Eps 14 - Astri 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ah!…nggak…usah mbak, nggak papa" Dian menjawab agak terbata.

Dian sedikit terkejut. Suara wanita ini sungguh…entahlah, Dian tak dapat menemukan kata yang tepat untuk mendeskripsikannya.

Vibe tenang dan hangat yang menyertai kehadiran wanita ini saat berbicara, gestur yang elegan saat bersikap, namun tak terlalu berlebihan sehingga bisa dikatakan angkuh. Anggun, mungkin itu kata yang lumayan tepat. Namun bukan seperti keanggunan yang hadir ketika nyonya Sarah bersikap, yang lebih ke 'Berwibawa'. Namun kata itu hanya cukup untuk menggambarkan sikap dan pembawaanya saja.

Lain halnya dengan nuance yang terpancar dan suasana yang hadir ketika Astri berbicara, suasana yang membuat Dian benar-benar merasa…tenang? Ya…mungkin itu.

"Baiklah kalau begitu. Kalau butuh saya, jangan sungkan-sungkan untuk memanggil saya melalui tombol yang ada disetiap ujung gagang tempat duduk. Saya standby di Cabin CA" wanita itu mengakhiri kalimatnya dengan tersenyum.

Dian melihat wanita itu melangkah. Namun sebelum posisinya terlalu jauh, Dian memiliki sebuah gagasan yang tiba-tiba saja terlintas dikepalanya.

"Umm…mbak Astri?"

Wanita itu menoleh kearah Dian, "Iya mbak?"

Astri kembali melangkah mendekat.

Sambil menon-aktifkan layar tab yang dipegangnya, lalu meletakkan nya dipangkuan, Dian bertanya kepada Astri, "Kalau misalnya ku ajak ngobrol, kira-kira keberatan nggak?"

Astri sejenak melirik kearah samping, kemudian kembali menatap kearah Dian, "Boleh"

Wanita itu duduk mengambil tempat tak jauh disamping Dian pada sofa. "Mau ngobrol apa mbak?"

"Mbak Astri lagi repot ndak?"

Astri tersenyum. "Ndak terlalu repot kok sudah jadi tugas saya saat ini untuk melayani mbak Dian"

Melayani ya? Oke deh, kata Dian dalam hati.

"Kalau boleh, aku mau tanya-tanya soal Liana ke mbak Astri"

"Boleh kok mbak" Astri menjawab.

Dian tersenyum. "Sebelum itu, aku mau tanya nih. Dulu satu panti asuhan bareng Liana ya?"

"Ah, soal itu. Lebih tepatnya, saya seniornya Liana mbak" Astri menjawab dengan suara yang merdu.

Ya, merdu. Tenang dan merdu. Mungkin dua kata itu yang dicari Dian semenjak tadi. Sampai-sampai terbesit keinginan dikepala Dian untuk mendengarkan wanita ini bernyanyi. Ah, tapi tunggu dulu, senior? Tanya Dian dalam hati.

"Ah, masak sih mbak?, padahal kalau ku taksir nih, mbak Astri nih seumuran Liana lho"

Astri menanggapi pertanyaan Dian dengan gelengan pelan. "Gini mbak. Tidak seperti teman-teman yang lain, yang rata-rata besar di panti asuhan semenjak masih kecil, Liana masuk kedalam lingkungan panti pada saat umurnya sudah 12 tahun"

Dian menganggukan kepalanya sekali. "Mbak Astri deket sama Liana?"

Setelah mendengar pertanyaan Dian, nampak sebuah senyuman di wajah Astri. Namun tidak seperti yang sedari tadi ditampakkan wanita itu saat pertama kali bertemu dengan Dian. Kali ini terasa sekali raut sendu tersemat diantara senyumnya. "Saya mulai benar-benar dekat dengan Liana baru 5 tahun terakhir mbak, sebelumnya, Liana adalah gadis yang rasanya, sulit sekali untuk saya gapai"

"Seandainya waktu bisa terulang, saya ingin memulai semuanya dengan normal. Sungguh saya ingin dekat dengan Liana, namun, saat dia masuk kedalam panti untuk pertama kali, Liana bukanlah sosok yang mudah didekati"

"Maksudnya?" Tanya Dian penasaran.

Astri terlihat menghembuskan nafas berat sebelum memulai menjawab. Matanya tampak menatap jauh, berusaha mengenang suatu masa. "Ibu kami menemukan Liana dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Kebetulan saya juga sedang bersama dengan ibu ketika itu, jadi, saya mengetahui betul apa yang terjadi…"

Astri kembali menatap kearah Dian. "Mungkin dikarenakan oleh trauma batin yang berat, masa-masa awal Liana di panti asuhan dilewatinya sebagai gadis yang sangat tertutup. Itu membuat kami, beberapa seniornya, kesulitan untuk masuk kedalam hatinya. Tetapi bukan berarti saya menyerah, saya tetap terus berusaha mendekat. Saya sungguh ingin membantunya untuk melewati masa-masa sulitnya. Kalau misalnya mbak Dian bertanya soal trauma Liana, mungkin, nanti Liana yang akan menceritakannya langsung ke mbak Dian"

"Tapi saya sekarang sangat bersyukur, perlahan gadis itu mulai membuka diri untuk kami teman-temannya. Sungguh lima tahun yang sangat menyenangkan mengenal Liana dan keluarga kecilnya" sebuah senyuman yang hangat terbit diwajah Astri.

Tanpa sadar, Dian pun mengikutinya. Kemudian ia mulai menanyakan maksud utama. Menanyakan perihal bantuan yang diminta oleh Liana. "Jadi, mbak Astri juga tau soal perihal hobi barunya Liana ya?"

Astri menjawabnya dengan anggukan lembut. "Kami, teman-teman terdekatnya, berusaha untuk membantu semampu kami. Mbak Dian udah baca sampai dimana?" Dian melirik kearah tab yang dipangku Dian.

"Umm…tadi sih Cryst nyaranin aku untuk baca yang…apa ya tadi judulnya, love for the AVA?" Dian kembali mengaktifkan layar tab.

Astri tersenyum, "Kisah Liana dengan Josh ya?"

"Loh! Jadi tokoh Izza ini beneran si Liana ya?" Wajah Dian tampak sedikit terkejut.

"Iya mbak…" Astri mengangguk sekali. "…atau, jangan jangan saya salah nih karena udah ngasih spoiler?"

Dian tersenyum, " Ah…santai aja sih mbak. Ntar kita juga ketemu sama orangnya langsung kan?"

Lagi-lagi Dian menangkap raut sendu pada wajah Astri.

Namun kesenduan itu hanya hadir sejenak. Wajah Astri seketika berubah kembali tersenyum. "emm…kami juga ikut turut menulis di dalam akun Liana pada platform  yang sama lho"

"Mbak Astri juga ikut nulis? Di cerita yang sama?" Tanya Dian dengan raut wajah antusias.

Astri menggelengkan kepala perlahan. "Enggak mbak. Saya menulis di judul lain. Sebuah buku yang khusus berisi tulisan kami, teman-teman Liana"

"Oh ya? Yang mana Mbak?" Tukas Dian sambil memberikan tab yang sedari tadi dipegangnya ke arah Astri.

Sesaat setelah menerimanya, Astri terlihat mengetuk layar dengan ujung telunjuk beberapa kali. Kemudian menghadapkan layar tab itu kearah Dian. "Di buku yang ini mbak. Tapi saya sarankan mbak Dian menyelesaikan AVA terlebih dahulu"

Dian melihat sebuah icon cover buku yang ditunjuk oleh Astri. Perlahan menganggukkan kepalanya.

Kemudian Dian teringat akan sesuatu yang sempat membuatnya penasaran satu jam lalu. Sesuatu yang sempat ia dengar dari wanita yang sedang berbincang-bincang dengannya saat ini. Ia rasa, ini adalah saat yang tepat untuk menanyakannya.

"Mbak Astri, kalau boleh tau nih, tadi…"

Ting!

"This is Captain Nathan speaking. Mbak As, kalo boleh nih, aku mau kopi dong. Makasih banyak sebelu…"

Kata-kata itu terputus dan disusul sebuah teriakan seorang gadis. "…aku coklat anget mbak!!!…"

"…for God Grace!! Crystal!! Kalo ngomong pake microphone tuh pelan-pelan aja!…" terdengar Nathan seketika menyela. "…ehem, mohon maaf kepada para penumpang atas ketidak nyamanan tadi. Terima kasih"

Ting!

Dian melihat kearah Astri yang sedang tertunduk tersenyum mendengar kejadian yang tersengar melalui speaker beberapa detik lalu. "Crystal tuh emang kaya gitu ya mbak?"

Astri melihat kearah Dian, masih tersenyum malu. "Maaf ya mbak Dian. Crystal adalah pribadi yang terlalu periang. Bahkan mungkin terkesan berlebihan"

"Santai aja mbak. Biasanya kan emang selalu ada satu atau dua biji yang kayak gitu di setiap lingkungan. Selalu punya cara buat ngeramein suasana" imbal Dian dengan senyuman.

Astri pun turut tersenyum lebar, seraya bangkit dari duduk nya. "Saya tinggal dulu sebentar ya mbak. Nanti kita lanjutkan obrolannya"

Setelah dilihatnya Astri melangkah kearah cabin pantry, Dian memutuskan untuk kembali bersabar mengenai pertanyaan yang ingin diutarakannya dan memilih untuk kembali melanjutkan membaca. Dan segera menuntaskan rasa penasaran akan akhir dari kisah yang satu jam ini telah dibacanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro