ARES dan TUNTUTANNYA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Merasa lebih baik sekarang?" tanya Reihan setelah Eza mereda tangisnya.

Eza menunduk, hari sudah malam, tetapi mereka tidak hanya berdua. Ada Bastian yang berada tidak jauh dari sana. Bastian kembali mendampingi Reihan sejak pulang dari London.

"Kenapa selalu Mas Reihan yang dateng? Padahal aku nggak bunyiin sirine buat dateng." Eza mencoba bercanda di tengah kesedihannya. Senyum itu malah tampak sekali dipaksakan.

Reihan seringkali datang saat dia sendiri, nangis, dan butuh seseorang. Kenapa bukan Rahman? Atau Tama? Sebagai Ayah sepertinya tidak ada yang bisa dilakukannya untuk Eza. Eza menutup area lamunannya, dan mengalihkan ke hal lain.

"Za, tawaran saya masih berlaku. Bukan seperti yang kamu pikirin, tetapi saya beneran ingin jaga kamu. Kalau kita sudah halal, saya lebih leluasa melindungi kamu."

Tidak semudah itu. Eza menyadari terlalu besar perbedaan mereka. Kalaupun sekarang dia merasa lebih dekat bukan lantas dengan mudah ke arah sana. Apalagi persoalan Tama cukup menguras otak dan fisiknya.

"Mas, hidupku nggak semudah bilang iya saat dilamar pria tampan sepertimu. Fokusku sekarang ke Bunda. Aku sudah lulus, dan harus lanjut bahagiain beliau, kan?"

Reihan paham, Eza butuh pekerjaan. Kalau Reihan yang bantu, besar kemungkinan akan ditolak. Reihan harus melakukan sesuatu. Setelah tahu rencana Eza seperti apa, dan apa yang dia inginkan, Reihan akan mengaturnya diam-diam.

Bastian mendekat dan membisikkan sesuatu pada Reihan.

"Ya, kita pulang sekarang!" respon Reihan pelan.

Eza menoleh. "Mau pulang?"

Reihan mengangguk dengan ekspresi enggan pergi.

"Udah. Aku bukan anak kecil. Nangis dan masa kritis sedih udah lewat. Aku akan baik-baik, aja!" Eza meyakinkan dengan menyunggingkan senyumnya.

Reihan beranjak dari halaman rumah Eza, sempat berbalik meminta Eza mengunci pintu dan masuk. Sesampainya dalam mobil Reihan tiba-tiba panik. Sontak Bastian menghentikan mobil. Untung jalanan sepi.

"Ada apa, Rei? Ada yang ketinggalan?"

"Bas, malam begini ada florist buka, nggak?"

"Apa? Nggak salah denger, nih?" Bastian memastikan pendengarannya tidak salah.

"Gue lupa ngucapin selamat ke Eza. Tolol banget, gue!"

Bastian menghela napas lega. Dia pikir hal darurat apa, sampai membuat bosnya kelabakan.

"Saya kira apaan. Besok aja, Rei. Jam segini udah tutup semua."

Bastian menginjak pedal gas lagi. Mobil membelah jalanan kota Semarang, menuju rumahnya di area Semarang Atas. Reihan menatap gemerlap lampu dari balkon kamarnya. View yang dia pilih saat Ares—papanya—menyuruhnya memilih saat pertama kali pindah ke rumah itu. Dan dia memilih bagian yang view-nya bisa melihat gemerlap lampu seperti sekarang.

Sedangkan kamar sebelah yang dibiarkan kosong, hingga kini pun masih kosong. Kamar Indira. Renungan Reihan jauh menembus waktu, hingga terbayang lagi masa lalu di benaknya.

Usianya saat itu 18 tahun. Dia baru lulus dan ingin meneruskan kuliah. Ares ingin Reihan melanjutkan perusahaannya suatu hari nanti. Bertentangan dengan keinginan Reihan yang ingin mengambil Fakultas Sastra.

Keinginan Ares adalah segalanya di rumah dan perusahaan. Reihan akhirnya mengalah demi Dewi. Tuntutan Ares tidak sampai di situ. Beruntung Reihan selalu dapat nilai tinggi. Dia tidak kesulitan saat harus memenuhi apa yang diinginkan papanya.

Tetapi ada satu hal yang masih mengganjal pikiran Reihan. Soal Indira. Dia pergi dari rumah setelah bertengkar hebat dengan Dewi. Usianya masih kecil dan dia menangis saat tantenya pergi. Reihan lumayan dekat dengan Indira, karena sering menemaninya bermain atau menonton kartun di saluran TV kabel.

Samar ingatannya membuka kenangan, kalau pertengkaran itu karena Ares. Dulu hal itu bukanlah urusannya. Tetapi sekarang masalah itu menjadi masalahnya karena menyangkut Eza.

Diihatnya jam di layar ponselnya, sudah sangat larut, tetapi matanya masih terjaga. Pada awalnya Reihan mendekati Eza, karena kesal dengan Ares.

Bawahan Ares yang sering memesan gudeg di Ratri, sedang sakit waktu itu. Reihan menolak berangkat ke London untuk mengurus bisnis di sana. Ares malah mengajukan pilihan antara London atau dijodohkan dengan gadis pilihan Ares.

Reihan bilang kalau dia sudah memiliki pacar. Bahkan serius akan menikah. Saat mengatakan hal ini Reihan asal bicara. Bahkan dia belum pernah pacaran sama sekali.

Dan saat mendengar Eza bertanya apakah dirinya sudah punya istri, ide itu muncul. Dia salah waktu itu, karena emosi, dengan mudahnya melamar perempuan tanpa memberi kesempatan saling mengenal dulu. Tentu saja Eza menolak dan menganggap dia gila.

Lalu entah bagaimana, semesta seperti membawanya makin dekat dengan Eza tanpa diminta. Saat rasa itu berubah jadi nyata, bertepatan dengan keberangkatan Ares ke London. Dan perjodohan juga menyingkir sejenak. Semoga saat pulang nanti dia lupa.

Reihan akhirnya tertidur di kursi malas. Kesadarannya terpanggil dengan aroma kopi. Matanya terbuka, dilihatnya Bastian sudah membawakan sarapan untuknya.

"Sakit nggak badannya tidur di sini? Mau gue reschedule jadwal hari ini, nggak? Siapa tahu mau rehat sehari." Bastian menyerahkan kopi Reihan lalu menuangkan lagi ke cangkirnya. Roti bakar dan nasi goreng juga baru saja diantar oleh asisten rumah tangga Reihan.

"Semalam nggak bisa tidur. Kepikiran banyak hal. Kadang gue pengen jadi orang biasa, aja. Sepertinya mereka bebas melakukan apa yang mereka mau. Tanpa harus dipenuhi tuntutan dari orang lain."

"Bersyukur, Rei! Apa yang lo lihat baik, belum tentu baik buat lo. Lo juga nggak tahu, mungkin saja mereka itu sedang banyak utang, banyak masalah. Hanya saja nggak ditunjukkin ke orang. Bisa saja, kan?" Bastian memberikan seporsi nasi goreng pada Reihan.

" Lo nggak makan?" tanya Reihan sebelum menyuapkan sesendok ke mulutnya.

"Gue udah makan di rumah. Istri gue masak dulu sebelum kami berangkat kerja. Makanya gue cuma request roti bakar. Lo mau?"

Reihan menggeleng. Dia sudah cukup kenyang dengan seporsi nasi goreng. Setelah sarapan habis, Reihan langsung mandi. Hari ini ada tiga meeting dengan klien penting.

Bastian membereskan piring dan gelas kotor bekas sarapan tadi. Membawa ke bawah dan menunggu Reihan sambil menyiapkan untuk presentasi nanti.

Dalam perjalanan menuju tempat meeting, Reihan menyempatkan berhenti ke toko bunga. Dia harus bayar lunas niatnya. Semoga Eza suka.

Meeting Reihan selama ini selalu berhasil. Ares yang mengawasi dari London merasa bangga. Ada rasa bersalah saat dirinya terlalu banyak menuntut dan mengatur putranya. Tetapi itu dulu, sekarang Reihan tumbuh jadi leader yang tangguh.

Pilihan Ares ke London karena dua hal. Menghindari Indira dan dia ingin Dewi berhenti mencurigainya. Dewi tahu pasti bisnis keluarga di London sangat menyita waktu. Jadi dia hanya punya waktu untuk makan dan istirahat. Hasilnya kepercayaan Dewi kembali padanya. Dan dia sudah menjadwalkan untuk pulang ke anah air. Perusahaan di sana sudah cukup stabil untuk diawasi dari jauh. Rencananya Reihan yang akan mengurusnya nanti. Kali ini Ares akan menanyakannya lebih dulu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro