PENOLAKAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Eza mencari waktu untuk berbicara dengan Ratri. Lebih cepat lebih baik, karena ini juga menyangkut bundanya. Dan soal foto yang ditemukannya tempo hari juga harus ada penjelasannya. Apa pun kenyataan yang ada, dia janji akan terima.

Sudah waktunya Eza menyelesaikan masalah ini. Beban belajar menyelesaikan kuliah dengan waktu singkat dan nilai memuaskan, sudah dia buktikan. Menerima bukan berarti memaafkan begitu saja atas apa yang sudah Tama lakukan.

Beberapa tahun yang lalu, apa pun alasannya, tidak bisa dibenarkan tindakan Tama yang meninggalkannya dan Ratri. Dalam kondisi kebingungan, dua perempuan dengan kekuatan terbatas harus berjuang bertahan hidup.

Satu lagi yang membuat hati Eza tergores lebih dalam. Saat Eza melawan dan membantah Tama, pria yang mengaku ayah kandungnya itu, meremehkan dirinya kalau tanpa Tama, Eza tidak akan pernah berhasil dalam hidupnya. Hinaan itu akhirnya melahirkan janji yang terucap.

Eza janji dia akan lulus sekolah hingga kuliah dengan nilai memuaskan. Tanpa kehadiran Tama dia akan lebih sukses. Sesumbar yang akhirnya terpenuhi sekarang. Eza mengaku pada awalnya semua karena dendam, dan perjalanannya susah sekali.

Di tengah perjuangan membantu Ratri membuka usaha, niat Eza berubah. Dia akan jadi sukses demi membahagiakan bundanya. Dia memilih melupakan Tama sementara, menurutnya lebih baik, karena hatinya terbebas dari dendam dan benci.

"Za, sudah tidur?" Ratri mengetuk pintu kamar Eza perlahan.

"Ya, Bun! Sebentar!"

Pintu terbuka, tampak Ratri membawa segelas susu camilan yang baru saja dibeli Ratri di warung dekat rumah.

"Wah, Bunda mau ngajak begadang, ya?" Eza membawa nampan yang dipegang Ratri, mereka makan sambil lesehan di kamar sederhana milik Eza.

"Za, Bunda mau tanya sesuatu, boleh?" Ratri lebih baik bertanya daripada Eza marah.

"Tanya soal apa sih, Bun?" Eza penasaran juga akhirnya. Kalau Ratri mengajak bicara sambil bawa makanan kecil begini, pasti ada hal penting.

"Kamu masih marah sama Ayah?"

Gerakan tangan Eza terhenti. Dia meneguk susunya hingga setengah gelas.

"Iya dan tidak, Bun. Ada bagian yang sudah bisa kumaafkan. Ada bagian lagi yang masih belum terlunaskan."

Ratri tahu, bagian mana yang belum terlunaskan. Perkataan penuh hinaan dan meremehkan dilontarkan Tama. Eza yang masih berumur sangat muda dan labil, tentu saja marah.

"Za, kamu tahu seperti apa pun perlakuan ayahmu, dia tetap orang tuamu, Nak."

Nasehat ini sudah sering didengar Eza. Dia sangat sadar itu. Kalau dia tidak peduli, dia akan tolak telepon dari Tama yang mendoakannya saat sidang. Kalau dia marah, pasti nomor itu langsung diblokir.

"Bunda kenapa tanya soal Ayah? Sudah lama Bunda nggak menyinggung Ayah."

Ratri menarik napas perlahan lalu diembuskannya. Pertemuan dengan Tama yang tidak disengaja, membuat Ratri kecewa dan marah. Dia khawatir sebenarnya kalau Eza tahu, entah apa yang bisa dilakukannya saat bertemu muka dengan Tama.

"Ayah menemui Bunda, pas kamu mau sidang."

Eza sudah menebak ini. Tama pasti mendapat semua informasi tentang dirinya dari Ratri.

"Lalu?" Eza menekan emosinya. Yang di depannya sekarang adalah Ratri. Bukan Tama.

"Ayah mau minta kamu tinggal sama dia. Lalu ayahmu ingin berpisah dengan Bunda."

Kalimat terakhir terdengar bergetar. Eza tercekat, dia tidak bisa berkata apa-apa. Hatinya sangat sakit mendengar keinginan Tama.

"Bun, aku nggak akan ninggalin Bunda sampai kapan pun. Ayah tidak berhak memaksaku ikut dengannya. Setelah apa yang dia lakukan ke Bunda."

Ratri menangis, dia tak pernah menyangka kedatangan suaminya kembali bukan untuk kembali dalam arti yang sebenarnya. Tetapi memintanya berpisah dan mengambil putri semata wayangnya.

Eza memeluk bundanya erat. Seolah-olah ingin meyakinkan Ratri kalau dia tak akan kehilangan putri satu-satunya.

Tangis Ratri dan Eza terdengar oleh seseorang yang tadinya ingin mengetuk pintu. Pembicaraan antara ibu dan anak itu membuat pria itu ikut merasakan kesedihan. Bahkan dia merasa marah karena Eza ikut tersakiti karenanya. Reihan mundur perlahan. Kedatangannya tidak tepat sekarang.

***

Reihan menemui Dewi dan menanyakan kemungkinan tantenya berada. Dia tidak bisa tinggal diam, membiarkan Eza diperlakukan tidak adil seperti itu.

"Kamu kenapa keukeuh sekali mau tahu, Rei? Mama benar-benar nggak tahu. Tante Indira nggak pernah mau terbuka sama Mama. Baik dulu saat kami masih muda, maupun setelah Mama menikah."

Reihan putar otak, gimana caranya supaya dia menemui Tante Indira sekaligus Tama. Dia harus buat perhitungan dan memastikan Eza dan bundanya baik-baik saja.

"Rei, coba kamu cari di area PUJAPLASMA. Kabar terakhir Mama dengar dia buka outlet di sana."

"Outlet menu apa, Ma?"

"Menu masakan padang, kayaknya. Coba cari tahu saja, dulu."

Reihan langsung meluncur setelah berpamitan. Hari itu dia harus temukan di mana dua tersangka itu berada.

***

Reihan sampai tepat saat rolling door Puja Plasma dibuka. Semua orang sibuk berbagi tugas, ada yang mengelap meja dan kursi, ada juga menyiapkan menu di showcase.

Saat Reihan asyik mencari, tiba-tiba ada seseorang menarik lengannya.

"Mau ke mana?" tanya gadis itu cukup mengagetkan. Ternyata Eza sudah lebih dulu sampai semenit sebelum Reihan.

"Saya ada janji sama temen. Kamu sendiri mau ke mana?"

Reihan tak menduga Eza cepat juga dapat informasi ke sini. Atau bisa saja dia memang punya janji juga sama seseorang, dan tempatnya di sini.

Reihan terpaksa harus pergi dari sana. Dia biarkan Eza bergerak lebih dulu. Dia cukup memantau perkembangannya seperti apa. Lagipula kalau nanti ada keributan dia sudah siap mencegahnya.

Eza meminta menu salah satu yang sudah buka. Sesekali matanya melihat ke sekitar. Akhirnya Eza menemukan apa yang di cari. Tama baru saja memasuki pintu masuk setelah Eza duduk di sana beberapa saat.

Eza tak menunggu lama. Dia menghampiri Tama yang sedang bicara dengan perempuan cantik di sebelahnya. Sepertinya penjaga outlet yang dibayar perbulan.

"Kalau Anda belum ingat siapa saya, nggak masalah. Saya cuma mau memastikan kalau Anda tidak akan mendapatkan keinginan Anda." Eza selesai dengan kalimatnya.

Eza hendak pergi. Sebelum itu Tama sudah berdiri di depannya. Tama menatap Eza dengan penuh rasa rindu yang lama tersimpan. Pria yang sudah renta itu memeluk erat putrinya.

Eza masih dikuasai kesal dan marah. Pelukan yang dirasakan Eza hanya pelukan tanpa ketulusan dan kesungguhan. Semua perkataan Ratri masih teringat jelas, dia bertekad akan melawan keinginan Tama.

"Pak Tama, maaf. Saya ingin memperjelas lagi, kalau saya akan tetap bersama Bunda. Apa pun yang akan terjadi saya tidak akan ikut dengan Anda. Saya harap sudah cukup jelas perkataan saya."

Tama masih terdiam. Dia tidak menyangka putrinya akan berperang melawannya.

Eza pikir nanti saat dengan Tama, perasaannya tidak akan lebih baik, pun kehidupannya. Dan dia lebih nyaman tinggal bersama bundanya.

Tama kesal, di depan banyak orang putri kandungnya menolak permintaan untuk hidup bersamanya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro