke arah tempat duduk, melihat Silas dan Deo yang ada di ruangan.

Apa ini artinya ia terkunci bersama dua pria? Sara menahan secercah tawa.

Oke, oke, ini bukan waktunya untuk tertawa, ia harus memberitahu dua orang yang ada bersamanya bahwa mereka telah terkunci dari luar.

"Ehm, kalian, pria-pria tangguh? Kita tampaknya tidak bisa keluar dari ruangan."

[Silas]

Silas terperanjat mendengar suara manis yang baru saja menyapa telinganya.

"Tidak bisa keluar?"

Dengan gesit Silas bangkit dan bergerak ke arah pintu. Ditariknya pintu dan tetap bergeming.

Pandangan pria itu akhirnya tertuju pada huruf-huruf acak yang berpendar di pintu. Senyum sinis terlihat di wajahnya sebelum menoleh ke arah Deo.

"Tampaknya Anda benar. Ada yang tak ingin penelitian kita sukses."

Lalu senyum itu menghilang saat menoleh ke arah Sara. "Saya tidak akan membiarkan hal buruk terjadi pada Anda."

[Deo]

Deo hanya melirik sekilas.

"Nona Sara, saya tidak berpengalaman memperbaiki gagang pintu. Lagi, saya juga tidak minat keluar karena masih ada pekerjaan."

Tangannya kembali ketak-ketik di atas kibor laptop, tidak memedulikan pandangan Sara dan Silas yang mengarah padanya.

[Sara]

Sara mengernyit, masih berulas senyum, ia menarik entah pikirannya barusan mengenai satu atau dua-duanya bisa diandalkan.

"Jadi, Silas, apa anda punya ide soal sandi ini?" ia mencoba mengarahkan.

Lalu, satu orang yang sama sekali tidak peduli soal tidak bisa keluar. Semoga tiba-tiba laptopnya meletus.

"Gagang pintunya bukan minta diperbaiki, ada teka-teki di sini, mungkin bisa membantu anda menyelesaikan tugas yang ada di laptop anda?" ucapnya pada Deo. "Lagipula, kalau anda tidak bisa keluar, percuma mengerjakan tugas? Siapa tahu kita dikurung di sini untuk menunggu ajal."

[Deo]

Mata Deo sempat melebar hanya untuk beberapa saat mendengar kata "sandi" keluar dari mulut Sara.

Lelaki itu lalu menenggak kaleng kopi pertama untuk terakhir kalinya.

"Betul juga, saya tidak mungkin bisa meliput kalau hanya bisa berdiam di ruangan ini. Bisa saja ada seseorang yang menyabotase dan menyemprot gas beracun dalam beberapa jam ke depan," ujar Deo dengan senyumnya seperti biasa.

Deo melangkah menghampiri Sara dan Silas. Di daun pintu muncul dua tabel alfabet, masing-masingnya terdiri dari 2 baris, dan di bagian bawahnya ada beberapa garis yang seperti menunjukkan kalau mereka harus melengkapi kata-kata di sana menjadi satu kalimat utuh.

"Hmm, apakah ini seperti enkripsi A=E ?" gumam Deo sambil mengetuk dagunya. Menyimpan rasa terkejutnya karena benar-benar ada sandi di sana.

[Silas]

Silas tersenyum tipis ke arah Sara. "Anda sangat cerdas, Nona Sara. Saya setuju kalau ini adalah sandi."

Diamatinya susunan huruf yang memiliki tanda kecil di bawahnya. Sama seperti rubik yang selalu dimainkannya....

"Setiap sandi pasti punya kunci jawaban tersembunyi. Kita hanya perlu mengamati pola dan membuka kuncinya."

[Deo]

Deo menjadi yang pertama untuk menyuarakan soal enkripsi. Sara menelengkan kepala. Ia masih belum bisa melihat pola, kecuali-

"A = E? Jadi anggapannya karena muncul banyak, huruf banyak itu pastinya huruf vokal?"

Sara menatap Silas. "Kalau menurut anda, apa ada hal lain yang menarik perhatian di sandi ini?"

Atau, kalau mereka sudah buntu, sebaiknya tinggal keluar melalui jendela, pilihan terbaik dan tercepat.

[Silas]

Silas langsung bisa membaca tulisan apa yang ada di hadapannya. Namun, memecahkan sandi ini dengan cepat, dirinya khawatir Nona Jamur Cantik itu akan menganggapnya sombong. Lagipula...

"Saya lebih fokus kenapa pintu ini harus ada sandinya? Apa kalau kita dobrak paksa akan ada bom? Kenapa hanya pintu? Kenapa tidak jendela juga diberi sandi? Apa jendela juga akan meledak kalau kita berusaha membuka paksa? Kenapa harus dipasang saat semua sudah pergi? Kenapa harus....kita?"

[Deo]

"Pertama-tama," Deo menyela, "Maksud A=E adalah, huruf enkripsinya lompat 5 huruf dari huruf asli. Jadi jika A=E, B=F, C=G, begitu seterusnya. Yang jadi masalah, sepertinya sandi di sini tidak begitu."

Deo lantas meraba seluruh permukaan pintu sampai ke engsel-engselnya, di balik kacamatanya, dengan jeli ia mengamati apakah ada sesuatu yang aneh di sana.

"Kedua, Tuan Berotot, saya yakin tidak ada bom di pintu ini. Pertanyaannya, apakah Anda cukup kuat untuk mendobrak?"

[Silas]

"Kalau dipasangi sandi, sudah pasti tidak bisa didobrak dengan cara manual. Jangan buang-buang tenaga." Silas bersedekap dan memandangi kode yang terpasang di hadapannya.

"Lalu, apa perlu kita tulis dulu semua?"

Silas mengeluarkan catatannya.

[Sara]

Ternyata memang tidak semudah itu polanya, Sara terdiam sejenak mendengar penjelasan Deo. Sementara, dua pria itu mulai memeriksa pintu dan segala kemungkinan yang ada, entah itu bom maupun misteri lain.

"Saya rasa mereka sengaja meninggalkan sandi ini untuk meninggalkan sebuah pesan, mungkin kita sengaja dibuat jadi messenger. Untuk alasannya, saya kurang tahu."

Silas mengeluarkan catatan untuk mulai menulis apa yang mereka tahu.

A = E, bila menggunakan teknik eliminasi tanpa rumit berpikir soal misteri yang menyusun sandinya ...

"Apa E = W masuk akal?"

[Deo]

Deo merasa geli mendengar pertanyaan Sara.

"Masuk akal jika Nona Sara bisa memberi penjelasan. Atau Nona mau main asal tembak kata-katanya? Pola huruf di sini sangat acak, sejujurnya aku tidak akan menyalahkan Nona jika demikian karena aku juga memiliki pikiran yang sama," ujar Deo panjang lebar setelah tertawa kecil sambil menutupi mulutnya.

"Untuk ukuran saintis maestro Lituskultura, jawaban asal tembak terdengar ...." Deo bergumam.

[Sara]

"Hm? Apa saintis harus selalu berkutat dengan data berdasarkan fakta? Sejujurnya saya bukan peminat ilmu kemungkinan. Lagipula, deduksi ini berdasarkan eliminasi; banyak huruf yang diulang menandakan penggunaan huruf vokal. Huruf vokal yang banyak digunakan selain A adalah E atau I."

Atau dia cuma malas berpikir, dan berpikir bukan untuk ranah kimia dan biologi tidak untuknya saat ini. Atau ia memilih untuk berpura bodoh agar jauh dari radar sang wartawan.

"Ah, tapi baiklah, kalau anda meminta jawaban yang lebih signifikan dari asal tembak," Sara tersenyum. "Saya akan lebih banyak diam."

Sara kembali duduk sambil bersiul.

[Deo]

"Nona Sara, terlalu cepat termakan emosi bisa menyebabkan masalah kesehatan." Deo tersenyum sambil ikut duduk di kursinya, di seberang Sara.

Setelah menyilangkan kakinya, ia menoleh ke Silas dan melanjutkan ucapannya.

"Memecahkan sandi bukan termasuk ranah berpikir saya. Namun, menurut ilmu asal tembak saya ...," Deo menarik napas dalam-dalam, "apakah kata pertama itu Liberté?"

Jadi telunjuknya mengetuk permukaan meja berulang-ulang, sementara yang ada di pikirannya justru "surat kaleng" tadi yang terselip di tumpukan pekerjaan miliknya.

Kata pertama di surat kaleng tersebut adalah Liberté, dan di daun pintu, jumlah garis kosong yang perlu diisi sesuai, letak huruf I juga bisa sesuai.

"Apakah betul tebakan saya, Tuan Silas?"

[Silas]

Silas kembali berdecak dalam hati. Pria ini menjengkelkan. Alih-alih menjawab Deo, dia menoleh ke arah Sara.

"Saya setuju dengan pendapat Anda, Nona Sara. Sebagai saintis, kita harus terbiasa memikirkan kemungkinan-kemungkinan. Setelah itu, baru kita buktikan dengan penelitian yang menyebabkan fakta-fakta."

Silas menunjuk papan.

"Indonesia didominasi huruf vokal. Artinya, kita harus menemukan huruf vocal. Kita tidak perlu mencari XYZ karena jarang ada."

Silas tersenyum tipis pada Sara.

"Saya rasa, Nona Sara juga bisa memecahkannya, bukan?"

[Sara]

Ah, direksinya tepat, Sara pasti terlihat sebagai seorang yang emosinya tersulut sekarang. Sementara, Silas dengan alur berpikirnya mengerucut untuk mengabaikan konsonan yang jarang digunakan.

Kalau memakai A = E, dan E = W untuk saat ini, dengan anggapan 'LIBERTE' adalah kata pertama.

"Mengutip ilmu asal tembak anda, Pak Wartawan," Sara memulai. Ia menahan dagu sambil mengarahkan pena untuk menulis kata di atas huruf-huruf pendar. "Kata-kata yang kita dapatkan sekarang adalah:

Liberte, a ( ) a l a h, b ( ) ( ) e k a, k a ( ) s e l i r."

Enkripsi kedua sepertinya memiliki tumpuan kode yang berbeda lagi, tapi mereka berdua pasti sudah bisa menyimpulkan sendiri kalimat pertama dari dua seri sandi tersebut.

[Silas]

Silas mengangguk-angguk setuju dengan ucapan Sara. Binar matamya semakin terpesona pada sosok yang tidak hanya cantik, tegas, tapi juga cerdas itu.

"Jadi, mungkin ini ada hubungannya dengan surat ancaman yang tadi diterima, ya?"

Silas bersedekap.

"Jadi, apa kita buka sekarang pintunya?"

[Sara]

Surat ancaman ... ah, hampir saja Sara lupa soal itu. Mungkin itu akan jadi petunjuk untuk memecahkan sandi kedua.

"Sabar dulu, Silas. Masih ada satu kalimat lagi, dengan kode berbeda dan lebih panjang," Sara menyilangkan jemarinya. Lagi, ada banyak pengulangan yang menandakan keberadaan huruf vokal, tapi tadi ia sudah berjanji untuk diam. "Kalimat kedua ini juga pasti ada hubungannya dengan surat ancaman, kalau kita menilik soal pola."

[Silas]

Silas tampak senang dengan kalimat Sara yang kini lebih tenang. Semoga saja perempuan itu tidak lagi merasa kesal akibat perbuatan Deo.

"Mata Anda menyiratkan sebenarnya Anda sudah bisa menebaknya, Nona Sara. Sungguh saya kagum." Silas berkata dengan bersungguh-sungguh. Tak banyak kenalannya yang sanggup memecahkan sandi yang cukup unik ini dalam waktu singkat.

"Bisa dibilang memang ada hubungannya dengan Liberte dan Kanselir. Apa jangan-jangan, pelaku ingin kita mengetahui agenda tersembunyi Liberte selama ini, lalu membuat kita berhenti bekerja sebagai saintis Liberte dan berbalik mendukung mereka?"

[Deo]

"Sebenarnya, aku sampai lupa hitungan berapa tepatnya Liberté mengalami sabotase dan ancaman-ancaman seperti ini." Deo memotong dengan nada yang serius.

Kata sandi pertama sudah terbuka dengan kalimat yang berbunyi "Liberté adalah boneka Kanselir". Sekarang tinggal sandi kedua yang lebih panjang, apa lagi-lagi surat ancaman tadi bisa menjadi kunci?

Deo mendongak ke arah kamera pengawas. "Ini bukan pertama kalinya. Namun, ancamannya kali ini benar-benar ditujukan ke laboratorium."

Pandangannya lalu menatap tajam, bergantian ke arah Sara dan Silas yang mencoba memecahkan kata sandi kedua.

"Orang iseng ini ada di laboratorium, dia mengetahui seluk-beluk laboratorium dengan baik dan mengunci kita di sini tanpa tujuan yang jelas. Liberté tidak pernah membuat agenda rahasia, ini pengakuan langsung dari para pejabat pemerintahan dan bahkan Kanselir sendiri. Saya sendiri yang terlibat langsung dalam meredam berita provokasi yang belakangan beredar."

Lelaki itu kini berjalan ke arah daun pintu, dahinya mengernyit sambil menuliskan kata sandinya ke kertas.

[Silas]

Silas pun mencoret-coret di kertas dan memiringkan bibirnya ketus.

Cih! Ternyata ini artinya begini!

Namun, dia memilih diam dan menoleh ke arah Sara.

[Sara]

Bukan yang pertama kali, katanya, penyerangan terhadap pemerintah Liberte dan Kanselir. Media memang bertugas mengendalikan informasi, sehingga bisa dikatakan apa yang diucapkan Deo benar.

"Yah, ada banyak yang tidak suka Liberte, bukan? Apalagi mengingat kita lebih maju dibanding koloni lain," Sara mengedikkan bahu menanggapi cibiran Deo.

Kalimat berikutnya ... hmm. Kurang lebih sepertinya tidak jauh dari surat ancaman pertama. Tidak ada pola kata 'Liberte' atau 'Kanselir', kata pertama dari beberapa kemungkinan lebih cenderung ke ... kata 'Koloni'.

"Andaikan, bagaimana kalau ternyata benar Kanselir menyembunyikan agendanya dan mengorbankan para penduduknya untuk menyiasati tidak ada lagi yang hilang dari 50%? Apa anda tetap mau membela Kanselir, Pak Wartawan?"

[Deo]

Deo menghentikan gerakan tangannya yang sedari tadi berusaha mencari kombinasi kata sandi yang diperlukan untuk membuka pintu. Sejenak, ia mendongak dan menatap jauh ke depan, ke sesuatu yang ada di balik pintu.

"Bahasa kebenaran itu sederhana, Nona Sara." Deo tersenyum dan menoleh ke Sara. "Apakah kata pertamanya "koloni"? Maafkan saya sedari tadi hanya bisa menemukan kata pertama."

Lalu Deo sedikit menyerong, ke arah Silas. "Apakah Anda sudah menemukannya? Bagaimana kalau Anda langsung masukkan saja, saya yakin betul tidak mungkin ada bom di sini kalau kita semua salah memasukkan kata sandi."

Ucapannya bukan tanpa dasar. Apabila selama ini ada sekumpulan kelompok yang ingin menggerogoti kejayaan Liberté, tidak mungkin mereka akan mengambil tindakan ekstrem seperti menanam bom, yang ada mereka akan dengan mudah dituduh dan citra mereka tercoreng.

Mereka harusnya memiliki cara yang lebih pintar ... seperti ... mengetahui rahasia Liberté?

[Silas]

"Koloni harusnya setara, tetapi satu merasa lebih dari yang lain." Silas menatap Deo dan Sara bergantian.

Tangannya kembali menutup buku tempat dia mencorat-coret pemecahan sandinya dan mengeluarkan rubik 4x4-nya dengan santai.

"Meski tidak akan ada bom, saya rasa ada yang menanti kita di luar sana. Apa ada yang bisa bela diri di sini?"

Silas menoleh ke arah Sara dengan penuh kekhawatiran.

[Deo]

"Saya hanya wartawan, Tuan Silas. Kalau begitu, apa kita perlu memanggil keamanan?" jawab Deo.

[Sara]

Sandinya sudah dipecahkan dengan mudah oleh Silas, mereka sudah bisa memasukkan kata-kata itu dan mungkin pintunya akan terbuka.

Mungkin.

Seperti 50% penopang hidup sudah hilang, ada 50% kemungkinan mereka tetap tidak bisa pergi dari sana karena alasan tertentu.

Ah, tapi sebaiknya ia diam.

"Kurasa di Liberte tidak ada yang mau mencelakai para saintis, kecuali penyerang kita dari koloni luar, atau memang sudah ada target di belakang punggung kita masing-masing."

Ia mengerling mendapati ide Deo. "Silakan kalau anda mau segera memanggil pihak keamanan, Pak Wartawan."

[Silas]

"Apa teleponnya berfungsi?" Silas tampak skeptis.

Pikiran Sara bahwa saintis tidak mungkin dibunuh sangat masuk akal. Dirinya adalah satu yang terbaik dalam penelitian jamur dan kaktus. Sara pun ahli di bidangnya. Silas merasa mereka akan aman.

"Namun, kalau memang penopang hidup sudah hilang, apakah monster-monster dari luar Liberte juga merangsek masuk ke sini?"

Silas bergidik. Pikirannya kembali kehilangan fokus saat mengenang bagaimana Bunda dan dirinya yang masih kecil harus baku hantam dengan monster demi mencari makanan.

Bola mata pria itu bergerak-gerak ketika akhirnya berjalan mencari apa pun yang bisa dipakai untuk senjata.

Silas merasa, tidak ada salahnya berjaga-jaga. Petugas keamanan belum tentu bisa masuk dan bersiaga. Bagaimana jika sebenarnya mereka justru saintis yang terbuang dibanding saintis lain yang sudah meninggalkan ruang?

Apakah itu artinya penelitiannya dianggap tidak berguna?

"Cih!"

Silas melongok dan mengambil salah satu pipa besi cukup panjang dari bawah meja tanam.

Kalau memang Liberte telah memanfaatkannya selama ini, Silas tidak peduli. Yang jelas, yang lampau tidak akan bisa diubah. Hal yang harus menjadi prioritasnya saat ini adalah bertahan hidup demi....

"Masa depan!"

[Deo]

"Tenang Tuan Silas, laboratorium ini ada di tengah kota. Monster di luar Liberté harusnya tidak bisa melewati para aparat di perbatasan. Saya akan coba telepon, aliran listriknya tidak dimatikan, kok."

Wartawan itu bergerak ke arah pojokan ruangan dan mengangkat telepon. Setelah gagangnya ditempel ke telinga, ia mendengar suara dengungan yg menandakan bahwa telepon masih berfungsi.

Kalaupun tidak, ia membawa ponselnya saku jas, semua aman.

Pintu yang tiba-tiba disabotase ini benar-benar di luar prediksinya, padahal tadi dia yang terakhir masuk ruangan.

Tiba-tiba matanya membelalak. Ia menyadari sesuatu.

"Halo, Keamanan? Kirim pasukan pengawal ke aula! Saya ulangi, kirim pasukan pengawalan ke aula! Ada dua saintis dan seorang wartawan yang mendapatkan lencana tugas khusus level S di sini! Kami terjebak dan pintu di sabotase, kirim pasukan pengawalan, segera!"

Deo menutup telepon setelah mendengar balasan dari seberang, lalu menoleh ke Sara dan Silas.

"Saya akan menyampaikan dua kabar, kabar baiknya keamanan sedang menuju ke mari. Kabar buruknya, ada kemungkinan kita benar-benar dijadikan target. Walaupun Nona Sara mungkin benar, harusnya tidak ada yang bisa melukai saintis Liberté. Namun, bagaimana kalau kita ditawan?"

[Sara]

Posisi sekarang, mereka ada dalam masa stagnan: keamanan tengah datang menuju mereka, tapi probabilitas 50% di kemungkinan terburuk belum sempurna hilang. Keamanan bisa saja orang suruhan "kubu" yang mengurung mereka di sana.

Menanggapi Silas dan Deo yang aktif untuk kemungkinan terburuk, Sara masih saja terduduk santai.

"Kalau kita ditawan, mungkin kita bisa tahu lebih cepat apa yang disembunyikan Liberte atau apa yang diinginkan pihak kontra Liberte. Saya rasa lebih menyenangkan kalau itu terjadi, dibandingkan mati sia-sia."

[Deo]

"Jadi, mengikuti permainan lebih dahulu?" Deo mengajukan sebuah pertanyaan, bukan untuk Sara, melainkan untuk dirinya.

"Yah, saya rasa di sini tidak ada yang memiliki kemampuan bertarung. Saya menyetujui itu, risikonya lebih kecil."

Deo melangkah ke arah laptopnya, dengan cekatan ia mengeluarkan semua berkasnya. Tangan dan matanya saling berkoordinasi untuk menyalin dan membuat enkripsi untuk mengunci data di suatu tempat yang aman.

Ia lalu meraih ponselnya dan melakukan hal yang sama. Bagaimanapun juga, informasi miliknya adalah suatu aset penting yang nanti bisa menyelamatkan dirinya. Ia berpacu dengan waktu sampai keamanan datang. Sampai saat itu tiba, mereka dalam kondisi seperti kucing Schrodinger.

"Omong-omong, bagaimana dengan Anda, Tuan Silas?"

[Silas]

"Buka saja pintunya. Jika memang ada yang berbahaya, kita hadapi semampunya." Silas menggerak-gerakan tongkat besinya dengan ketas. "Saya rasa itu jauh lebih baik. Berharap saja tidak akan ada yang tewas!"

[Deo]

"Beri saya waktu ... umm ... tiga menit!" ujar Deo, masih dengan tidak melepas mata dan tangannya dari data-data yang dia miliki.

Ia bekerja dengan sangat cepat, satu berkas ia foto, lalu ia masukkan ke koper, ia unggah ke salah satu server penyimpanan dan membuat enkripsi. Yang di laptop juga sama, data-data itu dalam proses unggahan, sebagiannya sudah dienkripsi, sebagiannya sudah masuk ke USB kecil yang menancap di sana.

[Silas]

"Cih!" Silas mencebik sinis sebelum bergerak mendekati Sara.

"Nona, ada baiknya jika Nona berdiri di belakang saya. Meski saya tidak terlalu pandai bela diri, tapi saya besar di luar Liberte. Saya pernah sedikit belajar bertahan hidup."

[Deo]

Salah satu alis Deo naik mendengar perkataan Silas.

Dia berasal dari luar Liberté, informasi yang bagus.

"Hampir selesai," ujar Deo.

[Sara]

"Haha, tenang saja, Silas. Saya bukan wanita yang serapuh itu, kok."

... tapi untuk saat ini, Sara ingin menyimpan kenyataan bahwa taser yang ada di bagian terdalam tas lusuhnya tidak ada. Sudah lama taser itu ada di sana, entah masih ada energinya atau tidak.

Sara masih ingin mengamati apa yang akan terjadi ketika mereka berhasil membuka pintu ... atau terkunci selamanya.

Ah, andai ia bisa mendapat pistol ektoplasma dari petugas keamanan. Mungkin ia akan merasa lebih siap.

"Kalau sudah selesai, cepat bilang, Pak Wartawan. Saya saja yang memijat tombol sandinya."

[Deo]

"Selesai," ujar Deo sambil memasukkan barang-barangnya ke dalam tas koper.

Dia sudah siap apapun kemungkinan yang terjadi nanti.

[Silas]

Silas terenyak mendapati fakta bahwa Sara yang ingin menekan tombol.

"Biar saya saja yang menekan sandi. Kalian, lindungi saja apa yang bisa kalian lindungi. Saya berharap, tidak ada dari kita yang akan tewas gara-gara pintu yang dikunci ini!"

Silas pun maju bersiap menekan tombol dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya siap mengayunkan pipa besi panjang kapanpun bahaya menerjang.

x

=========

Liberte - Task 05

=========

[Silas]

Silas mendengar suara sirine ketika terbangun keesokan harinya. Matahari bahkan belum menyinari kisi-kisi jendela. Namun, suara alarm ini membuat pria itu terjaga.

"PENGUMUMAN DARURAT! SISTEM TELAH MENGALAMI MALAFUNGSI FATAL! SISTEM HANYA TINGGAL 35% SAJA! SISTEM PENUNJANG LIBERTE HANYA TINGGAL 35% SAJA DARI KEHANCURAN FATAL!"

Suara super keras itu membuat Silas melompat dari tempatnya tertidur.

"Yang benar saja! Aku baru membereskannya kemarin hingga 45%!" Silas langsung berlari ke tempat pengolahan udara dan melihat tabung kaca tempat pompa berada retak. Demikian pula dengan pompa baru yang dia buat telah dirusak!

Cih!

Jangan-jangan, tempat Sara berjuang juga.....

Dengan gerakan tergesa, pria bertubuh besar itu pun berlari ke tempat pengolahan air bersih tempat Sara seharusnya kemarin berada.

[Sara]

Bar progres sudah 100 persen, autentikasi program sudah masuk, dan tiba-tiba ada suara alarm berbunyi menandakan sistem tinggal 35%.

Ah ah, percuma sudah berusaha menyelamatkan, ya?

Sara berulas senyum. Di belakangnya ia mendengar suara derap kaki. Tampaknya Silas, dari langkahnya yang terdengar berat.

"Ada apa, apa di luar sana sudah mulai ada kerumunan penduduk Liberte yang mulai mengomel?"

[Silas]

Silas mengangguk. "Kondisi gawat. Masalahnya, ini aneh! Aku yakin sekali kemarin berhasil memperbaiki. Aku berniat hari ini akan mencari sarana lain untuk memperbaiki kebocoran. Namun, malah dirusak."

Silas mondar-mandir tak karuan. Di dalam kepalanya bermunculan simulasi-simulasi tidak mengenakkan.

"Apa ini disengaja agar Liberte hancur?"

[Deo]

Deo menempelkan ponselnya erat-erat ke telinga sambil menggigit bibir bawahnya, sesekali ia mendecak. Nomor yang ia hubungi adalah nomor khusus untuk menelepon perwakilan dari seseorang, tapi telepon tersebut tidak bersambung.

Lelaki itu lantas menggulir nomor lain lagi, nomor pimred-nya, untuk segera membatalkan publikasi berita yang baru saja ia kirim.

Jauh di depan sana, Silas sedang berlari ke arah Sara. Sementara alarm terus berbunyi mengiringi detak jantung mereka yang berpacu.

Waktunya sangat tidak baik, beberapa sistem telah mengalami perbaikan yang signifikan tadi, dan itu lah yang ia tulis di berita beberapa jam yang lalu. Namun, sekarang semua berbalik 180 derajat.

Publik sudah meliar di luar laboratorium. Pekerjaannya untuk meredam opini publik bisa gagal jika berita beberapa jam yang lalu ditayangkan sekarang, publik akan semakin marah karena mereka tahu kenyataannya tidak begitu.

Apakah ada sabotase lanjutan?

[Sara]

Sara terdiam, melirik kembali layar yang kini menunjukkan memang kondi penopang kehidupan Liberte tinggal tiga puluh lima persen. Sebentar lagi, semuanya tamat, mungkin nanti tiba-tiba mereka sudah akan dikepung oleh pihak lawan.

Mungkin? Entahlah.

Jadi apa kita harus melanjutkan memperbaiki ini atau pergi saja sebelum semuanya terlambat?

"Atau jangan-jangan kita sengaja ditaruh di sini sebagai umpan? Entah untuk amarah masyarakat atau ke musuh yang belum bisa kita lihat?"

[Silas]

Silas menatap Sara dengan perasaan campur aduk.

"Saya rasa yang Nona Sara katakan masuk akal. Namun, saya merasa kalau kita diam di sini pun percuma. Karena setiap kita berusaha memperbaiki, selalu dirusak kembali. Ada pihak yang tidak senang kita di sini."

Silas kembali melirik ke arah jendela di mana suara-suara gaduh terasa makin keras.

"Apa yang akan kalian lakukan sekarang?" Silas memandang Deo dan Sara bergantian.

[Deo]

Telepon ke pimred bahkan tidak dijawab, apakah bahkan di luar laboratorium sudah dipasang penghalang sinyal?

Deo menoleh saat mendengar perkataan Silas. "Apakah benar-benar tidak dapat diperbaiki? Dan juga ...." Lelaki itu menebar pandangan ke sekeliling ruangan.

"Kemana para penjaga? Apakah semua dipusatkan untuk meredam kerusuhan?"

Sejujurnya, Deo bingung mau menjawab apa dari pertanyaan Silas. Dia bukan saintis, atau mekanik, dia hanya jurnalis yang medianya bekerja langsung di bawah pemerintahan.

Lagi-lagi, keadaan ini adalah keadaan yang berada di luar kontrolnya.

[Silas]

"Saya sudah membuat jalur penyedotan udara baru semalam. Bahkan saya juga sudah menambal kebocoran di unit utama hingga udara membaik 5%. Subuh ini, semua yang saya kerjakan hilang dan bahkan ada retakan di pompa utama. Saya tidak bisa percaya kalau ini sekadar kesalahan sistem. Pasti ada sabotase yang disengaja!" Silas mengangguk yakin.

[Deo]

"Berita sabotase tidak akan bisa keluar dari ruangan ini, yang ada hanyalah menambah kepanikan. Bagaimana kalau kita keluar dulu semua dari sini? Saya yakin harusnya keamanan telah membuat rute agar kita terhindar dari kerusuhan." Matanya bergantian menatap Sara dan Silas yang berdiri di depannya.

[Silas]

"Tapi Anda sendiri berkata kalau pihak keamanan menghilang. Bagaimana jika saat kita keluar, kita malah seperti cacing di tengah kerumunan ikan yang kelaparan?" Silas memandang pria di hadapannya dengan skeptis.

[Deo]

"Saya yakin tidak akan, keamanan Liberté tidak mungkin sebodoh itu meninggalkan kita, apalagi terutama kalian, saintis yang sangat berharga di koloni ini. Kalau Anda masih ragu, bagaimana kalau Anda siapkan senjata seperti tadi?" tanya Deo, berusaha membujuk.

Setidaknya mereka harus keluar dari sana agar Deo bisa mengontak pihak berwajib.

[Sara]

Sara melihat kembali jam. Masih sangat pagi. Agak aneh melihat orang-orang Liberte muncul sebelum matahari terbit. Ah, tapi kesempatan bagus untuk keluar bila tidak ada matahari.

Ia mengamati Deo dan Silas yang masih bersitegang. Soal keamanan, sejujurnya Sara merasa 50:50, bisa jadi mereka meninggalkan mereka karena sesuatu hal berhubungan dengan keamanan atau mereka yang sudah disetor oleh pihak keamanan sebagai tameng Kanselir.

"Ada lama-lama di sini juga tidak akan mengubah apa-apa, toh apa yang kita lakukan tidak ada gunanya, benar?" Sara mengimbuh. "Seperti ada di pinggir jurang dan di sekelilingmu ada monster."

[Silas]

Silas menatap wanita secantik jamur itu dengan tatapan penuh simpati.

"Harus saya akui kalau diam di sini pun tidak bisa mengubah apa pun. Saya yakin, sebagus apa pun kita memperbaiki sistem, akan dihancurkan kembali. Lalu, apa yang akan kita lakukan jika sudah di luar? Menanti saja apa yang akan terjadi kemudian?"

Silas bersedekap dan hatinya berharap kalau refleksnya untuk membela diri masih cukup andal meski sudah bertahun-tahun hidup dalam kedamaian.

[Sara]

Sara mengerjap. Apa saja kemungkinan yang terjadi di luar sana?

"Daripada menanti, bukannya lebih baik kita terus terang bila akhirnya kita ditangkap penduduk? Kanselir sudah membiarkan mereka semua meradang."

Atau opsi kedua.

"Atau kita bisa saja pergi, dari Liberte. Masih ada banyak koloni di luar sana."

Dan ada juga opsi ketiga.

"Atau kalau misal musuh menangkap kita, kita turuti saja apa mau mereka sebelum akhirnya kita memilih kabur?"

[Silas]

Sejenak Silas berpikir. Setiap opsi memiliki risiko dan memang sejak dulu, hidup adalah pilihan dengan risiko.

"Saya rasa, opsi ketiga paling minim risiko. Kita bisa keluar dari sini, lalu menanti apa yang akan terjadi. Toh, belum tentu kita akan ditangkap. Pun ditangkap, saya yakin kita cukup cerdas untuk berusaha melarikan diri, bukan?"

[Deo]

Deo mengeluarkan sedikit tawa geli.

Usulan ketiga memiliki arti dan nada yang sama dengan apa yang diusulkan oleh Sara sejak tadi di ruangan meeting. Silas pun menyetujui usulan itu dengan alasan yang logis.

"Saya juga setuju dengan usulan ketiga." Deo akhirnya memberikan jawaban finalnya.

[Sara]

"Kalian tidak ada yang ingin benar-benar pergi dari Liberte?" Sara bertanya setelah mendengar jawaban mereka. Mereka mungkin tidak ingin mengambil risiko, memang penghuni koloni Liberte tulen.

[Deo]

"Untuk sekarang saya tidak ada alasan kenapa saya harus meninggalkan Liberté," jawab Deo, tegas dan terus terang.

Walaupun ia tahu, ada sekelumit keraguan di dalam hatinya tentang kondisi yang sekarang selalu berada di luar kontrolnya.

[Silas]

"Saya hanya berpikir kalau fasilitas di liberte paling mumpuni untuk dipertahankan. Jika kita keluar, bagaimana kita mau menyelamatkan koloni-koloni lain?"

Silas mondar-mandir sembari memainkan rubiknya.

[Sara]

"Tidak perlu menyelamatkan koloni-koloni lain." imbuh Sara menanggapi Silas. "Kita bisa pindah ke salah satu koloni dan melupakan apa yang terjadi di sini. Anggap saja memulai kehidupan baru."

Sara mencuri pandang antara Deo dan Silas.

"Tapi kalau kalian bersikeras, saya akan menuruti kalian."

Toh lagipula memang tidak ada yang bisa dilakukan lagi di sini dan tugasnya sudah selesai. Ia tidak mau terlalu repot.

[Deo]

"Yang penting, kita akan keluar dulu, bukan begitu? Dua orang di sini sudah sepakat dengan opsi ketiga, jadi kenapa masih harus mengulur waktu?" Deo merentangkan tangan dan melihat bergantian antara Sara dan Silas dan rubriknya.

Waktu terus bergerak maju, seiring dengan persentase penurunan mesin penunjang hidup Liberté. Seolah kurang sial, sebentar lagi mungkin akan ada kerusuhan dan kudeta karena keadaan yang semakin terkendali.

Diam di tempat sambil berharap keajaiban rasanya tidak akan berguna, itu pun kalau keajaiban itu ada.

[Sara]

Sara mengedikkan bahu, "Baik," ia merapikan barang-barangnya kembali ke tas. Masih ada taser tua dan teh pasirnya, tapi ia tidak ingin berbagi untuk saat ini. "Kita keluar dari sini."

Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di luar sana selain kerusuhan, lagipula, Sara tidak peduli.

[Silas]

"Ayo kita cari senjata dan beberapa perkakas untuk bertahan hidup dan sedikit bahan penelitian dari sekitar ruangan! Setelah itu, kita pergi dari sini!"

Silas membulatkan tekad untuk mampu melindungi diri dan juga wanita berkulit pucat di sebelahnya.

[Sara]

Senjata? Sara melihat ke arah laboratorium uji, harusnya di sana ada kapak untuk memecahkan kaca darurat. Dan harusnya, kotak P3K dengan segala kelengkapannya.

"Aku akan ambil kotak P3K saja, tasku tidak muat untuk hal-hal lain."

[Silas]

Kapak? Sila tidak yakin bisa menggunakan senjata berbahaya itu. Dia tidak ingin membunuh. Kapan terlalu berbahaya.

"Aku akan mencari masker, tabung oksigen portabel, jaket, dan ...." Pandangannya menyapu ke kolong meja yang dipenuhi tanaman. "Pipa besi yang cukup berat ini tampaknya paling cocok sebagai senjata saya. Lalu, bagaimana Pak Wartawan? Apa Anda mau diam saja atau ikut mencari alat perlindungan diri?"

[Deo]

Deo mendesah, ia tidak punya keahlian bela diri apapun sebenarnya, lagi pula, membawa senjata sementara mereka bersiap diri untuk "tunduk" sebentar sebelum akhirnya berkhianat rasanya agak berkontradiksi.

Namun, mungkin senjata yang disembunyikan bisa jadi solusi.

"Koper saya berat, lebih dari awet untuk memukul beberapa biji kepala. Tapi, mungkin saya akan cari pisau juga di laboratorium uji," balas Deo.

===

Credits:

Deo - boiwhodreams_

Silas -  Shireishou

le jeu est fini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro