15.Hold On Me

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


15. Hold on Me



"Saya udah book flight untuk Sabtu pagi ini. Two seats. Kita naik Singapore Airlines."

Arion mengatakannya dalam perjalanan pulang ke rumah pada Kamis malam. Yang berarti dua malam lalu.

Waktu itu mereka sama-sama lembur atas permintaan Arion. Dasar modus, sampai-sampai Pak Dayat disuruh pulang sebelum malam. Menyisakan mereka berdua.

Lalu, ia masuk ke dalam ruang kerja Arion, dengan dalih ada hal urgent yang perlu mereka bicarakan.

Namun, syukurlah ternyata tidak ada hal-hal melanggar batas yang dilakukan Arion kepadanya. Saat itu mereka sama-sama sibuk. Arion memeriksa laporan yang masuk, sedangkan ia mengerjakan laporan lain yang akan diserahkan sebelum deadline akhir bulan. Lembur malam ini berarti mengurangi pekerjaannya di esok hari.

Alunan musik classic, pop, hingga indie folk menemani keheningan malam itu. Sebelumnya, mereka menyantap Japanese food dilengkapi ocha dingin dan kue mochi. sekotak pizza dipesan bersamaan dengan menu makan malam mereka, karena menurut Arion, yang juga ia setujui; bekerja sampai larut malam akan membuat mereka cepat lapar. Butuh cadangan makanan baru untuk menggantikan energi yang hilang.

Pukul 22.00, pekerjaan mereka dihentikan, berlanjut dengan Arion yang mengantarnya pulang. Tidak banyak yang mereka bicarakan di dalam mobil. Mungkin karena sama-sama lelah. Cessa hanya sesekali memanggilnya, membantu Arion tetap fokus menyetir mobil.

Barulah ketika sampai di depan rumah, Arion memberitahunya tentang trip singkat ke Singapura.

"Saya kan belum bilang mau ikut, Pak," ucap Cessa yang kini sedang meremas kardigan hitam di pangkuannya untuk meredakan kegelisahan.

Ia sudah menolak, tapi tetap saja Arion memaksa.

"Semua pakaian dan outfit pesta buat kamu sudah disiapkan sama Jo. Udah di-laundry semuanya juga. Besok pagi diantarkan biar bisa kamu cek dulu sebelum berangkat."

Nada suara Arion yang tegas, kalimat-kalimat singkat penuh penekanan. Cessa sudah mulai hapal kebiasaan Arion itu setiapkali ia tidak sedang ingin didebat. Arion mungkin mulai tidak nyaman dengan setiap penolakannya selama ini.

Atau tidak suka.

"Kamu bisa ambil cuti di hari Jumat biar kamu bisa istirahat sebelum berangkat. Tapi seharusnya nggak perlu ya? Jakarta-Singapura hanya butuh waktu dua jam penerbangan."

"Pak, apa ini nggak terlalu berlebihan?"

Arion memelankan laju mobil saat mereka berada di depan gapura perumahan yang posisinya sedikit menurun seperti lembah.

"Berlebihan gimana?"

Ya, berlebihan dong.

Pertama, Arion sudah memesan tiket tanpa menunggu konfirmasi kesediaan.

Kedua. Arion ternyata sudah menyiapkan pakaian pesta untuk ia pakai tanpa menanyakan pendapatnya terlebih dahulu.

Ketiga.

Tidak ada alasan ketiga.

"Kamu nggak jawab."

Cessa memilih tidak menjawab karena ia yakin tidak ada yang bisa ia lakukan untuk membatalkan perjalanan bersama itu. Arion sudah booking tiket. Dan mungkin saja Arion juga sudah booking hotel untuk tempat mereka menginap.

"Bapak sudah booking hotel?" Cessa balik bertanya, sekadar memastikan.

"Sudah. Satu suite."

"Apa?" Cessa kesal.

Kesal karena mengapa jawaban Arion itu seperti yang terpikirkan olehnya.

"Tenang aja. Saya nggak bakal merugikan kamu. Malah kamu bakal untung karena bisa jalan-jalan gratis hanya dengan modal menemani saya ke pesta."

Enak saja. Modal menemani itu berarti ia harus membawa diri ke depan umum. Bawa badan, bukan hanya titip absen saja.

"Saya nggak mau satu kamar sama Bapak."

Kamar hotel di Singapura pasti banyak, nggak hanya semata wayang sedaratan itu kan?

Kenapa milihnya harus satu suite saja?

Kenapa laki-laki ini suka sekali bertindak semaunya?

Arion tergelak. "Kenapa? Kamu takut saya ngapa-ngapain kamu?"

Malah tertawa.

Tentu saja. Ketakutannya wajar. Mereka hanya pergi berdua, booking satu kamar hotel, di luar negeri pula. Siapa yang bisa menjamin tidak terjadi apa-apa kepada dirinya?

Ia seolah mengumpankan dirinya sendiri ke mulut buaya.

"Suite-nya punya dua kamar tidur," jelas Arion, seolah menetralisir kekhawatirannya.

Mau satu atau dua kamar tidur, tetap saja hitungannya satu ruangan yang sama. Mengapa tidak memesan dua kamar? Jelas, Arion tidak berpikir dari segi ekonomis saat membooking-nya.

Cessa enggan mengorek di mana mereka akan menginap. Malah, ia sempat berpikir jika Arion mungkin akan menginap di salah satu rumah relasinya di Singapura. Ternyata tidak. Arion menyewa kamar hotel.

Mungkin Arion memang terbiasa menginap di hotel daripada di rumah keluarga?

***

Did you ever notice that the first piece of luggage on the carousel never belongs to anyone?

Changi Airport. Singapore. 10.20 am.

Cessa mengikuti langkah Arion keluar dari area keberangkatan. Mengedarkan pandangan ke sekitarnya sambil tetap berkonsentrasi memerhatikan pijakan kaki yang terbungkus black flat shoes, khawatir ia akan tersandung karena berjalan terburu-buru. Adrenalin-nya sering meningkat tanpa ia sadari ketika berada di keramaian, seperti di mall dan tempat seramai bandara. Apalagi bandara luar negeri. Perasaan sama excited-nya seperti ketika ia pertamakali menginjakkan kaki di Incheon, airport di kota Seoul, Korea Selatan.

Incheon dan Changi sama sibuknya. Sebagai bandara internasional, keduanya juga merupakan tempat transit pesawat dari negara Asia ke negara-negara di benua Eropa. Cessa dengan mudah menemukan orang-orang berbeda ras yang nampak dari tampilan fisik, terutama ras Kaukasian dan Negroid yang rata-rata menjulang tinggi. Dibandingkan postur ras Melayu seperti dirinya, sangat kontras. Padahal ia merasa postur tubuhnya sudah lumayan tinggi.

Ia selalu menyukai suasana di bandara. Tempat orang-orang berpisah dan dipertemukan. Apalagi membayangkan bandara pada scene-scene di dalam film, lengkap dengan backsound mendayu-dayu dan romantis.

Love, Rosie, Garden State, Dear John...

Judul-judul film tersebut beredar dalam imajinasinya.

Arion dan dirinya berjalan keluar dari pesawat menuju conveyor belt yang kadang dinamakan baggage claim or carousel. Menunggu sampai koper-koper mereka sampai di tempat mereka menunggu. Arion menggunakan Rimowa, koper super mahal nan elegan itu.

Sementara kopernya...

Ah, ga usah dibahas. Bikin makin minder saja.

Kopernya tidak penyok, tidak terkelupas apalagi roda lepas, atau menganga karena restleting-nya rusak. Kopernya baik-baik saja. Kendati usianya sudah bertahun-tahun, tapi masih layak dibawa ke mana-mana.

Meskipun, setelah melihat koper Rimowa silver Topas Titanium yang nampak classy itu, ia berjanji tidak akan memakai kopernya lagi untuk terbang ke luar negeri.

Ia selalu mendongakkan kepala kepada Arion. Namun, selalu berakhir sia-sia. Karena tanpa berusaha meninggi, Arion tetap terlihat sangat berkelas. Gesture dan aura orang kaya memang tidak pernah bisa berbohong.

Cessa cepat-cepat menarik kopernya sebelum Arion sempat menurunkan dari conveyor. Raut wajah Arion terlihat kurang senang, tapi Cessa tidak peduli. Ia bisa mengurus kopernya sendiri.

Sejak tiba di bandara Soekarno-Hatta, Arion selalu menunjukkan perhatian. Mengecek bagasi, melakukan check-in, menawarkan camilan dan permen saat menunggu boarding. Menanyakan apakah AC-nya terlalu dingin, atau apakah ia butuh bahan bacaan selama penerbangan. Apakah ia puas dengan layanan business class atau tidak.

Demi Tuhan, ia sudah terbiasa naik pesawat kelas ekonomi ke mana-mana. Tentu saja, duduk di business class Singapore airlines adalah hal yang sangat memuaskan. Amat sangat memuaskan. And free. Ia bisa komplain soal apa?

Ia mendengar ucapan Arion tentang terbang menggunakan first class ketika mereka pulang nanti.

Baiklah. Terserahmu saja, Bapak Arion Gunandhya yang terhormat.

"Ay, saya cek ke sana dulu ya?"

Tadinya Arion berjalan bersisian di sampingnya. Berhubung Arion harus mencari dan memastikan keberadaan orang yang akan menjemput mereka, kini Arion mendahului langkahnya.

Arion nampak sedang menelepon seseorang sementara Cessa duduk menunggu kabar.

He looks good.

Arion mengenakan kemeja lengan pendek putih tipis dari bahan yang nyaris transparan, sepertinya dari jenis bahan kain lembut, low rise jeans dan black Zegna suede sneakers. Dark gray sweatshirt yang tadi ia pakai di atas kemeja pendek, ia titipkan kepadanya. Kacamata hitamnya dilepaskan dan ia pegang sambil mengobrol di telepon. Arion memunggunginya, menyajikan pemandangan punggung dan bahunya yang cukup lebar. Membuat perutnya Cessa bergolak. Bukan karena lapar.

Cessa mengalihkan pandangan ketika Arion berjalan menuju tempat duduknya.

Samar, kulit perut sixpack-nya ketika Arion berhenti di hadapannya. Kain kemeja itu benar-benar tipis.

"Ayo," ajak Arion yang kini sedang mengemasi sweatshirt dan menitipkan kacamata ke dalam tasnya. Kata Arion, penjemput mereka sudah menunggu di Terminal 4, tempat yang disediakan untuk penjemput dengan kendaraan pribadi.

Mereka tidak menggunakan transportasi mobil umum seperti Grabcar. Mobil yang mereka tumpangi ini adalah mobil pribadi, sebuah SUV Navy milik Felix, teman Arion yang sudah lama bermukim di Singapura.

Seorang pria mengenakan kaus merah dan celana pendek serta berkacamata turun dari mobil yang berhenti di depan mereka.

Secara fisik, Felix terlihat seperti seseorang yang berasal dari Asia Timur. Kulitnya putih bersih, dengan sepasang mata yang mengingatkan Cessa pada salah satu member boygroup asal Korea. Jika tidak salah Seventeen. Tebakannya, jika bukan berasal dari Korea, mungkin dari Jepang. Atau RRT.

"How ya doin?" tanya Felix sambil memeluk Arion.

"I'm good." Arion lalu memperkenalkannya. "And this is Ayana. My girlfriend."

Cessa menjabat tangan Felix. Saat Felix membuka bagasi untuk memasukkan koper-koper mereka, Cessa menggunakan kesempatan itu untuk protes kepada Arion.

"Bapak kenapa sih harus bilang soal itu?"

"Emang kamu pacar saya kan?" jawabnya kalem sebelum membantu Felix mengatur barang-barang di bagasi. Arion kemudian duduk di kursi penumpang di depan.

Arion selalu menyebalkan setiap ia memberikan pertanyaan itu. Cessa tidak bisa menatap Arion berlama-lama tanpa ingin memberikan cubitan keras di lengannya.

Felix tidak perlu tahu status hubungan mereka. Bukan apa-apa. Ia hanya tidak mau Felix salah menyangka soal hubungannya dengan Arion. Felix itu kan teman Arion. Teman akrab lagi. Bagaimana kalau mereka sampai mengobrol tentang kehidupan pribadi Arion dan namanya ikut terseret di dalamnya? Laki-laki kalau mengobrol dengan sesamanya bisa jadi bakal seperti perempuan jika sedang menggosip, ya kan?

Semoga saja tidak.

Cessa mengenyakkan duduk di kursi yang cukup nyaman dan lembut. Wajahnya yang tersengat hawa panas berangsur-angsur terasa sejuk. Rasanya ingin tidur. Jika saja ia bisa menaikkan kaki ke kursi, lalu berbaring meluruskan punggung. Perasaan nyaman jadi penumpang business class terbawa sampai ke dalam mobil. Sama-sama sejuk, soalnya.

"Nama aslinya Kim Jae Jung, tapi sekarang lebih familiar dengan nama Felix," terang Arion saat ada jeda percakapan antara Arion dan Felix.

Oh. Pasti nama Korea deh kalau sudah pakai marga Kim. Berbeda dengan marga Lee, karena RRT dan negara bagiannya seperti Taiwan dan Hongkong, juga menggunakannya. Berdasarkan kursus singkat yang diberikan Nara pula, Cessa mengetahui jika marga Kim adalah marga yang paling banyak digunakan di Korea. Berikut marga-marga lain seperti Park, Kang, dan lain-lain.

"My mom is half American-Korean, and my dad is Korean." Felix memberi penjelasan singkat tentang asal keturunannya. "I lived and stayed here with all of my family."

"Your family have been in Korea before, right?"

"Yeah, they moved here at 2017."

Cessa hanya bisa mengangguk, tanpa mengeluarkan suara. Rasanya selalu seperti ini setiap bertemu orang asing.

"Arion was my classmate and my roommate in NTU. He's like my brother," lanjutnya.

NTU atau Nanyang Technology University. Salah satu universitas terbaik di Singapura. Di antara beberapa perguruan tinggi di Singapura, kampus tersebut juga cukup diminati calon mahasiswa dari Indonesia.

"He's smart, tho. But, when he wants to play, he plays."

"College life was so though. We need to have some fun la."

Dasar, emang.

Felix kini bekerja sebagai officer bank OCBC. Tempat kerjanya itu termasuk top 5 bank dengan aset terbesar di Singapura dan terbaik ke-2 se Asia Tenggara.

Salary-nya pasti banyak.

"Daem dare ballisomero yoheng gagiro heyo," ucap Felix, yang kini menukar bahasa Inggris ke bahasa Korea.

"Mora guyo?"1

Arion tahu bahasa Korea?

"Bali. Next month. Nawa hamke gago sipni."2

"Mianhae? Neo honja gani?"3

"Ne."4

"Museun nal?"5

"i-wol, sib-il."6

Ia tidak pernah mengetahui jika Arion bisa sedikit berbahasa Korea.

Ya, jika roommate-mu selama 4 tahun adalah orang Korea, mungkin kamu juga bisa fasih berbahasa Korea.

Cessa mendesah, mencoba menenangkan pikiran.

Bahkan kemampuan berbahasa Arion saja membuatnya minder.

Sebenarnya untuk apa ia berada di sana?

Sepanjang perjalanan, Arion dan Felix terlibat obrolan seru. Seperti antusiasme antara dua orang yang telah lama tidak bertemu. Sama seperti Arion, Felix pun diundang dalam acara pernikahan Zayn dan Syiana. Mereka mulai merencanakan waktu untuk berangkat ke acara yang digelar esok hari.

"See you tomorrow."

Cessa bisa mendengar bisik-bisik kedua sahabat itu.

"When will your turn?"

Arion hanya tertawa.

"I hope this is the last time you play with women, Arion. You deserved happiness. Take care of yourself and her, okay?"

Ekspresi Arion begitu datar.

Happiness?

"Ayana, see you tomorrow."

Cessa melambaikan tangan dan membalas senyum Felix yang kini sudah berada di belakang kemudi lagi.

"Are you always feeling sad, Pak?"

Arion mengabaikan pertanyaannya. Tapi, mata Arion menatap lurus kepadanya.

"Not anymore. Because you are here with me."

Cessa bergeming saat Arion menggenggam tangannya yang bebas. Tapi, Cessa buru-buru melepaskannya.

Ia tidak mau terbuai dengan ucapan Arion.

Masih terlalu siang untuk mulai bermimpi.

***

Arion memilih Bay suite untuk tempat mereka menginap selama dua malam. Sebuah kamar suite yang memiliki dua kamar tidur beserta fasilitas lengkap standar hotel berbintang lima.

Sebelumnya, Cessa sudah pernah ke Singapura empat tahun lalu dengan mengambil paket tur Singapura, Malaysia dan Thailand. Namun, belum pernah sekalipun ia merasakan menginap di hotel mewah tersebut.

Menginap di Marina Bay Sands adalah salah satu dari list travelling yang ingin ia wujudkan, yang ternyata justru kini bisa ia dapatkan tanpa direncanakan.

Dan segala ucapan Arion yang tidak bisa ia prediksi.

Please, Tuhan. Jaga hatiku jangan sampai kenapa-napa.

***

"Suka?"

Arion menemukan wajah Ayana sedang memandangi ranjang berukuran King di depannya.

"Kamu di kamar ini saja." Arion melanjutkan lagi, karena Ayana tidak juga bersuara.

"Bapak di kamar ini saja."

"Maksud kamu, tidur berdua?"

"Ya nggaklah, Pak."

Arion tertawa. Ayana mulai menyeret kopernya pergi. Hatinya mencelos.

Kok rasanya hampa melihat Ayana pergi sekalipun hanya ke kamar yang lain? Ia sudah siap-siap memeluk gadis itu, menahannya untuk tetap di sana.

"Ay," panggilnya. "Serius. Kamu saja yang di kamar ini."

"Saya kan hanya numpang, jadi biar saya di kamar lain."

Hhh. Apakah mereka akan berdebat hanya perkara kamar saja?

Baiklah. Ia yang mengalah. Arion akhirnya membiarkan Ayana masuk ke kamar sebelah. Kamar yang berukuran lebih kecil. Ia mengikuti Ayana, bermaksud ingin melihat kamar yang ditempatinya.

Namun, secepat itu juga Ayana menutup pintu.

"Ay." Arion mengetuk pintu. Ia hanya ingin memastikan Ayana merasa nyaman berada di sana.

Perlahan pintu terbuka. Saat ia memberi isyarat apakah ia boleh masuk, Ayana menatap ragu, sebelum akhirnya mundur dan membiarkannya masuk.

Lumayan.

Arion beranjak menuju jendela yang menyajikan pemandangan laut biru. Sementara di belakangnya, Ayana sedang mengeluarkan isi kopernya di atas tempat tidur.

"Kamu istirahat saja dulu. Sejam lagi kita makan siang."

Ayana hanya mengangguk.

Gadis itu mengenakan kaus hijau yang dilapisi kardigan dengan warna senada. Jins biru yang menutupi kakinya yang cukup jenjang. Rambutnya diikat menggunakan karet pengikat rambut kecil. Memerlihatkan kulit leher yang acapkali membuat gerah. Ia khawatir sesuatu di balik celananya mulai mengeras lagi.

Membayangkan menerkam gadis itu ke tempat tidur dan menciuminya hingga bernapas terengah-engah.

Ya Tuhan. Godaan macam apa ini?

Arion merasakan jakunnya naik turun lebih cepat saat Ayana melepaskan kardigannya.

"Ay, saya balik ke kamar saya saja. Sekarang." Arion mengucapkannya tanpa melihat Ayana lagi. Jantungnya berdebar.

Sesampai di kamar, ia meninju permukaan bed dan mengusap wajahnya.

Benar-benar ide yang buruk.

Berada di dekat Ayana semakin lama semakin berbahaya.

Mengapa ia jadi sefrustrasi ini? Gadis itu pakai pelet ya sampai ia jadi seperti ini?

Sudah pasti penyebabnya adalah perjalanan ini. Selama nyaris tiga jam, ia dan gadis itu seolah terikat satu sama lain. Ia bisa puas memandangi wajah gadis itu saat mereka di ruang tunggu bandara. Mengobrol dengannya di dalam pesawat meskipun dalam suasana canggung. Menatap dan tersenyum kepadanya seperti orang bodoh saat bellboy meninggalkan mereka berdua di dalam suite tersebut.

Jika bukan ketertarikan yang dalam, Arion tidak tahu lagi perasaan apa yang tengah ia rasakan.

Ia teringat malam saat ia dan Ayana lembur bersama di ruangannya. Betapa ia menahan diri untuk tidak menyentuh gadis itu. Ia menghalau segala keinginan kotornya dengan menenggelamkan diri pada tampilan grafik dan informasi pada layar, hasil print out laporan yang bertebaran di atas meja. Tanpa berani menatap wajah gadis itu berlama-lama.

Head over heels.

Apakah ia masih bisa menyangkalnya?

***

Cessa mengganti kaus dengan dress yang ia lapisi dengan kardigan karena lengannya yang cukup terbuka. Ia merapikan rambut, menyemprotkan parfum di tengkuk dan menenteng sepatu flat hitam yang tadi ia pakai.

Arion menunggu di depan suite. Ia pun sudah mengganti pakaiannya dengan kaus putih lengan panjang yang ia tarik ujung lengannya hingga sebatas siku. Jeansnya nyaris sama dengan yang ia pakai tadi. Bedanya, kali ini warna birunya sedikit lebih terang.

Ditambah parfum dengan aroma yang ia sukai.

Parfumnya ya. Bukan orangnya.

"Saya mau ngajak kamu makan siang di tempat yang agak jauhan dikit dari sini."

"Oke. Saya ikut Bapak saja."

Ia mengikuti saja ke mana Arion mengarahkan mereka untuk makan siang.

"Boleh saya minta kamu untuk nggak lagi panggil saya dengan sebutan Bapak?" tanya Arion. Mereka kini berada di dalam lift yang akan mengantarkan mereka ke lantai dasar.

"Saya udah terbiasa, Pak."

"Kalau kamu canggung panggil nama saya saja, kamu bisa tambahin di depan."

"I'll call you Oppa, then."

"Nggak suka."

Sejujurnya membayangkan memanggil Arion dengan sebutan oppa adalah ide yang buruk.

"Gimana kalau Akang? Atau Aa?"

Cessa tergelak sendiri.

"Saya bukan orang Sunda, Ayana. Berhubung darah Jawa saya masih sangat kental, saya setuju dipanggil dengan sebutan Mas."

Mas Arion? mesra sekali.

"Mas Arion?" gumam Cessa.

Rasanya aneh. Ia tidak bisa.

"Ooh i love to hear that." Arion tersenyum. "Ingat waktu outing? Suara seorang perempuan? I imagine that's you and me. Saya rasa, posisi woman on top juga bakal jadi favorit kamu."

Mas, aku lagi dong yang di atas.

Cessa lantas mengambil beberapa langkah ke belakang menjauhi posisi Arion.

Mereka hanya berdua di dalam lift.

Jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Lalu tiba-tiba Arion berbalik, mendekapnya di bagian pinggang dan menyandarkan punggungnya di dinding lift.

Cessa menutup mata kuat-kuat. Ia bisa mendengar jelas desahan napas Arion yang tidak beraturan. Napasnya terasa hangat dan beraroma peppermint. Entahlah jika aroma ini berasal dari essential oil atau mouthwash.

Please, don't.

"I'm hungry," gumaman Arion terdengar lirih.

Arion menatapnya dengan tatapan kelam. Ia bahkan sudah mendekatkan wajah untuk mengendus lehernya. Cessa hanya bisa menahan napas.

Ia tidak akan siap.

Ia merasakan bibir Arion bergesekan dengan kulit lehernya, memaksa Cessa menekukkan lehernya untuk memberikan akses bagi bibir Arion menjelajahi bagian tubuhnya yang sangat sensitif.

Lalu tiba-tiba berhenti. Cessa bahkan belum sempat menarik napas.

"Sorry." Arion menjauhkan wajahnya. "Saya hanya nggak mau kontrak ini berakhir terlalu cepat."

Cessa menahan tubuh Arion sebelum menjauhkan jarak. Ia menipiskan jarak di antara mereka dengan menyentuh lengan Arion kemudian meletakkan kedua telapak tangannya di permukaan dada Arion.

"You can kiss my forehead and my cheeks."

Arion menggeleng dan menjauhkan diri.

"Jangan pernah kasih saya peluang untuk nyium kamu. Karena saya pasti akan meminta yang lebih dari itu."

Cessa merasakan kepalanya mengangguk. Tidak berapa lama, Arion kembali menghadap ke depan seperti posisi semula.

"Lupain."

Iya. Lupakan saja.

***

Mereka sepakat melupakan kejadian di dalam lift.

Anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa. Seperti perkataan Arion.

Ia berusaha menuruti permintaan Arion dan pikirannya sendiri.

Tarik napas dalam-dalam. Dengan begitu, ia rasa ia bisa melupakannya.

Ia hanya butuh waktu untuk menata kembali perasaannya.

Akan jauh lebih baik jika ia melarikan pikirannya pada kegiatan yang lebih baik. Menikmati keindahan di sekelilingnya sambil memikirkan menu makan siang apa yang ingin ia makan nanti.

Arion mengajak mereka makan siang di salah satu restoran di sekitar teluk Marina.

Noosh Noodle Bar & Grill.

Arion memilih restoran itu karena pilihan menu masakan Asia yang halal di sana cukup banyak. Di sekitar situ juga tersedia tempat ibadah jika Cessa ingin beribadah setelah makan siang.

Arion memesan appetizer berupa calamari rings dan chicken floss ramen crackers main course Dome filet mignon surf and truf, sedangkan ia memesan sambal bali chicken cutlet. Untuk dessert, Arion memilihkan sliced strawberry cheese cake dan blueberry cheese cake. Untuk minuman, creamy strawberry punch dan The Esplanade blue lagoon pineapple. Tidak ketinggalan air mineral dingin.

Sangat banyak.

Mereka benar-benar akan makan besar.

Saat Cessa menanyakan kepada Arion mengapa memesan banyak makanan, ia hanya mengatakan kalau ia sangat lapar. Cessa mengusulkan lebih baik dessert-nya take away saja karena bisa lebih tahan lama untuk dibawa pulang. Lagipula, Cessa tidak yakin perut mereka akan sanggup sampai bagian makanan penutup. Daripada memaksakan diri memakan semuanya atau malah akan terkesan mubazir nantinya. Arion hanya mengiyakan saja.

"Kamu tau nggak kalau waktu Singapura sama dengan waktu di Bali?" tanya Arion ketika mereka mulai menikmati hidangan utama. Dome di atas piringnya mulai ia susutkan sedikit demi sedikit. Kelihatannya ia benar-benar lapar.

Cessa jadi merasa Arion malah terlihat manusiawi saat sedang lapar begini.

"Eh?"

Cessa menyadari kebingungannya, tetapi ia lekas menguasai diri.

"Nggak," ucapnya sambil menggeleng. "Kenapa?"

"Nggak. Hanya iseng lihat di Google."

Oke. Obrolan random nomor 1.

Pandangannya terarah ke jendela. Sambil mengunyah pelan makanan, ia dan Arion kembali mengobrol. Kini Arion terlihat lebih santai mencomot potongan-potongan kalamari yang ia dip ke saus putih dan sambal berwarna merah.

Bahkan cara Arion menjilati saus putih di sudut bibirnya pun terlihat sangat classy.

Ia makan tergesa, tanpa menanggalkan table manner-nya.

"Nikmati saja liburnya. Balik ke Jakarta juga nggak bakal gini lagi."

Sebenarnya, ia masih merasa sungkan menikmati liburan singkat ini. Seharusnya ia membenci liburan ini.

Namun, keindahan yang ia nikmati, seolah membuyarkan segalanya. Seperti, lupakan dengan siapa kamu duduk sekarang. Nikmati saja, tidak usah memedulikannya.

Di tempat mereka tengah makan siang kali ini, pemandangan yang langsung mengarah ke teluk sangat memanjakan mata. Meskipun matahari cukup terik siang itu sama sekali tidak mengurangi keindahan pemandangan.

"Bapak suka banget strawberry ya?"

"Ya, karena nggak bisa makan cokelat, jadi saya makan strawberry saja." Arion menjawab sambil menyeruput creamy strawberry punch. The Esplanade yang ia coba rasanya enak. Hanya saja, kok minuman Arion terlihat lebih menggiurkan? Potongan-potongan kecil strawberry-nya itu lho. Rasanya pasti segar.

Obrolan random nomor dua.

Arion menyadari tatapannya pada gelas yang dipegangnya. Arion lantas menukar minuman mereka dengan mengangkat ke dua-duanya dan mulai menyesap The Esplanade.

"Ada nenasnya ya?" ujarnya.

Bisa banget ya? Minuman mereka ditukar, lalu sedotan yang ia pake tidak ditukar.

"Indirect kiss."

Cessa meringis dalam hati mendengar gumaman Arion barusan.

"Pakai saja sedotannya."

"Nggak. Makasih." Cessa memilih minum air mineral dingin saja.

Arion terkekeh. "Saya nggak bisa habisin semuanya. Katanya nggak boleh mubazir?"

Cessa mengambil minuman Arion dan meminumnya tanpa sedotan.

Indirect kiss apaan? Omong kosong banget.

***

1.Aku akan ke Bali bulan depan

2.Apa yang kau katakan.

3.Maaf. Kamu pergi sendiri

4.Ya.

5. Kapan? Tanggal berapa?

6.10 Februari

                                                 ***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro