I'LL KEEP MY PROMISE

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bastian sedang beruntung hari itu. Istrinya minta dibelikan keperluan bayi yang sudah habis di minimarket. Kebetulan di sana ada Eza bersama laki-laki. Mungkin itu temannya, karena kalau dilihat selisihnya tidak jauh.

"Za, jangan sampai ada yang lupa lagi. Mumpung kita di sini dan mumpung kakakmu ini baru gajian."

"Dih, pamer! Mentang-mentang adiknya gajinya belum turun."

Laki-laki yang ternyata Rahman itu membayar semua keperluan Eza. Tentu saja Eza sangat senang, terlepas dari soal materi, Rahman sangat menyayang dirinya. Bukan ke seorang perempuan, tetapi murni kepada adik perempuannya.

"Besok terbang sekitar jam sembilan pagi. Aku ingin semuanya tepat waktu dan nggak ngaret."

Bastian terpaksa mencuri dengar saat keduanya membahas soal terbang, itu artinya mereka mau pergi. Apa Reihan tahu soal ini?

Reihan yang sedang mengecek laporan, tersentak melihat Bastian begitu saja masuk tanpa mengetuk lebih dulu. Napasnya terengah-engah, tak sabar ingin mengatakan apa yang baru saja dia lihat dan dengar.

"Bas, lo kenapa? Minum dulu!" Reihan jadi khawatir melihat Bastian yang sampai seperti kesulitan napas.

Selang beberapa saat, Bastian bisa mengatur napas. Dia minum segelas air dan mengatakan semuanya.

"Rei, Eza mau pergi sama laki-laki yang mengaku sebagai kakaknya. Sayangnya aku nggak tahu ke mana tujuannya."

"Serius, lo?" Reihan bangkit dari kursi dan mengambil kunci mobilnya.

"Rei, mau gue temenin, nggak?" Bastian sudah bersiap.

"Bolehlah, lo ikut."

Mobil segera meluncur. Reihan tidak mengerti kenapa Eza tiba-tiba saja memutuskan pergi. Mau ke mana? Dan siapa laki-laki yang mengaku sebagai kakaknya?

Rumah Eza tampak lengang. Warung juga tutup. Reihan melepas sabuk pengaman dan segera turun. Langkahnya menginjak tangga menuju teras, tepat dengan terbukanya pintu depan. Ratri terbelalak Reihan sudah ada di depan rumahnya.

"Nak Reihan? Sudah lama di sini?"

"Baru saja sampai, Bun. Bunda sehat, kan? Kenapa warungnya tutup?"

Ratri gugup, dia ingat surat yang dititipkan Eza, kalau Reihan datang.

"Warung Bunda tutup dulu hari ini. Bunda agak lelah, jadi ingin istirahat sehari."

Bastian memutuskan menunggu di dalam mobil. Dia merasa tidak berkepentingan, sudah cukup dia menyampaikan lalu biarkan mereka yang memutuskan.

"Bun, saya ingin …." Kalimat Reihan tidak selesai saat ada mobil berhenti di depan rumah.

Keluarlah Eza dan menyusul Rahman. Reihan mengerutkan kening, dia merasa pernah melihat laki-laki yang mengantar Eza. Hanya beberapa kali dan sekilas Reihan melihat Rahman bersama Eza. Reihan ingat, dia teman kuliah Eza. Karena melihat mereka bersama saat di kampus.

Setelah mengucap salam dan saling menyapa, Eza pamit ke dalam sebentar untuk meletakkan semua barangnya. Rahman memutuskan pulang. Dia berencana ingin mengajak mamanya ikut mengantar Eza berangkat besok.

Ratri menyusul Eza ke kamarnya. Ada hal yang sebaiknya dilakukan Eza sendiri.

"Za, kamu bicara sama Naj Reihan baik-baik. Jelaskan tujuan kamu apa."

"Iya, Bun. Eza akan ngomong sekarang, kok!"

Ratri lega, dan dia yakin keduanya bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik.

"Kita ngomong di sini aja ya, Mas? Nggak keberatan, kan?" tanya Eza setelah berganti pakaian yang lebih nyaman lalu keluar lagi.

"Nggak masalah."

Reihan mengirim pesan pada Bastian untuk balik ke kantor dulu. Jangan sampai Bastian terlalu lama menunggu karena pembicaraan ini akan panjang. Tak lama Bastian membalas dia akan tetap menunggu. Hari itu jadwal kantor kosong, tidak ada meeting.

"Aku dikirim perusahaan meneruskan sekolah ke luar, Mas. Beberapa tahun ke depan, tapi aku ambil semester pendek."

Reihan tidak merasa ini jadi masalah. Justru dirinya senang kalau Eza bisa meneruskan sekolah sesuai yang dia mau.

"Wah, ini berita bagus, Za. Saya ikut senang. Selamat, ya!"

"Makasih, Mas! Ada satu hal lagi yang ingin saya sampaikan."

Suasana hening sesaat. Reihan menunggu dengan sabar. Melihat ekspresi perempuan tercintanya berubah sendu, mendadak firasat buruk datang.

"Ada apa, Za?" Reihan ikut merasakan panik.

"Aku ingin kita tidak komunikasi dulu selama aku di luar."

"Maksudnya?"

Eza melepaskan cincin yang diberikan Reihan.

"Enggak. Jangan bilang kamu mau kita putus." Reihan panik. Dia mundur dan menolak cincin yang ingin dikembalikan Eza.

Eza kembali duduk. Dia hampir menangis melihat reaksi Reihan. Dia sendiri sakit harus memutuskan semuanya. Tetapi apa pantas kalau dia mempertahankan hubungan dengan Reihan, tetapi hidup orang lain terancam. Perlahan Eza menjelaskan maksudnya seperti apa.

Semuanya hanya sementara. Tergantung nanti saat dirinya pulang sikap Ares masih sama atau sudah berubah. Karena hak terpenting adalah ijin Pak Ares.

Reihan paham dan mengerti posisi Eza. Tujuannya adalah ingin memperbaiki diri dalam versi baru. Bukan demi papanya semata, tetapi demi orang tuanya. Membanggakan mereka dan otomatis akan menaikkan derajat mereka juga.

Eza serius dengan tujuannya semula. Awalnya sesumbar ingin membawa bundanya ke atas awan, dengan cara dirinya sukses. Sekarang semua ber-transformasi menjadi niat tulus juga membahagiakan sang ayah yang telah kembali padanya.

"Saya harus terima alasan kamu, Za. Karena semuanya demi kebaikan sekitar kita. Jadi kejar mimpimu. Sepenuhnya aku mendukung, tapi tolong simpan cincin itu. Jangan kembalikan! Kumohon!"

Eza menghela napas lega. Baiklah, kalau hanya soal cincin dia masih bisa menitipkan ke bundanya untuk disimpan.

"Oiya, tadi yang mengantar kamu siapa? Sepertinya saya pernah melihatnya di kampus kamu."

"Oh, aku belum cerita, ya. Jadi dia itu teman kampus. Ternyata takdir membawa kami jadi saudara seayah beda ibu. Kami semua sudah berdamai dan saling menerima. Bahkan Ayah kembali meskipun hubungan dengan Bunda sudah berpisah."

"Itu artinya dia adalah putra dari Tante Indira yang kamu lihat di mall waktu itu?" Reihan selama ini belum pernah bertemu sepupunya. Awalnya dia pikir kabar Indira sudah pulang bersama putranya adalah benar. Ternyata hanya kunjungan sebentar lalu mereka pergi lagi.

Itu artinya Indira baik-baik saja. Melihat dari merek mobil dan penampilan Rahman tadi, kehidupannya sangat layak.

Setelah pembicaraan selesai dengan baik, Reihan pamit. Tak bisa dipungkiri kenyataan ini menyakitkan baginya. Dalam waktu yang lama dia harus menahan tidak menghubungi bahkan bisa dibilang putus untuk sementara. Haruskah dia menyalahkan Ares sekarang? Kenapa dari dulu dia begitu mencampuri hidup dan pilihannya? Bahkan setelah dewasa soal jodoh juga harus Ares yang menentukan kualifikasinya.

"Kita pergi, Bas!"

Bastian mencium aroma emosi dari nada bicara bosnya. Dia lebih baik diam dulu, nanti setelah Reihan tenang baru dia bicara dan berusaha bantu cari solusi.

Tanla bertanya Bastian tahu arah mana yang sebaiknya dia tuju. Kantor atau rumah bukan pilihan bagus. Karena lokasi itu memungkinkan bosnya bertemu dengan sumber kemarahannya. Mobil meluncur ke area pertamanan di Ungaran. Daerah dingin yang pemandangannya mampu menenangkan hati siapa pun.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro