#14 - shimogyo

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng




menendang asal beberapa kerikil di hadapannya, lee minho menatap pemandangan indah sungai kamo di antara bentangan khalayak ramai sebelum menghela napasnya kasar.

ia merasa bodoh.

sekalipun dirinya telah memaksakan pergi makan siang di pasar nishiki dan membeli oleh-oleh khas negeri sakura untuk felix dan changbin, laki-laki itu masih merasa tidak tenang atas apa yang terjadi di stasiun pagi tadi. minho tersulut emosi, tenggelam dalam rasa takutnya sendiri. dan tanpa ia sadari, hal tersebut bukan hanya menyakiti dirinya, namun juga orang-orang disekitarnya.

namun, selain menyesali kejadian itu, diam-diam minho juga berpikir . . . apakah mungkin ia mulai menyukai jisung — yang notabene adalah seorang laki-laki yang baru saja ia kenal — terlebih hanya dalam hitungan hari?

"ah, nggak mungkin!" gumam minho sendiri, sedikit terlalu keras hingga pengunjung yang berlalu lalang menatapnya kebingungan. orang aneh.

melihat sebuah minimarket kecil yang berjarak tak jauh dari tempatnya berdiri, sebuah ide terlintas di pikirnya. mungkin, sekaleng alkohol akan menjadi partner yang tepat untuk menemaninya duduk dan melakukan refleksi diri di bibir sungai kamo.

—kring!

sebuah bel manual yang terpasang di pintu bergetar kencang ketika dirinya memasuki bangunan tua itu. terlihat sepasang suami istri usia lanjut yang sedang mengobrol asik di meja kasir, menjaga toko mereka dengan kemampuan seadanya. tanpa kuasa, ujung bibir minho sedikit terangkat saat melihat kelekatan tersebut.

"bir," decaknya santai sambil mencari minuman yang ia inginkan. "sapporo, orion—"



"mau bir?" minho mengangkat sebuah kaleng yang masih tersegel rapih. "tadi gue beli ini dulu di beverage corner."

"minum mulu, ntar cepet mati," acuh jisung — namun tetap mengambilnya.

"dari pertama kali kita ketemu, asal banget ya lo kalau ngomong."

"then why are you still here?"

"i'm not really sure about that."


"gue bahkan nggak tau kenapa gue masih disini."

minho mengerjapkan kedua matanya cepat, lalu mengambil sebotol teh hijau yang berada persis di samping kulkas minuman beralkohol.

"the things i do for you, han jisung," ia menggeleng tak percaya, bibirnya tersungging malu. "telfon felix aja kali, ya?"










"—halo, lix?"

"kak minho!" sambut laki-laki berambut pirang itu penuh semangat dari ujung sambungan. "kok nggak ada kabarnya lagi, sih, setelah nelfon masalah visa? selama di jepang udah kemana aja?"

"uh . . ." minho menggigit bibirnya ragu. "nanti gue ceritain kalo gue udah pulang. untuk sekarang, gue mau nanya tentang sesuatu."

"alright, alright. cerita aja, kak. gue dengerin."

mengambil napas panjang, minho mengeratkan genggamannya pada benda elektronik tersebut dan bertanya, "menurut lo, mungkin nggak seseorang jatuh cinta dalam waktu yang singkat? scratch it— nggak usah jatuh cinta, deh. suka atau sayang, aja, minimal."

"lo lagi ada masalah, ya?" balas felix penuh selidik, membuat minho hampir tersedak minumannya.

"j-jawab aja, sih."

"oke, oke. gue nggak akan bertanya lebih lanjut," ia terkekeh geli. "hm, gimana ya? menurut gue, nggak ada kriteria rentang waktu tertentu sih, saat lo suka sama seseorang. i mean, it just happened, right? kita bisa jatuh cinta, atau bahkan juga berhenti mencintai dalam waktu yang singkat. nggak harus ada alasan yang spesifik juga."

minho terdiam.

"urusan hati itu relevansinya bukan durasi, tetapi seberapa berharga momen yang lo miliki. tuhan itu maha membolak balikkan hidup. jadi, apapun yang sedang lo hadapin saat ini, gue harap lo berpegang teguh sama apa yang diri lo sendiri yakini. karena lo yang paling tau mana yang terbaik buat lo."










di sisi lain, han jisung menatap pemandangan kota dari lantai kyoto tower dengan seksama. tempat ini menjadi satu-satunya lokasi yang ingin ia kunjungi setelah berpisah dengan minho. kata kim seungmin dulu, kyoto tower yang tidak seramai tokyo selalu berhasil memperbaiki mood-nya setiap kali ia butuh pelukan hangat.

lee minho — bajingan itu, suka sekali memporak-porandakan hatinya. ini adalah kali pertama sejak jisung berduka dan memutuskan untuk menyendiri. dan dengan segala kesederhanaannya, laki-laki yang berusia dua tahun lebih tua dari dirinya itu berhasil membuatnya kembali seperti sedia kala.

untuk itu, jisung berterima kasih.



"gue nggak habis pikir lo bisa nggak sepeka ini. gue nyaman sama lo. kalaupun gue nggak bisa lama-lama diam di aokigahara kemarin, gue bersyukur karena ini kali pertama gue pergi ke jepang bukan cuma untuk nangisin laki-laki yang nggak mungkin kembali," jisung tertawa sarkastik. tanpa sadar, dirinya sudah hampir menangis, membuatnya terkejut sendiri dengan apa yang baru saja ia lontarkan. "for fuck's sake, lee minho, mungkin ini terkesan gila, tapi entah gimana caranya, gue sama sekali nggak menyesal karena lo yang jadi ciuman pertama gue!"



"anjir. kalau dipikir-pikir nyawa gue ada berapa, ya, berani ngomong kayak gitu?"

jisung menggaruk tengkuknya malas, mengetuk-ngetukkan kakinya pada jendela transparan yang menjadi dinding keseluruhan bangunan.

"kira-kira dia masih di jepang, nggak ya?" gumam sang tupai sambil melihat ke arah jendela, menatap seksama puluhan mobil yang berlalu lalang dengan gagahnya. "kalau pulang duluan nanggung, sih, lagi bentar juga waktunya pulang."

—hahahahaha!

suara anak-anak kecil yang berlarian sambil tertawa di sepanjang lorong seketika mendominasi telinga, membuat jisung mengerang kesal. ah, hancur sudah keinginannya untuk menenangkan diri.

"ah, elah! cari hotel aja lah, gue," ia beranjak malas menuju pintu lift. "tadi kalau nggak salah di sekitar sini ada beberapa."

anak-anak tersebut mulai berlari mendekat. saling menertawakan satu sama lain dan menutupi akses jisung menuju pintu keluar. dalam saat-saat seperti ini, rasanya ia benar-benar tak tertarik.

"sumimasen (permisi) . . ." ia berusaha membelah kumpulan tersebut. "ikanakereba naranai (aku harus pergi)— aaah!"

naas, bukannya menjauh dari mereka, tubuh jisung justru terjatuh dan mendarat sempurna di lantai. ia segera mengerang sakit, meskipun rasa sakitnya tak cukup sebanding dengan kekesalan yang mengambil alih.

berusaha bangkit, jisung melihat tali sepatu ketsnya yang kini sudah terlepas sebagian, membuat laki-laki itu terpaksa membungkuk dan mengikatnya kembali. awas aja kalau bocah-bocah itu melengos tanpa minta maaf sama gue.

namun sebelum ia dapat melakukannya, seseorang telah terlebih dulu berjongkok dan menggantikan tugasnya. segera, jisung mendongakkan kepalanya dan—

"—lee minho?"

"ceroboh banget sih, lo," minho menyimpulkan tali terakhir sebelum membantu laki-laki di hadapannya berdiri. "udah."

"m-makasih," jawab jisung terbata-bata, masih tak percaya dengan apa yang sedang terjadi.

"maaf," menghapusk jarak di antara mereka, minho berjalan mendekat dan menaruh kedua tangannya di atas pundak yang lebih muda. "gue kekanakan, cuma mengandalkan emosi belaka. gue sangat bersyukur— bahagia, malah, bisa berkesempatan untuk kenal dan jalan-jalan sama lo. dan ini . . . truth."

jisung tertawa, menggelengkan kepala. "masih aja sih, lo."

"jadi," minho mengalihkan pembicaraan, tersenyum lebar dengan tatapan menantang. "truth or dare, han jisung?"













author's note:
hehehehe aku kembali 🤗🤗 jangan lupa vote & comment bila berkenan! kemarin yang comment sedikit, tapi aku tetap bersyukur kok. sebenernya
aku penasaran aja sama tanggapan kalian tentang cerita ini 🤧 terima kasih untuk 10k+ nya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro