#15 - fushimi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



para pelancong seringkali mengatakan jika berjalan-jalan ke jepang rasanya kurang lengkap kalau tidak mengunjungi kuil-kuil tempat masyarakat berdoa. maka dari itu, minho dan jisung menyempatkan diri untuk hiking di sekitar fushimi inari-taisha — salah satu kuil paling terkenal disana — sebelum kembali menuju tokyo.

ini adalah malam terakhir minho sebelum bertolak kembali ke indonesia. maka dari itu, terlintas sebuah pertanyaan yang selama ini belum sempat keduanya tukarkan sejak berlibur bersama.

"jisung," panggil minho ketika keduanya memasuki area starting point. kira-kira, perjalanan ke puncak gunung tempat kuil terbesar berada akan memakan waktu sekitar lima jam. "seharusnya gue nanyain ini dari awal kita ketemu, tapi, kapan jadwal lo pulang ke jakarta?"

baru saja hendak meneguk airnya, jisung terdiam sesaat. "hm, tiga hari lagi. kenapa?"

"pesawat gue besok."

"hah, gimana?!" hampir saja minuman itu terciprat keluar dari mulutnya. "kok lo nggak bilang, sih?"

"gue aja baru ingat," minho memutar bola matanya malas.

"berarti, selesai kita hiking, lo langsung cabut ke airport, dong?"

"ya, iya. ambil kereta terakhir ke narita."

jisung menghentikan langkahnya, terlihat sedang memikirkan sesuatu. hal tersebut membuat minho penasaran, yang kemudian segera menghadapnya dan menatap laki-laki itu serius.

"kenapa, sung?"

"lo . . . benar-benar balik?" jisung menghembuskan napasnya berat. "nggak nyangka aja, ternyata udah selama itu kita traveling bareng. tiba-tiba, waktunya lo kembali ke kehidupan yang sebenarnya."

minho yang baru saja ingin mengistirahatkan kedua tangannya di pundak jisung, kini segera beralih dan merengkuh yang lebih muda.

"nggak usah mellow, elah," geleng minho cepat — sebagai kompensasi dirinya sendiri yang diam-diam ikut sedih. "nikmatin aja waktu yang ada. gue nggak mau kita cengeng hari ini, pemandangannya terlalu bagus untuk dianggurin."

"oke, oke," angguk jisung sebelum tersenyum ceria lagi, membuat minho harus menahan diri sebelum melepaskan rangkulannya. "ke jepang mahal, nggak boleh disia-siain. kapan lagi, kan. hehehe."

ketawa palsu.

minho tidak cukup bodoh untuk itu.












"percaya sama higher power, nggak?"

"nggak tau."

jisung hanya menggelengkan kepalanya bingung. kalau minho tidak percaya, untuk apa mereka pergi hiking ke kuil dan berdoa?

"tapi—" lanjut minho setelah melihat gelagat yang lebih muda yang sudah berancang-ancang memberi dirinya ultimatum. "—gue rasa nggak ada salahnya untuk dicoba."

jisung mengelus dadanya sabar. "mimpi apa gue bisa berurusan sama tsundere akut?"

mendengar celoteh laki-laki itu, minho terkekeh geli tanpa berusaha untuk menghiraukannya.

waktu sudah menunjukkan tepat pukul enam sore, dan setelah kembali ke bawah, mereka harus segera bergegas untuk makan malam dan pergi ke stasiun. meskipun begitu, keduanya tidak ingin terburu-buru. biarlah pemandangan negeri sakura dari ketinggian 233 meter diatas permukaan laut yang akan menjadi saksi mereka.

"kalau begitu, ayo," jisung memecah keheningan di antara dua anak manusia itu. tangannya perlahan maju menggenggam milik minho yang lebih besar, membuat lebih tua sedikit tersentak akibatnya. "ada banyak doa yang mau gue rapalkan malam ini."

"sepercaya itu lo sama hal-hal kayak begitu?" minho menaikkan alisnya.

"kenapa nggak? seperti yang lo bilang, nggak ada salahnya untuk dicoba. semesta nggak se-nyebelin itu, kali."

ia langsung terdiam.











menatap ornamen dan berbagai simbol keagamaan khas masyarakat setempat di hadapannya, laki-laki bermarga lee itu memejamkan mata mengikuti apa yang jisung lakukan. tangannya menyatu, selaras dengan pikirannya yang tertuju pada siapapun yang berada di atas sana.

"terima kasih karena sudah mempertemukan saya dengan laki-laki yang saat ini juga sedang berdoa di samping saya. apapun yang ia harapkan, pun saya mendoakan agar hal tersebut dapat terkabul.

kalau boleh jujur, sebenarnya saya sendiri bingung harus mendoakan apa. anggap saja nggak tahu diri. ada banyak sekali hal yang ingin saya semogakan . . . tetapi satu yang pasti — saya harap pertemuan kami saat ini bukan menjadi akhir dari cerita ini. saya bahagia, bersyukur akan eksistensinya. mungkin han jisung bukan orang yang sempurna, tetapi dengan dia, saya bisa menikmati segala ketidaksempurnaan yang ada.

jadi, untuk hari ini, dan kelak di masa depan, saya harap kami masih diberikan celah untuk kembali ke titik awal dan menemukan satu sama lain. layaknya garis semesta yang seringkali menyinggung . . . atau pula merindu."

minho membuka matanya kembali.

namun kali ini, fokusnya terdistorsi oleh mata jisung yang terlebih dulu menatapnya lekat-lekat.

"ngapain lo liatin gue?" tanya minho ketus, berusaha menggigit bibirnya agar tidak tersenyum malu.

"nggak . . . penasaran aja," ia menggelengkan kepala heran. "berdoa apa sih, lo? perasaan gue yang lebih percaya, kenapa lo lebih khusyuk?"

"wirausaha gue sukses, supaya gue jadi konglomerat paling kaya se-indonesia!"

minho hampir tersedak salivanya sendiri. tertangkap basah, laki-laki itu memilih untuk melengos keluar kuil terlebih dulu dengan pipi yang merona.

"t-terserah gue, lah!"

segera, jisung tertawa terbahak-bahak dan mencoba mengikuti langkahnya. "tungguin gue, lee minho!"












"tadi . . ." minho membalikkan tubuhnya, membuat jisung terkejut bukan main dan hampir kehilangan keseimbangan. "lo doain apa?"

supaya tuhan berbaik hati ngasih gue sedikit waktu lebih lama lagi untuk bareng-bareng sama lo. karena sejujurnya . . . gue belum bisa ngelepasin orang yang gue sayang untuk pulang ke jakarta begitu aja.

jisung segera menggelengkan kepala.

"ah! kepo, lo!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro