TULUSKAH PERHATIANMU, AYAH?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah waktunya Eza menentukan pilihan. Tugas akhir sudah disetujui dosen pembimbing dan langkah selanjutnya adalah sidang. 

Hari yang mendebarkan, Eza sebenarnya sudah mempersiapkan semua materi dari jauh-jauh hari. Tetapi memang kenyataannya saat akan memasuki ruang sidang, tangannya kembali berkeringat dingin. Restu Ratri sudah diminta, tetapi ada yang terasa kurang. 

Lima belas menit sebelum Eza memasuki ruangan, ponselnya bergetar. Ada telepon masuk dari nomor tak dikenal. Eza sempat menggerutu, di saat genting begini ada yang membuatnya bertanya-tanya. 

Makin lama tidak diangkat, telepon itu terus saja mengganggunya. Akhirnya Eza menggeser ikon warna hijau. 

"Waalaikumussalam." Eza menjawab salam yang terucap lebih dulu dari seberang telepon. 

Sejenak mendengar, ekspresi Eza langsung berubah. Dia tidak tahu harus menanggapi apa, orang yang menelponnya ternyata orang yang selama ini dirindukan sekaligus dibencinya. Masa sulit bertahan hidup bersama Ratri masih membekas tetapi, tak bisa juga berbohong, Eza masih membutuhkan restu Tama. 

Ya, orang yang menelponnya tepat pada  waktunya. Tama—ayah kandung Eza memberikan restu dan doa tulus. Eza menahan air matanya sekuat mungkin. Rasa yang tadinya seperti ada yang kurang, hilang begitu saja setelah berbicara dengan Tama. Inikah cara Tuhan mengatur hidupnya? Mempertemukannya kembali dengan sang ayah, berharap dia bisa memaafkan setelah ini. 

Langkah Eza terasa ringan memasuki ruang sidang. Teman-temannya juga menyemangati, inilah hari penentuan mereka. 

***

Eza bernapas lega, rasa syukur tak terhingga dipanjatkan. Puput, Fadil, dan juga Rahman dinyatakan lulus juga. Meskipun dengan hasil  nilai yang berbeda-beda, mereka  bersyukur lebih dulu dengan pencapaian hari ini. 

"Selamat buat kita." Fadil ber-high five dengan Rahman dan Puput. Terakhir denganku. 

"Kita harus rayakan ini. Gue traktir, deh!" ujar Puput penuh antusias. 

Keceriaan ini seperti virus. Gampang menular ke yang lain. Dan itu sangat indah dilihat. Rahman bahkan tak berhenti tersenyum dan tertawa. Apalagi melihat tingkah konyol sahabatnya ditambah kreatif dari Puput. 

"Kita mau ke mana? Seperti biasa, gue harus sudah di rumah sore nanti. Ayok!" Eza merangkul pundak Puput dan mengajaknya segera berangkat. 

Langkah mereka diikuti dua pria dibelakangnya. 

"Tunggu! Pake mobil gue, aja! Biar gampang. Ntar kita anterin ke sini lagi ambil mobil lo!" Fadil menahan langkah Puput menuju mobilnya. Dia minta persetujuan dari Eza, dan dia sama sekali nggak keberatan. Dan, berangkatlah mereka menuju tempat rekomendasi dari Puput. 

Rahman dan Eza sama-sama terkejut setelah tahu lokasi yang dituju adalah kafe yang dulu pernah mereka kunjungi. Dan belum ada yang tahu kalau Rahman adalah pemiliknya. 

"Gue tahu tempat ini dari instagram. Kebangetan baru tahu padahal nggak jauh dari kampus."

"Mungkin promosinya masih kurang. Makanya belum banyak yang tahu." Pendapat Fadil menjawab pertanyaan Puput. Eza sempat bertanya hal yang sama, tetapi tidak sempat menanyakan langsung ke Rahman. Orang pertama yang mengajaknya adalah Rahman. Mungkin saja dia tahu pemilik atau pengelolanya. 

Rahman berdeham menengahi percakapan ketiga sahabatnya. "Kita masuk aja, dulu!" Dia sempat memberi tanda pada karyawan yang hendak menyambutnya, untuk tidak perlu melakukannya. Semua karyawan sudah paham apalagi bosnya membawa serta temannya datang. 

"Put, si ni, deh!" Eza mengajak Puput ke spot rak buku yang sekarang sudah berbeda kondisi. Areanya lebih lebar dengan buku yang lebih banyak dan bervariasi. 

"Lo pernah kesini,  Za?" 

"Ya, sekali. Dan spot ini belum selebar sekarang. Ini sih, keren menurutku." 

Puput membenarkan ucapan Eza. Mereka malah betah di sana karena sama-sama penyuka novel. 

Fadil yang nggak sabar ingin makan, langsung meminta menu pada pelayan kafe. Puput yang menyadari Fadil sudah memesan makanan langsung menghampiri meja. Eza berdecak karena Puput melupakan novel yang diambilnya tergeletak begitu saja. 

Rahman mendekati Eza, membantu mengembalikan novel ke dalam rak. 

"Kalo kamu suka baca, nanti aku bisa pinjamkan." 

"Serius? Berapa hari bisa pinjam?" Tentu saja Eza senang kalau benar bisa meminjam novel yang ada. Toh, masa belajarnya sudah lewat. Waktunya mengistirahatkan otak. 

"Sampai kamu selesai baca, aja. Nanti saya bilang sama yang punya. Tapi ngak sekaligus semuanya, kan?" 

"Ya, nggak lah! Dua aja, dulu. Mungkin seminggu sampai dua minggu, boleh?" 

Mata Eza sangat berbinar. Rahman tidak ingin binar itu menghilang. 

"Tentu saja boleh. Asal nggak sampe setahun, aja!" seloroh Rahman lalu tertawa. 

Eza juga tertawa sambil memilih novel mana yang mau di pinjam. Puput juga suka membaca, tetapi karena dia merasa punya uang, dia lebih suka membelinya. 

Makanan sudah siap disantap, mereka makan tanpa banyak bicara. Setelah makanan besar habis, menu penutup diantarkan. Kali ini mereka lebih santai ngobrol. Membahas banyak hal dari cerita masa SMA hingga jadi mahasiswa baru. 

Waktu terus berjalan, Eza baru sadar sudah waktunya pulang. Puput masih asyik berbicara dengan Fadil. Tidak sampai hati memintanya pulang. Eza mengeluarkan ponselnya untuk memesan ojek online. 

"Za, aku antar, aja!" Rahman menyela sebelum Eza memencet pesan di aplikasi ojol. 

"Nggak ngerepotin, Kak? Tadi kita ke sini kan, barengan pake mobilnya Fadil. Terus mereka …." Kalimat Eza dipotong oleh Fadil. 

"Nggak apa-apa, Za. Pake aja, dulu! Ntar Rahman bisa balik lagi ke sini. Santai aja!" 

Puput memberi lampu hijau dia pulang lebih dulu. Dan, di sinilah mereka. Sudah membelah keramaian kota. 

Di tengah perjalanan, ponsel Eza berdering lagi. Layar menunjukkan nomor tak dikenal yang menelponnya tadi sebelum sidang. Nomor Tama belum sempat disimpan Eza. 

Dering masih berbunyi, tetapi rasa enggan menahannya menjawab telepon itu. Rahman fokus menyetir, tetapi tidak bisa mengabaikan perempuan tercintanya sedang bingung. 

"Mau cerita?" Rahman bertanya tanpa memaksa. Rasa peduli yang mendorongnya mengatakan itu. 

"Saya belum bisa cerita, Kak. Cuma kalau boleh saya pengen tanya sesuatu." 

"Boleh, dong!" Rahman siap mendengarkan. "Kamu mau kita berhenti dulu, bicara soal ini?" 

Eza tidak mungkin menunda kepulangan ya. Pertama karena bundanya pasti sudah menunggu, kedua Fadil pasti juga sudah menunggu. 

"Kita tunda dulu aja, Kak! Kita berdua sudah ditunggu orang."

Rahman paham, dia siap menunggu kapan pun Eza mau cerita padanya. Mobil langsung menuju warung gudeg, sesuai permintaan Eza. 

"Makasih ya, Kak!" 

"Sama-sama. Aku tunggu cerita kamu, hubungi kapan pun kamu siap." 

Eza mengangguk. Rahman melajukan mobil kembali setelah berpamitan dan mengucap salam pada  Ratri. 

"Sepertinya Bunda tambah sibuk dan punya pekerjaan, nggak mungkin bolak-balik seperti sekarang."

"Nanti kita cari sambil Eza cari pekerjaan ya, Bu." 

Pelanggan mulai berdatangan. Hingga saat matahari mulai bergeser, Eza mengambil semua tempat kosong dan mencucinya. 

Hari yang lelah tetapi bahagia tak lupa membuatnya bersyukur. Sidang yang lancar, kedekatan sahabatnya dengan sang gebetan. Lalu soal Tama yang menelepon dan mendoakannya. Apa itu juga patut disyukuri? 

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro