IJINKAN AKU RAPUH

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Perempuan itu tidak asing di mata Eza. Eza menjatuhkan ijazahnya saat ingat kalau perempuan yang bersama Rahman, adalah orang yang sama dengan di foto. Selembar foto yang disimpan Ratri di lemari pakaiannya.

"Za, ada apa?" Ratri jadi ikut khawatir melihat wajah putrinya yang pucat.

Fadil yang sedang mengambil video dan akan mengakhiri, jadi urung karena melihat ada yang tidak beres.

"Bun, coba lihat bangku di sebelah Kak Rahman. Bunda masih ingat Kak Rahman, kan? Bunda kenal perempuan itu?"

Arah pandang Ratri mengarah sesuai petunjuk Eza. Awalnya Ratri susah mengenali, makin lama matanya membulat dan gugup. Ratri menatap Eza, tatapannya menghujam jauh ke dalam hati putrinya.

"Sudah sejauh apa kamu tahu, Za?" Pertanyaan Ratri tentu saja tidak sepatutnya dijawab sekarang.

"Bun, kita bicara nanti, ya. Bunda tenang dulu." Eza membuka botol air mineral yang disediakan panitia. Lalu memberikan pada Ratri.

Ekspresi Ratri membuktikan kalau perempuan di samping Rahman ada hubungan dengan hidupnya. Entah dalam bentuk apa, musuh, sahabat, atau tidak keduanya. Yang pasti Ratri mengenal Tante Indira. Eza juga teringat lagi kejadian di mall waktu itu. Iya, Eza sangat yakin mereka satu orang yang sama.

Selama ini Eza hanya berkomunikasi dengan Rahman hanya di kampus. Selama ini Eza hanya mengagumi dari jauh, tanpa ingin tahu siapa keluarganya. Apalagi fakultas mereka berbeda, bertemu pun karena kegiatan masjid kampus. Dan kegiatan Ramadhan nanti praktis statusnya sudah jadi alumni. Whatever!

Yang pasti satu fakta yang kemungkinan besar benar adalah, Rahman bukan orang lain bagi Eza. Kenyataan yang bahkan Eza tidak pernah terbayang sama sekali. Sedih, marah, dan tidak terima, tapi siapa dia? Dirinya tidak punya hak mengatur apa yang akan terjadi dalam hidupnya. Tuhan sudah mengatur semuanya.

Sepanjang sisa acara, Eza berbicara pada dirinya sendiri. Bermaksud untuk menenangkan kekalutan hati, karena bundanya membutuhkan dirinya yang kuat.

***

Rahman yang melihat Eza sedang berjalan pulang, segera mengejarnya.

"Za! Eza!" Rahman terlambat, Eza sudah masuk ke taksi online bersama ibunya.

Niatnya tadi dia ingin mengenalkan Eza pada ibunya. Tetapi sepertinya mereka sedang terburu-buru.

"Mana gadis yang mau dikenalin, Man?" Indira mendekat setelah tak ada kabar sejak pamit mau memperkenalkan gadis yang disukai.

"Sudah pulang sama bundanya, Ma. Mungkin lagi ada perlu, soalnya buru-buru banget tadi."

"Ya udah, mungkin lain kali kita jadwal ulang ketemu. Kita pulang sekarang atau kamu masih mau tinggal?" Indira sudah ada janji bertemu orang lain.

"Mama ada janji sama klien lagi?" Rahman sampai bosan menanyakan hal yang sama. Sudah balik ke Indonesia tetapi masih susah ketemu.

"Iya. Outlet makanan Padang kita akan dibuka di tempat baru. Jadi Mama harus istirahat cepet."

Rahman mengangguk. Dia akan pulang bersama Indira. Selama ini dia merasa seperti tidak punya orang tua. Papanya jarang pulang, mamanya juga. Rahman besar di pesantren, Indira seperti sengaja menitipkan Rahman di sana. Entah apa maksudnya.

Masa lalu Rahman yang tidak sebahagia anak-anak lain, juga dialami Eza. Tetapi Eza masih bisa bersama Ratri, ibu kandungnya. Sedangkan Rahman tidak keduanya. Apa ini karena satu orang bernama Tama? Apa reaksi Rahman andai dia tahu kalau ada kemungkinan mereka adalah saudara se-ayah? Tidak ada yang tahu.

Taksi yang membawa Eza dan Ratri sampai di rumah. Ratri tidak mah menunggu lagi. Mereka belum berganti baju, dan Ratri langsung mengajak Eza bicara.

"Za, bilang sama Bunda, apa saja yang kamu tahu tentang Ayah?"

Eza melepas baju toga lalu minum segelas air. Dia juga mengisi satu gelas air lagi untuk Ratri. Mereka butuh air untuk berpikir jernih dan lebih tenang.

"Bun, aku pernah ketemu Ayah dan Tante Indira di mall. Mereka bukan seperti teman lagi. Terlalu mesra kalau disebut saudara." Kalimat Eza berhenti. Dia melihat reaksi Ratri lebih dulu. Dia tidak mau membuat Ratri shock.

"Lalu apa lagi?"

"Bunda baik-baik, aja?" Eza harus memastikan semuanya baik, sehingga semua pertanyaannya bisa terjawab.

"Bunda nggak apa-apa, Za. Sekarang kamu cerita semuanya, jadi Bunda bisa jelasin sisanya."

Eza lega, Ratri tampak sudah siap dengan saat ini. Seharusnya Ratri cerita lebih awal. Toh, dirinya kan sudah dewasa. Kalau seperti ini terjadi waktu dulu, mungkin Eza akan bereaksi berbeda.

"Bun, aku hanya sebatas tahu itu. Lalu nggak sengaja juga nemuin foto di lemari Bunda. Foto itu, Ayah sama siapa, Bun? Apa benar sama Tante Indira? Lalu anak kecil itu, siapa?"

Ratri mengangguk.
"Iya, dia Tante Indira. Anak itu anak Tante Indira dan dia mengaku itu anaknya Ayah. Tetapi Ayah mengelak. Entah mana yang benar, Bunda nggak mau tahu."

Membuka luka lama pasti sangat tidak mudah dan menyakitkan. Ratri sadar saat ini pasti akan terjadi, karena Eza berhak tahu kenyataannya seperti apa. Tidak ada yang menjelekkan atau dijelekkan. Semua fakta yang terjadi. Bahkan sejak awal Ratri selalu bilang Tama tetaplah orang tua. Sebesar apa pun kesalahannya.

"Ya sudah. Cukup, Bun! Kita biarin, aja Ayah mau apa. Yang pasti kita harus siap berjuang kalau sampai Ayah menuntut Bunda dan ingin membawaku."

Lagi-lagi Ratri menangis. Hanya itu yang dia tahu dan pastikan tidak ada yang kurang. Tama yang dulu memang berubah total sekarang.

"Bunda istirahat, usahakan bisa tidur. Jangan berpikir soal ini lagi. Bunda mau lakuin itu, kan?"

Ratri mengangguk patuh. Dia memang mending tidur sejenak. Langkahnya perlahan menuju kamar.

Disusul Eza juga masuk ke kamarnya. Perasaannya sekarang, sulit dijelaskan. Semuanya menumpuk jadi satu dan tidak bisa keluar dari hatinya. Dadanya sesak. Dia harus keluar kamar. Tempat favorit halaman samping rumahnya menjadi tujuan satu-satunya.

Eza menunduk sambil meluapkan semua rasa yang menderanya. Pria yang dia cintai diam-diam, ternyata mungkin saudaranya. Semua karena ulah ayahnya. Eza ber-istigfar berkali-kali. Benci itu begitu kencang mendesak hatinya. Dia tahu Tama adalah ayahnya, tetapi kelakuannya membuat Eza hilang akal.

Eza berhenti berpikir. Bibirnya mengucap istigfar terus menerus. Mohon ampun pada Yang Maha Cinta supaya meluluskan dirinya dari rasa tidak nyaman ini. Mengangkatnya dari situasi sekarang.

Ponselnya bergetar tepat saat tangis mereda dan hatinya lebih tenang.

"Za, kamu bisa ketemu saya sebentar? "

Eza melihat jam di pergelangan tangannya. Memastikan Reihan yang meneleponnya. Hal ini kedua kali Reihan menghubunginya malam-malam saat Eza terpuruk.

"Assalamualaikum, Mas!"

"Waalaikumussalam. Kamu diam di tempat, jangan ke mana-mana!"

Telepon masih tersambung, hingga sebuah tangan mengusap pundaknya lembut. Eza berbalik.

"Saya di sini buat kamu. Kamu bisa nangis sambil bersandar di bahu saya."

Tatapan lembut, tulus dan penuh perhatian meruntuhkan pertahanan Eza. Tangisnya pecah seketika.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro