PERLAHAN MENDEKAT

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Eza menunggu jawaban dari lamaran pekerjaan yang dia kirim ke beberapa tempat. Warung gudeg makin ramai beberapa waktu terakhir. Pesanan dan yang datang makan di tempat juga bertambah. Ratri sempat berpikir untuk mencari tempat yang lebih luas. Tetaoi Eza mencegahnya, mereka akan mulai daru awal lagi kalau pindah tempat.

"Bun, kalau uang kita cukup, kenapa nggak kita beli aja, warung itu. Nanti aku coba ngomong sama Puput. Gimana?"

Ratri setuju. Dia rasa kalau untuk membeli warung tabungannya sudah cukup. Lagipula keluarga Puput jarang memakai tempat itu. Sayang kalau tidak dipakai.

"Permisi! Dengan Mbak Eza?" Tukang paket datang membawa buket bunga mawar lumayan besar.

"Ya, saya. Ini bunga untuk saya?"

"Iya, Mbak. Tolong tanda tangan di sini ya, Mbak?"

Eza mengangguk lalu membawa hadiah itu ke kamar. Diambilnya ponsel di atas meja belajar, lalu mengirimkan pesan ucapan terima kasih. Tak lama ponsel itu berdering dan tampak nama Reihan.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam. Makasih banyak, Mas. Sibuk, ya. Jangan terlalu lelah bekerjanya. Jalan-jalan gih, sama Bastian."

"Dih, dia kan udah ada yang diajak. Kalo ngajak saya, bisa-bisa istrinya ngamuk dan mikir yang bukan-bukan."

Mereka sama-sama tertawa lepas malam itu. Reihan sangat merindukan suara itu. Dia merindukan perempuan yang sekarang pasti sedang memeluk buket darinya. Berharap dulu setelah ini dirinya yang akan dipeluk Eza.

"Sama-sama. Kamu suka? Saya nggak tahu kamu sukanya bunga apa, jadi random aja, semua orang kan suka mawar."

"Suka banget! Bunga mawarnya cantik."

"Oke, deh! Duh, maaf, ya, saya harus meeting lagi. Padahal pengen banget ketemu, makan gudeg."

Bastian yang ada di samping Reihan, geleng-geleng kepala. Atasan yang biasa tegas, cool di depan karyawan dan klien, sekarang merajuk di depan perempuan. Cinta memang bisa mengubah segala hal, ya.

Eza senyum-senyum sendiri mendengar Reihan jadi berubah 180°. Apa yang dirasakannya sekarang? Bahagiakah? Tersanjungkah? Karena ada pria yang begitu mencintai dirinya. Begitu merindukannya.

"Besok kita ketemu ya, Mas? Gimana ada waktu?"

"Serius? Beneran? Saya nggak salah denger, kan?" Reihan sontak bangun dari duduknya. Berkas yang di dekatnya nyaris terjatuh. Untung Bastian sigap menangkap semuanya.

"InsyaAllah, Mas. Besok kabari aja, mau ketemu di mana, ya?"

Setelah mengucap salam dan Eza memutus sambungan telepon, Reihan salah tingkah. Dia masih tidak percaya dengan apa yang baru Eza katakan.

"Udah, ya! Kita meeting sekarang!" Bastian mendorong Reihan dengan penuh semangat. Dia ikut bahagia melihat Reihan seperti inj. Banyak senyum, tertawa, dan presentasi yang dilakukan mengundang decak kagum klien. Sedang galau saja dia berhasil, apalagi bahagia.

Hari ini semua kerja sama sukses. Proyek besar menunggu dengan nilai yang tidak main-main. Berita ini sampai juga ke telinga Ares. Dia sedang mempersiapkan kepulangannya.

"Terima kasih, Pak Tio. Tolong awasi dan bantu Reihan terus."

"Baik, Pak!"

Pak Tio menutup teleponnya. Dia tidak berani melapor soal kedekatan Reihan dengan Eza. Gadis biasa, yang ibunya berjualan gudeg. Sedangkan ayahnya tidak jelas ada di mana. Dia tidak ingin terjadi keributan saat semua sudah kondusif.

Pak Tio melihat Eza gadis yang baik dan pintar. Kalau dia punya anak laki-laki yang siap menikah, dia tidak keberatan Eza jadi menantunya. Tetapi Ares, bosnya itu selalu punya ukuran tertentu untuk tiap hal. Dia berharap, semoga demi kebahagiaan putra semata wayangnya, Ares mau mengalah soal pilihan hati ini.

***

Pagi itu ponsel Eza berdering berkali-kali, tetapi tak juga diangkat. Eza sedang membantu bundanya mengemas gudeg yang mau diambil pemesan.

Pemesan datang tepat waktu. Semua sudah siap dibawa dengan aman. Eza membuat kemasan khusus untuk edisi take away dan pesan dalam partai  besar. Hari yang melelahkan, tetapi Eza tampak cantik lagi setelah mandi dan memakai baru yang diberikan Bastian tadi pagi-pagi sekali.

Mereka janji bertemu untuk makan siang. Baju gamis warna pink dengan pashmina warna senada, membuatnya makin manis dan bersinar. Bahkan Eza tidak tahu mereka mau ke mana. Bastian sudah menjemput sekitar jam sebelas siang.

"Reihan sudah menunggu, Mbak. Kita berangkat sekarang, ya?"

Eza tidak banyak bertanya, Bastian pasti sudah diberi mandat untuk tutup mulut. Sepanjang perjalanan Eza berusaha meyakinkan hatinya lagi. Tentang Rahman belum jelas statusnya seperti apa, tetapi dia sudah langsung memutuskan. Adilkah ini? Eza berada di tengah-tengah persimpangan, yang membingungkan dengan pilihan yang resikonya sama. Akan ada yang tersakiti. Dia hanya realistis dan bertindak setelah berdoa juga.

Mobil berhenti di sebuah restoran mewah. Di depan sudah disambut beberapa pelayan kafe yang mengantarnya ke tempat Reihan menunggu. Bastian langsung meluncur pulang. Reihan sudah bawa mobil sendiri.

Eza sering lihat hal seperti ini di film atau drama korea. Makan di restoran mahal dengan si pria yang sudah menyewa hari itu. Jadi praktis restoran hanya melayani mereka berdua.

Dari jauh Reihan sedang berdiri membelakangi dirinya. Dia sedang menatap taman air mancur dengan bermacam aneka bunga yang harganya tidak receh.

"Pak Reihan! Teman Anda sudah datang." Pelayan langsungenyinglir dari sana. Bersiap menyajikan.hidangan pembuka. Dapur restoran sudah ramai dan heboh saat tahu cerita tamu kelas VVIP mereka.

Reihan berbalik dan menatap tak berkedip. Eza tampil sangat beda. Warna pink yang jarang dipakai, sangat berhasil menarik perhatian.

"Duduk, Za!" Ucapan itu saja terbata. Reihan berdeham lalu menarik salah satu kursi untuk Eza. Menyusul dirinya duduk tidak jauh dari sang pujaan hati.

Makanan disajikan hingga makanan penutup. Semua lancar, sempat beberapa kali Reihan membantu Eza memotong steiknya. Setelah selesai, barulah Reihan mengajak Eza menuju area privat untuk bicara. Saat itu pula restoran membuka kembali untuk umum.

"Saya masih nggak percaya kita ada di sini. Rencana awal kan, pengen makan gudeg di rumah kamu. Ternyata pesenan hari ini juga banyak, ya? Ikut seneng usaha Bunda lancar."

Eza mengangguk sambil membenahi posisi hijab yang melambai-lambai terkena angin.

"Iya. Aku jadi nggak bosen sambil nunggu jawaban dari lamaranku."

"Oiya, kamu sudah mulai kirim, ya? Boleh tahu ke mana aja, kirimnya?" Ini saatnya, mengumpulkan informasi, dan berusaha membantu diam-diam.

Reihan akhirnya tahu tiga tempat Eza mengirimkan surat lamaran pekerjaannya. Dia menyerahkan ponsel ke Eza lagi. Tiga perusahaan dengan kriteria calon pelamar harus bisa minimal dua bahasa. Eza masuk kriteria. Dan tiga perusahaan itu Reihan mengenal pemiliknya. Hanya sedikit bantuan, toh, tetap Eza yang berusaha.

"Za, apa yang membuat kamu tiba-tiba mengajak saya bertemu?" Reihan memang harus tahu alasannya. Ya, meskipun awalnya dia juga merasa nggak penting. Namun, pada akhirnya dia penasaran alasan di balik rasa.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro