WISUDA DAN PILIHAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Reihan bertahan di posisinya. Adegan saling memeluk itu cukup menarik perhatian banyak orang. Sayang, Reihan tidak bisa membantu saat tahu Eza tampak tidak nyaman dengan itu.

Setelah Eza pergi, Reihan baru keluar dari persembunyian. Tama sendirian, tidak bersama Tante Indira. Informasi dari Dewi benar, Tama buka outlet makanan Padang. Tetapi tidak ada Tante Indira di sini. Justru Tama yang tempak mengatur dua pegawainya.

Reihan tidak mungkin mengawasi terus di sana. Dia ada jadwal meeting satu jam lagi. Benar saja, baru akan melangkah keluar, ponselnya berbunyi. Telepon dari asisten pribadinya masuk. Dia tidak akan berhenti menelpon, sebelum ada kabar dari bosnya.

"Ya, Bas. Saya lagi jalan ke mobil. Sebentar lagi nyetir, jadi jangan nelepon lagi."

"Baik, Pak!" Bima tidak bicara lagi, bahkan dia memutus sambungan lebih dulu.

Reihan sudah biasa menghadapi Bastian yang seperti itu. Bastian memang terkadang keterlaluan, tetapi Reihan selalu terbantu karena dia. Beberapa waktu Bastian harus ikut ke London mendampingi papanya. Dan baru dua hari Bastian kembali ke kantor.

Reihan melajukan mobilnya perlahan. Sampai di dekat halte bis trans, Reihan melihat Eza di sana.

Eza sendiri sedang fokus pada ponselnya, seperti sedang mengirim pesan ke seseorang. Tak lama ponsel Reihan berbunyi. Tanpa membalas pesan itu Reihan turun dari mobil dan menghampiri gadisnya.

"Kamu mau ketemu saya?"

Eza sontak menoleh, dia terlalu fokus menunggu balasan dari Reihan. Ternyata orangnya langsung datang.

"Mas, tadi saya ketemu ...." Suara Eza terbata, dia tak sanggup melanjutkan. Kejadian tadi membutuhkan keberanian dan kekuatan lebih.

"Saya tahu. Kita pergi dari sini." Reihan mengusap kepala Eza lembut. Tatapannya tak lepas menatap Eza, memastikan dia baik-baik saja, sampai masuk ke mobil.

Momen seperti ini yang sempat Eza bertanya-tanya, apakah Rahman juga akan lakukan hal yang sama? Tetapi dia tidak tahu sama sekali tentang masalahnya. Sejak awal justru Reihan yang entah kebetulan atau takdir, selalu ada saat masalah keluarganya memasuki babak baru.

Eza menepuk jidatnya sendiri, demi mengenyahkan Rahman dari otaknya. Paling tidak untuk sekarang. Fokusnya harus mencari solusi untuk menghalangi niat Tama yang ingin memisahkan dirinya dengan Ratri.

"Kepalanya kenapa? Kok, dipukul, gitu? Pusing? Kita ke rumah sakit, ya?" Reihan nyaris berbelok menuju rumah sakit yang baru saja terlewat.

"Mas, aku nggak apa-apa, kok!" Eza memegang lengan Reihan untuk menahanya ke rumah sakit.

Reihan menatap Eza, sungguh dia sangat menyayangi gadis di depannya. Tak terkira rasa ingin menjaga sepenuhnya. Tetapi tak semudah yang dibayangkan.

"Kita nggak perlu ke rumah sakit. Aku cuma mau pulang. Bunda pasti sudah nungguin!" Eza memang harus pulang dan memastikan semua hal di rumah juga baik-baik.

Reihan mengangguk lalu melajukan mobil lagi. Setelah diamati sekilas Eza memang tidak tampak sakit. Kejadian tadi dan semua masalah yang terjadi tidak mudah. Reihan juga lelah karena semua ini menyangkut dirinya.

"Za, masalah kamu memang berat. Dan saya tahu kamu pasti bisa melewatinya. Tapi kalau kamu perlu orang untuk cerita, saya ada buat kamu."

Semua yng dikatakan Reihan sangat menenngkan Eza. Dia merasa terlindungi dan dijaga. Kenyamanan ini berbeda dengan rasa nyaman yang dirasakan saat bersama Rahman.

Eza seketika merasa buruk, seolah-olah dia memberikan harapan pada dua pria sekalligus. Padahal bukan itu maksudnya. Dia sendiri bingung, mana cinta yang sesungguhnya. Dia harus bisa memilih dan memilah rasa yang benar-benar disebut cinta untuk pasangan.

"Hanya dengan sholat istikharah, kamu bisa menemukan ketenangan. Allah akan memberikan petunjuk menurut versi-Nya." Nasehat dari seseorang di masjid tadi membuat Eza merenung dan akan melakukannya.

Persoalan jodoh masih bisa menunggu. Sebentar lagi wisuda, Eza khawatir akankah Tama nekat datang ke acaranya? Kalau iya apa yang harus dilakukannya?

Eza tidak mau acara bersejarah itu jadi momen memalukan gara-gara ayahnya. Apalagi kalau sampai wanita itu juga datang. Tidak mungkin merahasiakan acara besar itu, Tama pasti tahu.

***

"Kenapa?" Reihan tiba-tiba saja ingin menelpon Eza sebelum tidur.

Malam memang hampir larut, tetapi Eza belum bisa memejamkan mata. Besok adalah hari wisudanya. Bebeerapa hari mempersiapkan kebaya dan baju untuk Ratri, supaya terlihat senada warnanya.

"Aku takut kalau besok, ayah datang dan mengacaukann semuanya."

"Za, Pak Tama adalah ayah kamu apa pun kesalahannya. Kalau memang dia mau datang besok, itu haknya. Karena kamu putrinya. Terlepas semua konflik di antara kalian."

Eza menghela napas berat. Reihan benar yang harus sembuh itu hatinya dulu. Baru memikirkan hal lain.

Telepon terhenti setelah Reihan meyakinkan Eza beristirahat. Bahkan sempat menawari Eza untuk datang atau mengirim pengawal pribadi.

Eza tertawa. Apa jadinya kalau semua teman kampusnya melihat Eza, anak penjual gudeg, datang dan punya pengawal. Kondisinya tidak akan baik sejak awal kedatangannya.

Eza akhirnya bisa tertidur setelah murotal dari laptopnya dibunyikan lirih.

***

Perhelatan acara wisuda sudah ramai yang datang. Karena Eza mengambil semester pendek, dia wisuda lebih dulu dibanding teman seangkatannya.

Justru dia berbarengan dengan Rahman dan Fadil.

"Ayo, Bun, kita langsung masuk!" Eza baru sampai dan tangannya tak lepas dari Ratri.

Rahman menghampiri dan menyempatkan menyalami Ratri.

"Masih ingat saya kan, Bun?" tanya Rahman sambil ikut menggandeng Ratri masuk ke dalam auditorium.

Eza mengekor dari belakang bersama Fadil yang membawa kamera.

"Puput ikut datang, nggak?" Eza menyapu sekitar ruangan belum melihat sahabatnya itu. Entah, tumben-tumbenan susah dihubungi dari semalam.

Fadil mengangkat bahunya sambil terus memotret. Banyak hal dan sudah diambil gambarnya.

"Kak, kamu kan wisuda juga, perasaan foto aku fotoin!"

Beberapa foto sudah bisa ditabadikan. Hasilnya cukup memuaskan. Acara akan segera dimulai. Fadil mengalungkan kameranya lalu melangkah menuju kursinya.

Pembawa acara sudah mulai bicara. Urutan acara dijalankan, dan tiba waktunya inti acara dilangsungkan. Satu persatu mahasiswa dipanggil ke depan. Runut tiap fakultas.

Saat Rahman dipanggil nilainya termasuk yang terbaik. Tak tahu kenapa Eza mengamati Rahman hingga dia berhenti di depan seorang perempuan. Eza menebak mungkin itu ibunya.

Tiba waktunya fakultas Eza dipanggil. Saat namanya disebut, Eza masuk sebagai mahasiswi terbaik dengan nilai nyaris sempurna.

Tak terkira kebahagiaan Ratri sebagai ibunya. Perjuangan selama ini tidak sia-sia, berjualan demi membeli buku dan sarana untuk belajar Eza. Eza sendiri tanpa lelah, belajar. Bahkan masih sempat membantunya berjualan. Ratri menghapus air matanya, dia tidak seharusnya menangis.

Eza segera menghambur ke pwlukan bundanya. Momen ini tak terlewatkan bagi Fadil. Tidak hanya difoto, tetapi Fadil membuat video untuk diberikan ke Eza sebagai kenang-kenangan.

Suasana wisuda masih berlangsung. Eza kambali duduk. Matanya mendadak berhenti pada sosok perempuan di samping Rahman. Eza merasa dia mirip dengan seseorang.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro