PERGI 'TUK SEMENTARA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Reihan masih belum berhasil membuat Bastian buka mulut. Dia tahu tidak mungkin memecatnya karena dianggap tidak pro. Bastian sudah lama bersamanya, saat pertama masuk perusahaan, dituntut Ares dengan banyak list, juga Bastian yang kasih support. Lalu sekarang tiba-tiba saja dia main rahasia. Reihan yakin ada yang tidak beres, dia harus cari tahu. Pengorbanannya tidak akan setimpal kalau sampai kehilangan Eza.

Perusahaan di Semarang dan London berjalan lancar, bahkan sebelum Reihan datang ke sana. Aneh, karena terakhir Ares meminta Reihan segera berangkat karena kondisi di London butuh diawasi. Ujung dari masalah dan solusi semua masalah ada di Ares.

Sejak sampai di rumah Dewi juga tidak bilang apa-apa. Mamanya itu lebih banyak diam dan seolah-olah sedang sibuk mengurus butiknya.

Satu pertanyaan lagi, kabarnya Tante Indira dan anaknya udah tinggal di rumah lagi. Tetapi hingga hari ini mereka tidak ada. Apa itu bohong? Reihan bangkit dari duduknya, matanya menatap pemandangan kota Semarang dari jendela ruangannya di kantor.

Suasana rumah yang tidak lagi asyik, semua orang menutup-nutupi sesuatu, membuat Reihan tidak nyaman. Sepagi ini dia sudah sampai kantor di saat karyawan lain belum sampai. Hanya ada security dan OB yang bertugas bersih-bersih.

Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan Reihan.

"Masuk!"

Bastian masuk dengan tergopoh, mukanya pucat bahkan dia memakai jeans dan kaos, jaket, plus sandal. Sepertinya dia jngin memancing emosi Reihan. Detik berikutnya emosi tak jadi datang diganti rasa peduli dan kasihan saat Bastian minta maaf sambil menangis.

"Gue minta maaf, lo tahu siapa gue kan, Rei? Hari ini gue butuh bantuan lo, istri gue di rumah sakit. Dia harus segera dioperasi caesar. Tetapi sejak kamu di London, Pak Ares mengancam akan memecat dan menuntut saya mengembalikan uang yang dulu buat pengobatan orang tua gue."

Tangan Reihan mengepal. Ternyata Ares begitu licik. Reihan marah besar, tetaoi yabg utama sekarang adalah istri Bastian. Dia harus lakukan sesuatu.

"Bas, kita ke rumah sakit sekarang."

Reihan langsung meyambar kunci motor dan jaketnya.

"Tapi, Rei. Pak Ares gimana?"

"Lo mau istri lo selamat atau enggak?" Reihan menatap tajam asistennya.

"Iya, tapi …."

Reihan langsung keluar ruangan. Mau tidak mau Bastian mengikuti bosnya.

Reihan tidak tanggung-tanggung membantu. Bahkan dia sudah meminjam helmet dari security buat Bastian. Menurutnya akan lebih cepat sampai ke rumah sakit kalau naik motor. Hari masih pagi, lalu lintas pasti masih padat.

Rumah sakit bersalin pagi itu lengang di area lobby. Namun, saat memasuki UGD, kamar rawat dan menuju ruang tindakan suasana bermacam-macam ada di sana. Bastian berjalan lebih dulu untuk menunjukkan jalan.

Di salah satu bed kamar rawat kelas 3 Bastian berbelok. Istrinya sudah pucat menahan sakit. Saat Bastian datang dia masih berusaha tersenyum bahkan menyapa Reihan. Perempuan yang kuat, mampu tersenyum di tengah rasa sakit luar biasa. Keringatnya sudah sebesar jagung. Bajunya juga sudah basah kuyup.

Reihan tidak tega. Dia langsung menuju ke salah satu perawat.

"Saya minta pasien ini dipindah ke ruang VVIP. Dan segera lskukan operasi. Yang menanggung semua biayanya saya. Ini KTP saya."

Bastian yang mendengar itu bernapas lega. Dia lebih baik berutang pada Reihan daripada Pak Ares. Setelah ini semangat bekerjanya harus lebih keras untuk membayar semuanya.

Operasi lancar, kamar rawat juga sudah dipindahkan sesuai permintaan Reihan. Semua langsung dicover di awal. Bastian berterima kasih hingga berkali-kali.

"Bas, gue sahabat lo. Maulai hari ini kita saudara. Saat gue nanti lepas dari perusahaan Papa, ge mau ikut aja sama gue."

"Gue mau, Rei. Lo udah baik banget, dan sudah seharusnya gue yang bantu lo."

Istri Bastian dan putra mungilnya selamat dan sehat. Proses pemulihan juga lebih cepat. Reihan lega mendengarnya.

Setelah semua ini selesai, Bastian ada rencana menemui Eza. Dia harus mengungkap apa yang terjadi. Setelah ini dia berharap Eza mau menerima kembali Reihan. Dia tahu hubungan keduanya sedang tidak baik-baik saja.

***

"Mbak Eza, bisa kita ketemu?" Bastian langsung menghubungi Eza begitu istrinya bisa ditinggal sebentar.

Sebuah kafe dekat rumah Eza menjadi tempat mereka bicara. Lokasi agak pinggiran, jadi kecil kemungkinan Ares akan melacak ke sana. Entah, Bastian hanya berjaga-jaga saja. Orang seperti Ares bisa melakukan apa saja, kan.

"Saya minta maaf. Seharusnya saya ceritakan ini dari awal. Tetapi situasi saya sangat tidak memungkinkan melakukan itu."

Eza menggelengkan kepala beberapa kali. Dia sangat mengerti posisi Bastian, pasti tidak mudah.

"Saya mengerti Mas Bastian. Jangan salahkan diri Anda. Anda selama ini juga selalu bantu saya, kan. Yah, meskipun melalui perintah Mas Reihan. Tapi saya yakin Anda orang baik."

Reihan lega mendengar penuturan Eza. Sekarang tinggal bagaimana Eza menanggapi hal ini.

"Sekarang Mbak Eza tahu, Mas Reihan nggak salah. Tolong jangan salahkan Mas Reihan juga ya, Mbak."

Eza mengerutkan keningnya heran. Dia mengalihkan tatapannya ke luar jendela kaca. Melihat orang-orang berlalu lalang dengan berbagai ekspresi dan kondisi. Ada yang sendiri, ada pula yang berpasangan bahkan berkeluarga.

"Mas Bastian, jujur saya perlu memikirkan ini semua. Jangan khawatir hubungan saya dan Mas Reihan akan baik-baik saja."

Tidak ada yang bicarakan lagi, sehingga Bastian pamit lebih dulu. Hari itu Eza tidak masuk kerja. Ratri menginginkan putrinya kuliah lagi. Sehingga hari itu dia sedang mengurus berbagai keperluan penting.

Peristiwa Ares yang melakukan banyak hal demi mencegah hubungannya dengan Reihan, membuat Eza berpikir ulang untuk kembali pada pria itu. Mungkin beberapa waktu dia mengambil pendidikan ke luar negeri, bisa membuat Reihan meyakinkan diri dan orang sekitarnya untuk bisa menerima dirinya.

Kalau memang mereka bukan jodoh, sepenuhnya Eza ikhlas melepaskan Reihan bersama orang lain. Sepertinya hal ini bisa membuat orang-orang di sekitarnya merasa lega dan bahagia. Meskipun mungkn dirinya tidak.

Bagaimanapun juga dirinya hanya manusia yang berandai-andai punya sayap. Ingin terbang jauh mengelilingi angkasa dan mengajak turut serta ayah bundanya. Suatu saat nanti apakah dia bisa mengajak Reihan dan keluarganya ikut juga?

Eza belum tahu. Sekarang dia akan berusaha mendapatkan satu sayap lagi dengan mendapatkan gelar oendidikan lebih tinggi. Karena satu sayapnya sudah siap dan tersimpan.

"Bun, nanti asisten Bunda suruh nginep sini, aja. Sampai aku selesai kuliah di sana. Aku usahakan selesai tepat waktu jadi cepat pulang lagi."

Ratri diam sambil memasukkan keperluan putrinya ke dalam koper. Beberapa waktu dia akan berpisah dengan putri semata wayangnya. Puput dan Rahman akan bergantian menengoknya, suapaya dia tidak kesepian. Itu sangat melegakan Eza. Jauh-jauh hari dia meminta keduanya untuk menjaga bundanya.

"Kamu nggak mau berpamitan dengan Nak Reihan?" tanya Ratri tiba-tiba. Membuat Eza menghentikan kegiatannya sejenak.

"Enggak, Bun. Begini lebuh baik. Nanti tolong berikan surat ini saja kalau dia datang mencariku." Eza mengangsurkan sebuah amplop warna pink polos pada Ratri.

Eza harus pergi sejenak. Tanpa kabar demi meraih mimpinya, tidak disepelekan orang lain hanya karena dirinya orang biasa.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro