Eps 16 - SL 9 - Cinta sehari (End)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Montreal, 7 April 2018. 02:14
Kamar Joshua.

Josh berhenti mengenang.

Entah mengapa ia sungguh tak mau untuk mengingat lebih jauh. Untuk saat ini, ia hanya ingin meminta maaf kepada gadis itu.

Dilihatnya notifikasi di kolom inbox, ia menimbang-nimbang. Apakah ia harus menulis terlebih dahulu lalu membuka surel dari Izza?, ataukah ia akan membuka surel itu terlebih dahulu, lalu setelahnya, baru ia mengirimkan surel balasan?.

Masalah-masalah yang telah ia alami dalam hidup selama ini, mungkin terasa jauh lebih berat dari pada masalah hatinya saat ini, namun untuk masalah hati, ini adalah yang pertama kali untuknya. Hanya saja, ia tak ingin apa yang terjadi pada orang tuanya, terjadi juga padanya.

'lu mikirnya kejauhan Joshua!! Pacaran aja belum. Bego banget sih lu'. Katanya dalam hati.

Jika ia tak ingin kembali salah mengambil langkah, ia harus mengatur apapun yang ada didalam hatinya.

Kalaupun misalnya surel itu berisi ungkapan kemarahan dari gadis itu, ia harus menghadapi kenyataan apapun yang akan sekali lagi dihadapkan oleh "takdir" untuknya.

Ia akan menghadapi dan menerima apapun yang akan dibacanya didalam surel yang dikirimkan oleh Izza. Ya...Josh telah memilih, ia akan membuka terlebih dahulu surel itu. Dan semarah apapun gadis itu kepadanya nanti, ia telah siap.

Dengan telunjuknya ia memilih surel yang memiliki waktu lebih awal. Tempo jantungnya mulai kacau, tapi ia harus membukanya.

Click!

Dahinya berkerut. Surel itu berisi dua buah tautan untuk men-download file.

Ia memilih untuk mengunduh keduanya secara bersamaan.

Downloading all images...

"gambar?" Josh bergumam

Open images...

Sesaat kemudian muncul dua gambar. Ia tertegun. Dilihatnya dua buah foto yang bagi dirinya sebagai seorang fotografer, foto-foto itu telah diambil dengan menggunakan tehnik yang sangat bagus.

Tak pernah terfikir olehnya untuk mengambil foto ingame dengan tehnik ini.

Lagi-lagi Izza mengejutkannya.

Tapi yang jadi masalah, siapakah pria yang berada dalam foto itu?. Josh seakan pernah bertemu. Tapi kapan?. Ia baru beberapa hari kembali log in setelah 8 tahun. Dan selama beberapa hari itu pula ia selalu bersama Izza. Tapi yang lebih penting, apa yang sebenarnya ingin disampaikan Izza?.

Pikiran-pikiran aneh mulai hinggap di kepalanya. Semacam, 'jangan-jangan Izza itu laki-laki!', atau semacamnya.

Namun segera ditepisnya pikiran itu. Tak ingin merusak perasaan pada momen ini.

Perhatiannya kembali ke kolom inbox dan bersiap untuk membuka surel Izza berikutnya.

Dengan ujung jarinya ia memilih tautan surel yang ke dua, ia terdiam sejenak. Manarik nafas sekali, kemudian dibukanya surat itu.

____________________________________
____________________________________

"dear Joshua.

Yang pertama, aku nggak marah.

Beneran.

Aku sama sekali nggak marah sama kamu. So...kamu nggak usah khawatir.

Aku tau kok maksud kamu ngomong kaya gitu sebenernya sama sekali gak ada niat buruk. Perasaan kamu pasti sakit. Lantaran aku pernah bilang ke kamu kalo "jujur" itu adalah pondasi dari segala macem jenis hubungan. Tapi, untuk kali ini, maaf, aku nggak bisa jujur ke kamu. Di surel ini, aku minta maaf untuk yang pertama kali.

Yang kedua. Aku minta maaf lagi.

Maaf karena aku ninggalin kamu gitu aja, kaya orang nggak ada tanggung jawab. Maaf, karena jujur, walaupun ini terasa teramat sakit. Tapi aku harus ngelakuin. Maaf.

Yang ketiga. Sekali lagi aku minta maaf.

Maaf karena aku nggak bisa ngasi kamu penjelasan apa-apa sekarang. Padahal aku juga nggak tau apakah ada masa "nanti". Sama sekali nggak ada alasan, aku cuman bisa minta maaf ke-kamu.

Yang keempat. Makasih.

Makasih udah jujur sama aku soal perasaanmu. Makasih udah mau jujur dengan amarah kamu ke aku. Makasih udah hadir buat nerima aku apapun lebih dan kurangnya seorang Izzara. Makasih udah berusaha mau minta maaf ke aku. Yang sebenernya ndak perlu. Kamu sama sekali ndak ngelakuin kesalahan.

Yang kelima. Makasih.

Makasih udah mulai bisa nerima keadaan kamu sendiri di RL. Setiap kali aku rasain ketika ada semangat baru tumbuh di hati kamu, aku ngerasa hangat di hati aku. You'll never know how it felt before you learn how to let go.

Aku tau, aku sama sekali nggak pantes untuk ngomong hal itu, tapi...aku juga sedang belajar mengenai ini, tapi...kumohon, teruslah memaafkan dan menerima. Soal ibu kamu, ayah kamu, teman kerja-mu. Hanya dengan cara itu kita bisa menerima diri sendiri dan terbebas dari luka batin.

Percaya apa enggak, kamu adalah ujian terberat ku dalam mempelajari hal ini.

Yang keenam. Makasih.

Makasih udah nemenin aku seharian penuh.
Makasih udah mau temenan sama aku.
Makasih banged.

Aku nggak bakal ngelupain apapun yg udah kita lalui bareng. Tidak satupun!.

Semua itu penting banged buat aku.

Dan, aku udah gak tau lagi harus gimana, karena, buat aku, ini pertama kalinya aku ngerasa diterima secara utuh oleh orang asing.

Dan untuk pertama kali aku ngerasa beruntung atas semua kekurangan aku. Aku bener-bener bersyukur karena untuk pertama kali, aku bisa nikmatin yang namanya temenan. Makasih Josh. Makasih.

Yang ketujuh. Terimakasih dan maaf.

Masih inget soal quantum entanglement Josh?

Nggak ada yang namanya kebetulan.

Untuk yang terakhir kali, maaf kalau lancang.

Kalau misalnya temen kerja kamu ndak ngambil uang perusahaan, kamu nggak bakal bangkrut.

Kalau kamu nggak terpuruk karena masalah perusahaan, kamu nggak akan pergi cari hiburan.

kalau misalnya hari itu kamu ndak pergi nonton film, katakanlah kamu memilih ngehabisin waktu dengan minum-minum, kamu nggak bakal balik online lagi ke "dunia ini".

Kalau kamu gak balik log in, kamu nggak bakal ketemu aku.

Dan entah untuk berapa lama lagi kamu bakal tenggelam dalam keterpurukan, yang bakal bikin kamu nolak ajakan sahabat-sahabat kamu untuk menerima kesempatan baru. Dan seterusnya sampai kamu sama sekali tak akan terfikir untuk memaafkan kedua orang tua kamu.

Kamu tau dimana ujung pangkal seluruh rentetan peristiwa ini. Kamu faham betul dari mana ini semua berawal. Dan dari situ juga kamu harus mengakhiri. Dengan memaafkan, menerima dan berterima kasih.

Terimakasih buat semua yang udah kamu kasi ke aku. Dan maaf, aku udah nggak bisa nemenin kamu lagi. Maaf Josh...maaf.

Ps: untuk dua foto di surel yang awal, aku ambil waktu kita lagi main-main di kumapon. Maaf aku nggak bilang2 dulu. Kamu simpen ya. Kamu cocok kalo pake setelan kaya gitu."

"Izzara Liana"

____________________________________
____________________________________

Josh hanya bisa terdiam. Marah, sedih, lega, semua bercampur aduk bergemuruh di dalam hati.

Bukannya ia tak memahami satu kalimat pun yang tertulis di surel itu. Namun ia tak mau untuk mengerti, bukan...ia menolak untuk mengerti.

Tapi sesaat kemudian, ia kembali berusaha untuk menata emosinya. Kali ini ia tak akan kalah. Ia harus berusaha untuk menyelesaikan apa yang telah dimulainya. Ya...mau bagaimanapun juga, ia sadar, ia ikut ambil andil untuk memulai "konflik bodoh" ini.

Ia menyebutnya demikian. Katakan saja dirinya bodoh, ia sudah tak perduli. Hanya satu yang ia yakin saat ini. Perasaannya terhadap gadis ini adalah keputusan paling gila yang pernah ia ambil. Dan keputusan yang ia ambil setelahnya pun tak kalah gila.

'gua gak perduli Izz, gua suka sama lo. Dan gua gak butuh jawaban. Gua cuman mau bilang ke lo perasaan gua. Kenal sama elo dah cukup bikin gua seneng. Kalo emang elo gak bisa nerima perasaan gua, gapapa. Gua pasrah'

Hatinya mantap. Kemudian jemarinya mulai mengetik surel balasan.

Entah untuk berapa lama, ia tak tahu. Tapi sebanyak apapun ia mengetik, sebanyak itu pula ia mencurahkan perasaan.

'...gak tau kenapa, hati gua semacam paham perasaan lo. Tapi gua cuman kepengen ngomong makasih. Lo udah hadir di hidup gua. Walaupun cuman sehari...'

• • • ₪ • • •

Montreal, 7 April 2018. 18:07
Kamar Joshua.

"...drrt...drrrrt..."

Josh menoleh kearah meja kerjanya. Merasa agak malas, diabaikannya suara getar dari ponsel, hingga akhirnya benda itu berhenti.

Ia kembali menengadah, berusaha untuk menenangkan diri. Terlentang diatas kasurnya, ia menimpakan punggung lengan kiri ke atas kedua kelopak mata.

Terasa sesuatu seperti menusuk hatinya. Sakit.

Seberapa banyak ia berusaha untuk memahami apa yang baru saja ia alami, ia gagal untuk mencapai kesepakatan dengan hatinya. Ia sadar, dengan alasan apapun yang bisa dipikirkan, ia tetap tidak berhak untuk mengatakan kalimat-kalimat itu. Dan hatinya semakin kelu ketika mencoba membayangkan sesakit apa perasaan yang dirasakan oleh gadis itu.

"heuft..."

Setitik air mata timbul di sudut luar mata kiri. Ia semakin merapatkan pejaman mata. Kali ini rasa sesal kembali menyeruak dari dadanya. Yang entah untuk keberapa kali selama satu jam ini dirasakan Josh.

'gua juga ngapaaiiin ngomong gitu...'

Semakin dalam penyesalan yang ia rasa, semakin sulit air mata ia tahan. Semakin ia menyalahkan dirinya sendiri.

"...drrt...drrrt..."

Suara getar kembali terdengar. Mengalihkan perhatian Josh sejenak dari lamunan.

Ia segera mengusap tumpukan air mata yang masih belum sempat turun. Ia duduk di tepian ranjang. Melirik kearah layar ponsel yang ia letakkan diatas meja kerja yang berjarak tak terlalu jauh dari ranjangnya.

'Mike?...'

Sedikit bangkit dari duduknya, ia menggapai ponselnya dan kembali duduk. Ia menyentuhkan ringan permukaan ibu jari pada layar, lalu membawa ponselnya mendekat ke arah telinga.

"ya Mike..."

"uit...nongkrong kuy" suara sahabatnya terdengar.

"i think i'll pass...agak capek nih. Thesist gua juga belum kelar" Josh mencoba beralasan.

"gw ndak nerima retur!!, soal thesist ntar gw bantuin, otw apartemen lu...chiao!!" dan sedetik kemudian sahabatnya telah memutuskan sambungan.

Josh menggelengkan kepalanya. Secercah senyum terbit di sudut bibirnya. 'kayaknya emang gua butuh keluar ama tuh anak'.

Sejenak ia melirik kearah layar PC nya. Ia berdiri menghampiri meja kerja, meraih tetikus dan menekan tab bergambar simbol silang di ujung antar muka dan memberikan satu kali "klik", yang disusul dengan tutup nya antar-muka aplikasi yang sedari tadi menjadi penyebab perasaan kecewanya melanda.

Menghela nafas sekali, kemudian dengan cekatan, jemari tangan kiri menekan dan menahan tombol ctrl dan alt, disusul dengan ditekannya dua kali tombol del dengan telunjuk kanannya. Layar PC nya menampakkan proses shutting down.

Josh melangkahkan kaki menuju kearah kamar mandi, namun tepat sebelum tangannya meraih gagang pintu, didengarnya suara bel pintu berdenting.

"hah? Cepet banget tuh bocah..."

Diurungkan niat sebelumnya, berjalan menghampiri pintu depan. Dibukanya kunci ganda pada pintu depan, meraih gagang pintu itu. Dibukanya mantab.

Dijumpainya wajah usil dengan seringai lebar tak berperasaan. Mike menyentuh kedua pundak Josh.
"yo bratha...berangkat sekarang ye"

"katanya nggak terima retur...lhah sekarang nagih..." jawab Josh yang kemudian menepis kedua tangan sahabatnya itu, "...ntar lah...mau mandi dulu gua. Lagian lo juga ngapa cepet amat nyampek nya. Masuk!". Josh memutar tubuhnya, berjalan ke arah ruang tamu.

"see...i've told you to call him earlier" suara lain terdengar si belakang Mike.

Josh melirik kearah belakang Mike. Dilihatnya Alan sedang melepaskan sepatu sneakers nya. "lo juga ikutan Al? Sparrow tutup?"

"nope...anak-anak yang handle" jawab Alan.

"nih dua bocah kok pada kompakan sewot ya...kan gw pengen ngajakin jalan lu pada...gw traaaktiiir..." Mike membela diri seraya merebahkan diri di sofa. Diperhatikannya wajah kedua sahabat nya yg kini menatap dingin kearahnya, "...eh, kenapa sih? Muka gw kenapa? Aneh?".

Josh terdiam sejenak, melirik kearah Alan yang hanya mengedikkan pundak. "gak tau lah...gua mandi dulu". Josh meneruskan langkahnya kearah tempat tujuan semula. Meninggalkan kedua sahabatnya diruang tamu. "kaya biasa ya, soda di kulkas. Kopi teh di lemari pantry!!"

Terdengar Josh menutup pintu kamar mandi, yang tak lama kemudian disusul dengan suara shower yang mulai mengalir.

Alan duduk mengambil tempat berhadapan dengan Mike. Berbatasan meja tamu, ia menatap serius wajah sahabatnya itu. "loe gak ada sensi sensi nya sih sama Josh?" dikatakannya kalimat itu agak lirih. Tak ingin Josh mendengar apapun.

Mike menegakkan duduknya. Membalas tatapan Alan tak kalah serius. "lu mau gw kayak apa? Datang kesini tiba-tiba pake pasang wajah iba? Trus comfort dia gitu?..." Mike melepas kuncir rambutnya, menyapu rambut panjang rambutnya kebelakang dengan kedua telapak tangan. "...lha kalo dia nanya ke gw tau darimana? Gw mau jawab apa?". Mike menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa.

"loe gak ada rencana cerita apapun soal ini ke Josh?" tanya Al serius.

Mike mendengus lelah, menyandarkan kepala ke belakang, memejamkan mata sipitnya. "buat soal ini, gw gak akan pernah cerita ke Josh, gw kasian ama dia Al. Lu tau lah seberapa penting dia buat gua sama mak gua."

Alan membuang pandangan ke arah pintu kamar mandi. Lalu menunduk sebentar, kemudian kembali menatap Mike serius. "liat muka gua Mike..."

Mike membuka matanya, melirik kearah wajah Alan.

"liat yang bener Nying!!..." tukas Alan dengan nada agak meninggi. "...sampe kapan loe bakal kayak gini hah?. Gue sama Hellen dah ngomong kan, jujur dikit lah ama sahabat loe."

Alih-alih menuruti Alan, Mike kembali memejamkan mata dan menyandarkan kepala. "ada hal-hal yang emang ga usah dikatakan, ya kali lu ama istri lu, kenal gw dari kecil. Josh belum lama kenal kita"

"six years Mike...six f*king years...he deserve to know better..." Alan membalas dengan agak sedikit menggeram, berusaha menahan emosi. "...if something like this ever happen again, i swear Mike... i'll spill everything out! for God sake" Alan menatap semakin tajam wajah Mike.

"it won't be Al..." Mike menelangkup wajah dengan kedua telapaknya, menegakkan duduk, membuka matanya, lalu menatap yakin kearah Alan, "...takdir macam gini cuman terjadi sekali seumur hidup untuk Josh. Lu sama Hellen tau gw kayak apa, lu bisa percaya gw. Selama ini gw ga pernah ngecewain lu khan?..."

Alan membuang muka sejenak, lalu menatap Mike dengan wajah kecewa. "loe emang ga pernah ngecawain kami, tapi apa loe lupa?...Ini bukan cuman sekali kejadian di hidup loe Mike. Kejadian macam gini tuh ga bakal bisa ke prediksi walaupun loe punya 'itu' !!..." tukas Alan seraya menunjuk ke arah kedua mata Mike, "...loe bukan Tuhan Mike. Loe inget kan soal bokap sama adek loe...heuft..." Alan mendengus kesal.

Mike mengerutkan dahi, kemudian wajahnya kembali datar. Ia paham betul apa yang dimaksud sahabatnya. "gw sadar banged Al...sorry..." Mike kembali menatap Al yakin, "...tapi kali ini gw yakin banged Al, percaya gw, kejadian kali ini bakal ngerubah Josh kearah yang lebih baik. Ini semua emang harus dirasain sama dia, dan tinggal satu hal lagi yang harus dia lakuin. Setelah hal itu kelar..." Mike berhenti sejenak karena melihat Alan yang lagi-lagi membuang muka. "...oi mate...dengerin gw napa..."

"gue dengerin loe..." Alan kembali menatap Mike, "...lanjutin".

"Josh cuma kurang ngelakuin satu hal lagi Al, setelah itu ini semua bakal kelar." Mike berusaha menjelaskan.

"tau dari mana loe?..." tanya Alan, "jangan bilang loe make 'Mata' loe!?"

Mike menggeleng pelan, "bukan gw Al, gua tau dari orang yang sama yang udah bikin Josh move on tempo hari. Cewe yang dia ceritain ke kita. Dia emang beneran niat bantuin Josh sejak awal. Karena ternyata secara nggak sadar, Josh udah bantuin dia juga. Panjang ceritanya...kapan-kapan gw cerita ke lu..." Mike melirik ke arah pintu kamar mandi. Terdengar suara air yang telah berhenti, "...sekarang, gw minta tolong ama lu buat nemenin Josh, bareng gua, dampingin dia sampe semua masalah ini kelar. Are you in Al?"

Al merebahkan punggungnya ke sandaran sofa. Menghela nafas panjang.

"Al...are you with me mate?..." sekali lagi Mike bertanya.

Terdengar suara pintu kamar mandi terbuka. Sontak membuat Mike dan Al serempak melihat kearah tersebut.

Mike segera menatap ke arah Al, berharap sebuah jawaban keluar dari sahabatnya. Alan yang juga melihat ke arah Mike, dengat tatapan yang penuh keyakinan mengangguk mantab. "dia sahabat gue juga. Gue ikut!".

"that's my man!!..." Mike menyodorkan kepalan tinjunya ke arah Alan yang kemudian dibalas dengan benturan ringan dari kepalan tinju sahabatnya itu. "...thanks banged bray" Mike tersenyum tulus.

Josh melihat adegan itu dengan heran. Sambil masih menyeka kasar rambut dikepalanya dengan handuk, ia mengampiri kedua sahabatnya, "seru amat lu berdua, lagi ngobrol apaan?"

Mike sudah kembali dengan senyum lebar dan usil khas-nya, "kepo lu!! Dan sana ganti, bis gini langsung cus lah!!"

"emang kita mau kemana sih?" tanya Josh yang masih menyeka rambut. Sambil melirik kearah Alan.

Dengan muka datar seperti biasa, Alan cuman menaikkan kedua bahu.

"hehe...asik lah pokoknya" jawab Mike sambil mengacungkan jempol.

• • • ₪ • • •

Di belahan lain dari Bumi ini

Di dalam sebuah kamar terkunci, disorientasi waktu kembali dialaminya. Setelah memutuskan mengambil waktu khusus untuk dirinya sendiri, menyelami dan dengan sekuat tenaga menerima apa yang hatinya kini alami dan rasakan, kegagalan mutlak menjadi ujung perjalananya. Seorang gadis menangis.

"Na...ayo makan dulu sayang, dua hari kamu nggak keluar kamar..." suara seorang wanita terdengar dari luar pintu kamarnya. "...Come on dear, talk to me. Please open the door Liana..." aksen british nya terdengar lembut. wanita itu berusaha untuk membujuk. Entah untuk yang keberapa kali.

Gadis itu tetap memilih untuk membisu. Bukan tak ingin untuk menjawab panggilan seseorang yang sangat disayanginya itu, namun, katakanlah dia gila, ia masih ingin menikmati perasaan yang sedang merundungnya saat ini. Sedih yang teramat sangat.

Untuk pertama kali dalam hidupnya ia merasakan sebuah rasa sedih karena kehilangan. Selama ini kehidupan mengajarinya untuk tak memperdulikan rasa "hilang". Karena ia tahu betul sebenarnya manusia sungguh tak berhak atas segala sesuatu apapun. "kedatangan" dan "pergi" adalah dua sisi dari sebuah koin yang takkan pernah terpisah, hanya masalah waktu untuk masing-masing sisi menunjukkan diri.

Tapi untuk kali ini, waktu membawanya pada masa dimana ia mau tak mau harus menerima secara utuh, rasa sakit yang harus sejalan dengan "kewajiban" untuk "melepas".

Rasanya yang amat perih. Namun bersamaan dengan itu, ia ingin menikmatinya dalam kesendirian, sebuah perasaan yang teramat baru.

"...dont be to hard to yourself my dear Liana..." wanita itu sekali lagi membujuk.

Gadis itu membuka selimut yang dipakainya membungkus seluruh tubuhnya. Menggunakan ujung selimut itu untuk mengusap wajahnya yang basah karena air mata. "laat me alsjeblieft je laatste opdracht op mijn eigen manier afmaken, tante..." (Biarkan aku menyelesaikan tugas ini dengan caraku sendiri, tante) ia menjawab dengan suara serak, bergetar menahan tangis.

"oh my dear Liana..." wanita itu bersimpati, "...baiklah kalau begitu...selesaikan apa yang harus kau selesaikan. Tapi paling nggak kamu harus makan sayang..." wanita itu menyentuhkan telapak tangannya pada permukaan pintu kamar. Wajahnya tertunduk. Hatinya juga merasakan apa yang dirasakan gadis yang sekarang sedang mengunci diri. "...i'll let you alone for one more hour dear...tapi setelah itu berjanjilah untuk turun dan makan..."

"ja...tante..." (Iya...tante...) jawab gadis itu lemah. Setelah ia tak mendengar lagi suara wanita itu dari balik pintu kamarnya, gadis itu kembali membungkus tubuhnya dengan selimut. Menenggelamkan wajahnya diantara bantal-bantal, kembali menangis.

Disela-sela tangisnya, gadis itu berbisik "maaf Josh..." tangisnya semakin menjadi, "...maaf...".

• • • ₪ • • •

----------

Aduh...

Yak ampun Na, ini...kok rasanya nyesek sih..

Kamu kepingin ngomong apa sih di cerita ini?

Dian mulai membuka gawai miliknya dan menekan icon aplikasi note-pad. Mulai mencatat beberapa informasi dan beberapa pertanyaan yang sekarang dirasanya sangat liar berputar-putar dikepala.

Lalu setelah selesai mengetik semuanya, atau paling tidak, untuk sementara ini sudah dirasanya cukup, Dian kembali membaca tulisan bab selanjutnya

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro