WHERE ARE, YOU?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebuah kafe menjadi tujuan Rahman. Lokasi yang jauh dari hiruk pikuk kendaraan dirasa Rahman cocok untuk mereka bicara.

"Pak." panggil Rahman

"Yah." panggil Eza hampir bersamaan.

Mereka berdua saling pandang lalu tertawa. Ternyata berbeda panggilan saja menjadi hal yang lucu saat itu. Tama ikut tersenyum, kalau boleh meminta biarlah waktu berhenti di sini. Melihat dua anak kandungnya akur, sudah cukup. Dia tidak menginginkan apa-apa lagi.

Suasana canggung hadir, Eza ragu ingin memulai bicara. Rahman menyentuh bahunya. Memberi isyarat untuk bicara.

"Yah, Eza mau minta maaf."

Tama menatap putri tercantiknya, tatapan lembut dan jelas tidak ada dendam di sana.

"Kamu nggak salah. Semua kejadian di keluarga kita adalah kesalahanku. Ibu kalian seharusnya tidak menderita andai mereka tidak bertemu denganku."

"Pak, saya udah pernah bilang, nggak baik menyalahkan diri sendiri. Yang penting kita menyadari dan berusaha memperbaiki."

Tama mengangguk. Dia tidak pernah menyalahkan sikap Eza yang sempat meledak-ledak dan marah padanya.

"Man, gimana kabar Mama kamu? Apa dia masih gila kerja?" tanya Tama setelah meneguk air mineral hingga tandas.

Eza masih perlu terbiasa dengan ayhny yang memiliki dua istri, meskipun ibunya sudah resmi cerai. Rahman juga menoleh pada Eza, melihat reaksinya, marahkah dia atau biasa saja.

Eza menanggapi biasa saja. Hatinya seperti apa biar dia saja yang tahu. Toh, nanti juga terbiasa.

Mereka baru saja selesai makan. Menu ringan dipilih sesuai permintaan Tama. Tama berusaha hidup lebih sehat sekarang. Mengurangi minum manis dan berwarna. Makan juga lebih banyak  yang dikukus atau direbus. Eza sempat kaget saat ayahnya meminta sup ikan dan tumis-tumisan tanpa minyak, Minumnya juga air mineral. Padahal banyak menu yang lebih lezat bisa dipilih.

"Lalu apa yang Bapak minum di tempat tadi?" sela Rahman.

"Bapak minum air hangat, kebetulan ada yang jual ubi kukus juga."

Obrolan makin seru. Membahas banyak hal, bahkan kedekatan itu terjalin tanpa diatur atau dipaksakan. Eza tahu Tama bersalah, tetapi dirinya juga bersalah. Pada akhirnya tidak ada lagi yang mengungkit tentang menyalahkan atau memaafkan.

"Bapak mending pulang bareng aku aja, ya? Mama lagi dinas ke luar, katanya sampe seminggu." Rahman membereskan pembayaran, lalu menyusul langkah Eza dan Tama yang sudah sampai pintu depan.

"Kamu bilang dulu ke mamamu. Lagian Bapak lebih tenang di kontrakan."

Rahman paham maksud Tama, hubungannya dengan Indira belum tuntas. Dan mamanya sangat sulit ditemui. Tama hanya ingin memastikan status Indira.

"Sudah. Bapak di kontrakan saja. Nyaman, kok! Kalo kamu mau nginap ada AC dan kamar mandi di dalam."

Rahman langsung setuju. Malam itu dia menginap di kontrakan Tama. Setelah mengantar Eza pulang, Rahman langsung ke tempat Tama, tanpa mengambil baju lebih dulu.

Eza sempat iri melihat kebersamaan keduanya. Tetapi dia yakin kesempatan itu terbuka lebar untuknya, suatu saat nanti. Dia telah membuktikan sendiri, ayahnya memiliki hati yang lapang. Dengan mudahnya beliau memaafkan tanpa amarah seperti sebelumnya.

Eza memasuki rumahnya dengan hati lega. Hubungannya sudah membaik dan Ratri juga senang mendengar kabar ini.

"Bunda senang sekali kalian berbaikan. Semoga setelah hari ini semua yang kau inginkan bisa terwujud."

Eza berharap hal yang sama. Tinggal satu hal yang masih mengganggu, komunikasi dengan Reihan kurang lancar akhir-akhir ini. Sudah lama dia tidak mengirim kabar lewat pesan atau telepon. Bahkan Bastian juga tidak mengabarinya lagi setelah Reihan ke bandara.

Banyak pertanyaan begitu saja muncul. Apa mereka belum berjodoh? Apa yang harus dilakukan, diam saja atau nekat menemui keluarga Reihan? Resikonya akan malu jika mereka menganggap Eza manja dan tidak mendukung Reihan. Dan pada akhirnya Eza akan mendapat halangan untuk bersama Reihan.

***

"Udah siap? CV dan barang lain yang perlu dibawa nggak ada yang ketinggalan, kan?"

Hari itu Eza akan mulai lembaran baru. Puput memberi informasi tentang lowongan pekerjaan di tempatnya bekerja. Mereka membutuhkan karyawan baru yang kriterianya mahir bahasa asing. Dan Eza akan menyibukkan diri mulai sekarang.

Dia tidak bisa terus memikirkan orang yang jauh dan belum tentu sedang memikirkannya. Jujur ada kemarahan dengan situasinya sekarang. Kenapa sepertinya hanya dia yang berjuang? Sedangkan si pria entah sedang apa.

Puput sering mengajak Eza untuk berkenalan dengan seseorang. Tetapi Eza juga sering menolak. Sebelum Reihan memutuskan, Eza tidak akan leluasa melepas cincin pemberian Reihan sebagai pengikatnya.

Dari pihak Puput, dia kesal dengan sahabatnya yang begitu setia tanpa tahu Reihan melakukan hal yang sama atau tidak. Cinta sudah membutakan Eza untuk selalu di samping Reihan. Ya, sudahlah. Ada yang lebih penting daripada hal ini.

"Gue nggak nyangka kita bisa kerja di satu perusahaan yang sama." Eza baru saja keluar dari ruang wawancara. Iya, interview yang awalnya membuatnya grogi, lebur seiring kabar kalau dia diterima.

Paling tidak untuk sementara, Eza akan sibuk bekerja. Dan tidak memikirkan soal Reihan. Terkadang seseorang perlu peralihan untuk menghindari pikiran negatif. Belum lama ini Ratri akhirnya bisa menemukan orang untuk membantunya berjualan. Karena itu Eza menerima tawaran mengisi lowongan di perusahaan tempat Puput bekerja.

Perusahaan tempat Eza bekerja, bergerak di bidang produk karton. Perusahaan baru yang sedang mengembangkan produk barunya ke luar negeri. Untuk itu kualifikasi karyawan yang dicari adalah mereka yang menguasai bahasa Inggris. Lebih bagus juga mahir bahasa lain. Makin cakap seseorang, makin mudah pula  mendapatkan apa yang diinginkan.

***

Menginjak bulan ke tujuh Eza bekerja, dan usaha gudeg makin maju, Ratri putuskan membeli rumah yang lebih lega. Rencananya warung juga akan pindah di depan rumah nantinya. Pertimbangan Eza adalah bundanya lebih mudah beraktivitas.

Hasil penjualan rumah ditambah tabungan keduanya, mereka bisa membeli rumah yang diinginkan.

"Za, ada yang kurang nggak, ya?" tanya Ratri sambil mengecek persiapan warungnya.

Eza meletakkan berkas yang baru dibacanya, dan siap diketik untuk dikirim ke klien.

"Sepertinya udah, Bun. Nanti kalo ada yang kurang belinya nyusul, aja."

Hal tentang pindah rumah dan dirinya yang bekerja, tidak banyak yang tahu. Termasuk Reihan dan keluarganya. Cerita tentang hubungannya dengan Reihan seperti hilang tetapi tak lepas dari ingatan. Bagaimanapun juga, Eza tetap mengingat tanpa bertanya kabar, setelah pesannya tak berbalas satu pun.

Rumah baru ini akan melahirkan kenangan baru. Kenangan lama di rumah sebelumnya akan tersimpan di satu ruang dalam hatinya. Sekarang mimpi Eza ingin membahagiakan Ratri dan Tama. Kedua orang tua yang masih hidup sehat, tetapi rukun setelah berpisah. Dalam mimpinya Eza ingin ada satu momen di mana mereka benar-benar bahagia, bersama, tanpa ada paksaan.

***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro