STAY WITH ME, PLEASE!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah sekian lama, Reihan kembali ke Indonesia. Bandara Ahmad Yani, tidak banyak berubah, hanya direnovasi di beberapa sudut. Hampir dua tahun dia harus berkutat dengan berbagai meeting dan keliling ke berbagai tempat. Semua demi perusahaan, demi Ares yang selama ini susah payah membangun semua usaha ini dari nol. Lalu bagaimana kabar Eza?

Reihan mengeluarkan ponsel barunya, lalu menghubungi Bastian.

"Bas, tolong jemput saya,  ya?"

"Jemput? Di mana, Pak?" tanya Bastian tidak paham. Reihan memang tidak mengabari siapa pun kalau dirinya pulang hari ini.

"Di bandara, dong!" jawab Reihan keras

"Sudah pulang ya, Pak? Maaf, saya hanya memastikan. Soalnya dari Pak Ares juga nggak ada pemberitahuan."

Tak menunggu lama, Bastian menyambar kunci mobil dan jaket. Mobil meluncur di tengah jalanan kota Semarang. Berpacu dengan kendaraan lain yang mungkin akan makan siang di luar.

"Bas, gimana kabar Eza? Kamu masih komunikasi sama dia, kan? Sekarang kita ke rumahnya dulu. Baru pulang ketemu Papa Mama."

Lidah Bastian kelu. Apa yang harus dia katakan kalau dirinya juga tidak tahu bagaimana Eza sekarang? Bahkan warung yang sebelumnya ditempati sudah kosong. Disusul dengan kondisi rumah yang tak jauh beda.

"Mereka sudah nggak di sana, Pak."

"Apa maksudnya tidak di sana?" Reihan masih belum paham situasi sekarang.

"Mereka pindah rumah, Pak. Dan warungnya juga tutup." Bastian hanya mampu menjawab sampai di situ. Dia berharap bosnya ini tidak bertanya lebih lanjut. Tetapi hal yang mustahil, karena reaksi berikutnya dia ambil ponsel dan akan menghubungi Eza. Tetapi seketika tangannya terhenti.

Dia baru ingat kalau ponselnya hilang karena dijambret saat menuju toserba. Tetapi sudah dibantu mengenai kekerasan.

"Sial! Aku kan, nggak punya nomornya Eza. Bas, kamu masih simpan kontaknya Eza, kan?"

Bastian masih diam dan fokus menyetir. Dia bingung antara perintah bosnya atau tetap pada perintah Pak Ares. Kalau dia ingkar, resikonya adalah dipecat dari pekerjaan dan ada utang lama yang akan ditagih kembali oleh Ares.

Bastian masih butuh pekerjaan, dan dia tidak mungkin membayar utang sebanyak itu. Ares memberikan pinjaman saat orang tuanya masuk rumah sakit secara bersamaan. Kejadiannya saat dia belum menikah.

Sekarang istrinya hamil tua, dan sebentar lagi melahirkan. Tentunya banyak biaya yang harus dipersiapkan. Untuk itu dia memilih diam dan berpikir untuk mengalihkan pikiran Reihan yang terus saja ingat Eza.

Tidak habis pikir, orang kaya seperti Ares dan istrinya harus melakukan kebohongan hingga berlapis-lapis. Kepada putranya sendiri. Apa susahnya jujur kalau mereka tidak setuju putranya berhubungan dengan Eza? Sehingga melakukan banyak kebohongan, nantinya tidak hanya satu tetapi akan makin bertumpuk menjadi banyak.

"Pak, saya sempat servis ponsel saya karena terjatuh. Semua kontak hilang dan saya harus save ulang. Saat saya akan meminta nomor kontak Mbak Eza, rumah dan warungnya sudah kosong."

Cerita Bastian tampak meyakinkan bagi Reihan. Mana mungkin asistennya ini berbohong? Reihan mengurungkan niat menemui Eza dan langsung pulang untuk istirahat. Sepertinya pekerjaan rumah bertambah, dari urusan kantor dan masalah Eza.

***

"Za, meeting hari ini dengan perusahaan dari Jepang, ya. Sudah disiapkan berkas untuk presentasi? " Atasan Eza memberikan flashdisc
untuk keperluan Eza nanti.

"Ya, Pak! Saya sudah berangkat, masih di jalan." Eza tidak banyak bicara dengan siapa pun sekarang. Jawabannya selalu pendek seperlunya.

Eza membenahi hijab dan riasannya sesaat. Hanya tipis karena sejak dulu dia enggan berdandan. Setelah itu kedua kakinya mantap dan percaya diri memasuki tempat dari bagian restoran yang sudah dipesan.

"Mbak, atas nama Eza meja sebelah mana, ya?"

Resepsionis menyuruh Eza menunggu beberapa saat. Tak lama ada yang datang tetapi Eza masih terus menekuri ponselnya.

"Assalamualaikum. Selamat siang."

Eza sontak terkejut, dia berdiri dan mengecek sendiri apakah dugaannya benar.

"Mas Reihan."

"Eza? Alhamdulillah. Ke mana aja kamu?" Reihan hampir memeluknya karena rindu yang teramat menumpuk.

Eza tidak tersenyum sama sekali. Dia akan selesaikan saat ini juga. Apa pun putusannya, masalahnya harus selesai dan ada keadilan.

"Mas Reihan maaf saya yang akan mewakili meeting dengan Anda. Jadi kita bisa mulai?" Eza melangkah menuju masalah pertama. Rapat harus selesai dan segera buat laporan.

"Lalu bagaimana dengan kita, Za?" Reihan masih mengejar membahas tentang hubungannya mereka.

"Saya kira Anda profesional. Jauh-jauh ke London mengurus banyak pekerjaan tetapi sekarang malah mau bahas hal pribadi."

Reihan tertohok. Eza berubah. Apa yang sudah terjadi? Apa salahnya selama ini? Jelas dia tidak tahu karena semua hanya permainan awal dari Ares.

"Baik. Kita mulai sekarang. Untuk melegakan kamu dan supaya di antara kita cepat kita bahas."

Eza setuju. Dia tidak ingin berlama-lama dengan menolak permintaan Reihan. Tadi Reihan sempat melihat ke jari manis tangan kirinya.

Meeting berjalan lancar, presentasi Eza sangat memukau. Tanpa basa-basi lagi Reihan menyetujui semua dan membubuhkan tanda tangan. Selesai.

"Sekarang giliran kita, saya berhak tahu apa yang sudah terjadi. Bastian bilang kamu tiba-tiba menghilang dan warung juga tutup."

Eza menceritakan semua tanpa ada yang ditutupi. Dia kehilangan arah, bingung mau menghubungi siapa untuk tahu kabar kekasih hatinya.

"Ini sepertinya langkah yang benar, Mas. Semua tanda-tanda ini adalah kemungkinan besar karena orang tua Mas tidak setuju hubungan kita."

"Enggak. Itu nggak mungkin, Za. Papa mengatakan dia ingin bertemu kamu untuk mengenal lebih jauh."

"Lalu apa beliau bilang merestui hubungan kita setelah kami bertemu?" sela Eza dengan mata berkaca-kaca.

Reihan berpikir dan berusaha mengingat semuanya. Memang Ares tidak mengatakan setuju atau menentang. Tetapi sikap Ares yang lembut saat membahas Eza, itu yang membuatnya berkesimpulan tidak akan ada masalah untuk hubungan mereka.

Reihan juga menghubungkan mendadaknya dia harus pergi ke London. Padahal kondisi di sana saat dia sampai sangat stabil. Tidak ada yang darurat seperti apa yang dikatakan Ares di rumah.

Reihan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Semua ini gila. Papanya mengatur semua ini dengan halus. Tanpa cacat dan celah untuk bisa dicurigai.

"Ok! Begini, kasih saya kesempatan sekali saja memperbaiki semua. Kamu masih percaya sama saya, kan? Sementara waktu kita rahasiakan hubungan kita dulu. Saya mohon."

Tatapan Reihan begitu menyesatkan. Eza bahkan takut menatap mata Reihan dalam waktu yang lama. Dia tertunduk. Dia sendiri tidak bisa berbohong kalau rasa cintanya masih begitu besar untuk Reihan. Belum ada yang mampu menggantikan pria itu di dalam hatinya.

"Ok, Mas! Saya akan kasih kesempatan buat kita. Hanya sekali. Karena kalau ini tidak berhasil, lebih baik kita ikut jalan yang diatur orang tua Mas Reihan."

Reihan bernapas lega. Dia akan berusaha semaksimal mungkin membuat Ares mengerti. Kalau tidak mempan juga, Reihan siap mengambil langkah paling beresiko dalam hidupnya.

"Jangan coba-coba ambil cara kasar atau curang, Mas! Kita coba bujuk beliau dengan cara yang lembut. Semoga Allah bantu kita melunakkan hati beliau."

Reihan heran, Eza bisa tahu kalau dia ingin mengambil jalan pintas demi kata setuju dan restu orang tuanya.

Tujuan Eza yang ingin membahagiakan orang tuanya, bertambah list membahagiakan orang tua Reihan juga, mulai detik ini.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro