SETIA MENUNGGU

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebagai seorang Ibu, Ratri pasti sedih akan berjauhan dengan putri semata wayangnya. Dari kecil hingga dia kuliah tak pernah jauh sekalipun. Kali ini harus rela hati melepasnya demi ilmu dan tujuan yang mulia.

Eza mengemas hal terakhir ke koper. Dia janji akan selesai cepat pada bundanya sejak awal. Sama seperti janji pada ayahnya dulu. Kesuksesan tinggal selangkah lagi, karena perusahaan tidak akan memberikan beasiswa, kalau Eza tidak memiliki kelebihan dalam bidangnya.

Rahman sudah siap dengan mobilnya. Indira juga sedang membenahi barang Eza di bagasi. Tak henti dia juga mengingatkan Eza, untuk berhati-hati dan fokus.

Hari itu Indira dan Ratri akur sebagai sesama ibu dan perempuan. Tama memilih hidup sendiri, punya dua anak Rahman dan Eza sudah cukup membuatnya bahagia. Hari itu dia juga ikut mengantar ke bandara.

Suasana rumah Ratri mendadak ramai, bahagia merasakan kehangatan di tengah keluarga besar meskipun sudah tak terikat secara resmi di antara keluarga.

Reihan tak tenang di kantornya. Meeting dengan klien juga tidak fokus. Bastian harus mengambil alih saat tiba-tiba bosnya melamun. Semoga saja berita ini tidak sampai di telinga Ares. Bisa-bisa disidang langsung tanpa ada pembela.

"Rei, lebih baik lo langsung ke rumah Eza sekarang. Masih ada waktu, pesawatnya kan berangkat jam sembilan. Urusan kantor biar gue yang tangani dulu."

Reihan bergeming. Dia masih berpikir beberapa kali untuk pergi. Kalau sampai Ares tahu, apa yang akan dia lakukan pada Bastian?

"Bas, gue bisa saja ke sana. Tapi kalau Papa tiba-tiba datang gimana?"

Bastian menarik napas panjang. Dia harus bantu Reihan sekarang. Kemarin bosnya sudah mengorbankan banyak hal. Uang dan waktunya tersita saat istrinya berjuang melahirkan seharian.

"Gue yang akan hadapi, Rei. Yang penting lo ketemu Eza dulu sebelum dia berangkat. Buruan sana!" Bastian sampai harus mendorong Reihan untuk segera keluar.

"Lo ikut gue! Soal kantor biarin sehari juga nggak masalah." Reihan tidak akan rela asistennya harus mendapat perlakuan tidak adil kagi dari papanya.

Bastian tidak banyak bicara. Dia mengambil kunci mobil dan menyusul langkah bosnya.

***

Rumah Sza sudah sepi. Gerbang sudah digembok. Mereka segera meluncur ke bandara. Beruntung bandara di Semarang tidak memerlukan waktu yang lama. Tidak pula harus melewati jalan tol yang panjang dan jauh.

"Gue turun duluan, Bas!" Reihan langsung menuju ke terminal pemberangkatan.

Seharusnya masih ada waktu mereka untuk bertemu. Masih ada jeda setengah jam sebelum terbang.

Reihan menyapu semua sudut ruangan tunggu yang lumayan besar. Banyak orang lalu lalang, tetapi kakinya terus melangkah tanpa tentu arah. Dia hanya menuruti kata hati ke mana maunya.

Akhirnya Reihan menemukan rombongan orang yang sangat dikenalnya. Namun, tatapannya fokus pada perempuan dengan hijab warna peach.

Langkahnya mendekat perlahan, Eza sedang memeluk bundany saat matanya bersitatap dengan Reihan. Eza melepas pelukannya, dia meminta persetujuan bundanya untuk menemui Reihan sebentar. Ratri mengangguk.

Indira menoleh, dia hanya tersenyum dan menyingkir di salah satu bangku bersama Rahman. Sedangkan Tama menyusul langkah Ratri duduk.

"Mas Reihan aku pamit, ya?"

"Pamit tapi janji kembali, kan?" sambung Reihan. Tatapannya sendu dan menyiratkan luka di sana.

"Insya Allah, Mas. Aku sudah bilang akan berusaha secepat mungkin selesai. Aku juga nggak mau ninggal Bunda lama-lama."

Reihan tersenyum. "Haruskah kita putus komunikasi, Za?" tanya Reihan mencoba bernegoisasi lagi. Dia tidak ingin mereka putus tanpa kabar. Karena itu bisa jadi sasaran empuk Ares untuk menghancurkan hubungan mereka.

Karena menurut Reihan hubungan mereka masih bisa diselamatkan. Hanya masalah restu, kan. Dia akan bertahan, menunggu hingga Eza kembali ke tanah air.

"Aku harap kamu juga lakukan hal yang sama, Za."

"Heh, belum berangkat aja, Mas udah cemburu buta. Di sana aku sekolah, Mas. Iish!"

Rahman tertawa, tiba-tiba saja dia sudah mendekat. Baru kali ini dia berhadapan langsung dengan calon adiknya. Yang ternyata adalah sepupunya.

"Jangan khawatir, Rei! Lo bisa kapan-kapan nyusulin dia. Hal kecil buat lo, kalau harus ke luar negeri. Alalagi London udah jadi makanan lo, kali!"

Rahman memecah suasana meskipun hal ini pertemuan mereka untuk pertama kalinya. Sebelumnya pernah bertemu tapi belum saling mengenal.

"Lo, utang penjelasan sama gue. Setelah ini kita bicara," sela Reihan. Lalu tatapannya kembali pada Eza.

Rahman mengangguk, dia memang harus jelasin semuanya. Langkahnya kembali menyingkir. Bagaimana bisa dia merecoki dua insan saling cinta, yang akan berpisah sementara.

Pengumuman diberikan lewat pengeras suara, kalau penumpang dengan tujuan London harus segea naik ke pesawat.

"Aku berangkat!"
"Hati-hati, jangan lupa tujuan kamu dan tepati janji kamu."

Mereka berpisah. Reihan bertekad tidak hanya Eza yang akan berjuang demi hubungan mereka. Dia akan berjuang dan membuktikan kalau pilihannya benar. Adakalanya orang tua yang harus dikoreksi anaknya saat mereka salah. Itu yang terjadi sekarang. Menurut Reihan papanya terlalu egois dan tidak beralasan kalau menilai Eza buruk.

Jelas-jelas Eza adalah anak solehah, rajin beribadah dan penampilannya sesuai ajaran agama. Lalu apa yang kurang? Atitude pada orang tua juga sangat santun. Kekurangannya hanya dia dari keluarga biasa dan orang tuanya bercerai. Alasan yang terlalu mengada-ada. Untuk itu Reihan akan berusaha mekuruskan semuanya.

Seperti yang pernah Eza katakan, jangan lernah memaksa dan dengan cara kasar. Ares adalah orang tuanya. Sudah cukup hbungan Eza dengan Tama dulu jadi pelajaran. Jangan sampai ditiru dan terulang.

Pesawat sudah terbang dan rombongan pulang.

"Tante Indira!" Reihan menyela langkah tantenya. Ada yang harus dia sampaikan.

"Ada apa, Rei?"

"Tante bukannya pernah pulang ke rumah pas aku di London?"

"Iya, tapi Tante hanya mampir dan menyapa mama kamu. Bukan untuk menginap atau tinggal lagi di sana. Tante punya rumah dan kehidupan sendiri sekarang. Jangan khawatir!"

"Boleh Reihan minta alamat Tante? Sepertinya Reihan perlu teman bicara. Mama sudah tidak bisa lagi diajak diskusi."

"Kamu ini hanya kurang sabar sama mereka. Ini alamat Tante dan nomor kontaknya. Hubunhi Tante kapan saja. Atau kamu bisa hubungi Rahman."

Reihan mengangguk. Rahman pamit bersama Indira, Tama dan Ratri. Rupanya mereka berangkat bareng tadi. Dia bernapas lega sekarang. Sudah tahu list apa saja setelah ini.

"Ayo, Rei, kamu pasti bisa!" gumamnya menyemangati diri.

Di mobil Ratri duduk di jok belakang dan mereka mengobrol. Makin akrab dan seperti tidak ada masa lalu pilu yang memecah belah hati keduanya. Bahkan biang keroknya sedang duduk di sebelah Rahman.

"Sepertinya Reihan sedang dihimpit masalah besar, Mbak. Saya harap setelah ini hubungan mereka bisa kembali baik ya, Mbak."

Ratri mengangguk. Dia juga menyayangkan kalau sampai keduanya putus. Hanya tinggal satu sumber masalah. Dia hanya bisa berdoa dan memantau. Dia akan maju saat darurat terjadi. Seirang ibu tidak akan membiarkan putrinya menderita dan bersedih.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro