MEMAAFKAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Eza tak berkedip melihat perubahan sahabatnya. Setelah wisuda tanpa dihadiri orang tuanya, Puput menghilang. Tanpa kabar, bahkan nomor ponselnya juga tidak bisa dihubungi. Akun sosial media juga kosong.

"Gue bisa meleleh kalo lo lihatnya kayak gitu, Za. Masih cantikan lo, kok!"

Eza melempar gumpalan tisu ke Puput, yang disambut tawa cengengesan.

"Ke mana aja, sih? Banyak ya g nanyain lo, tahu."

Puput bercerita dari awal dia memutuskan pergi. Malam sebelum wisuda, kedua orang tuanya malah bertengkar hebat. Saling menyalahkan dan menunjuk satu sama lain. Puput putus asa, dia menyerah. Batal sudah ingin memberitahu kalau dia berhasil lulus dengan nilai nyaris sempurna. Tidak sebagus Eza, tetapi itu sudah melebihi target yang ditentukannya saat-saat terakhir.

Puput berangkat wisuda sendiri, tanpa siapa pun yang mendampingi.

"Untung lo bisa dateng bareng nyokap lo. Gue jadi nggak sendiri lagi." Puput menghapus air mata yang lolos ke pipinya.

"Kenalaa saat itu lo ngak cerita, sih? Kan gue bisa bantu datang lebih awal."

"Udah, sih! Udah lewat juga. Sekarang lo kerja di mana? Gue denger ngasih les privat, ya?"

Eza mengangguk. Dia memutuskan memberi les, karena waktunya masih bisa dibagi dengan warung gudeg.

"Gue kangen sama gudeg nyokap. Aah, kelamaan di luar negeri, lidah gue jadi ngiler tiaplihat masakan Indonesia di sosmed."

Eza mengajak Puput menginap di rumahnya maalam itu. Tanpa penolakan, kalau sahabatnya itu menolak, resikonya dicoret jabatannya jadi sahabat. Kejadian kemarin saja, nyaris membuat Eza lupa kalau dia masih punya sahabat.

Puput mengangguk sambil merangkul Eza. Mereka segera meluncur menuju rumah Eza. Hari itu kebetulan warung libur, jadi Ratri sedang di rumah.

"MasyaAllah, Puput!" Ratri memeluk Puput penuh kasih. Dia menganggap Puput sepertianaknya sendiri. Bahkan sekarang Ratrimenangis terharu.

Ratri langsung membuatkan semua makanan yang Puput suka. Gudeg, dan brownies kukus dengan toping almond. Eza sempat bercanda kalau anak kandungnya adalah Puput, bukan dirinya. Ratri mencubit pipi Eza karena candaannya itu.

"Jangan iri sama sahabat sendiri!"

Mereka akhirnya tertawa bersama. Hari itu mereka bertiga merasa sebagai satu keluarga, makan dan masak bersama. Puput bahkan tidak punya keinginan pulang ke rumah.

Malamya Ratri mengajak bicara supaya Puput tetap menemui orang tuanya. Dia yakin mereka pasti juga merindukan anak semata wayangnya.

Puput tadinya ragu, tetapi Ratri menyarankan untuk bertemu. Setelah itu menginap di rumahnya lagi juga tidak masalah. Puput bersedia. Dia akan ke rumah esok harinya.

***

Rahman berpapasan dengan Puput saat ingin berkunjung ke rumah Ratri.

"Gue buru-buru, ntar biar Eza yang cerifta sama lo."

Rahman melongo, cuma membalas ucapan salam Puput yang meninggalkannya.

Rumah itu masih tidak banyak berubah. Puput memasuki gerbang dengan perasaan tidak karuan. Dia hanya harus sabar dan tidak melawan semua kemungkinan yang akan terjadi.

Ucapan salamnya tidak ada yang menjawab. Kakinya melangkah masuk perlahan, matanya menyapu seluruh ruangan yang begitu luas dan sunyi. Mendadak ada  suara serak memanggil namanya.

Ayahnya sedang duduk di kursi roda. Tampak lemah dan susah payah mengerakkan roda kursinya. Puput langsung menghambur memeluk ayahnya. Rasa benci di masa lalu seketika lenyap.

Mamanya ikut keluar saat mendengar suara tangis. Puput juga memeluk mamanya erat. Mereka bertiga salin memaafkan tanpa kata. Tetapi Puput lah yang mulai mengucapkan kata maaf. Akhirnya rumah itu tak lagi suram. Tak lagi sepi karena Puput sudah kembali dan meramaikan suasana.

Ratri ikut senang saat dikabari Puput menginap di rumah orang tuanya. Mereka sudahberbaikan, dan itu berita yang membahagiakan. Eza ikut senang.

Ada tanya menelisik hatinya. Puput sudah berbaikan dengan orang tuanya. Bagaimana dengan dirinya? Apakah dia mampu melakukan hal yang sama? Apalagi Tama sudah banyak berubah. Meskipun orang tuanya sudah bercerai, bukan berarti harus bermusuhan dan tidak saling menyapa.

Sudah saatnya Eza mulai membuka dirinya untuk lebih dekat dengan Tama. Itu juga yang sempat disampaikan Rahman saat tempo hari datang. Eza masih menolak waktu itu. Tetapi setelah Puput bercerita, baru hatinya terbuka dan meluluhkan hatinya. Kesempatan berbakti pada Tama sebagai ayah kandung masih terbuka lebar.

Lamunan Eza buyar saat ada panggilan skype dilayar laptopnya. Setelah layar menampakkan wajah orang spesial, Eza terpaku.

"Assalamualaikum."

Ucapan salam dari Reihan baru dijawab Eza setelah diucapkan tiga kali.

Reihan tampak berbeda sekarang. Dia agak kurus, tetapi masih tampan.

"Apa kabar tunanganku, Calon Istriku?"

"Alhamdulillah, Mas. Mas Reihan kenapa kurusan? Kurang makan, ya?"

"Kangen sama kamu." Reihan tersenyum, tetapi Jawaban itu jujur dari hatinya. Banyak hal yang harus dia lakukan di London. Pantas saja papanya tidak sempat berleha-leha. Semua waktu untuk bekerja. Sisanya untuk tidur dan makan. Dan itulah yang Reihan alami.

"Aku ingin cepat pulang, Za. Setelah urusan di sini selesai, kita langsung menikah. Dan aku ingin usaha gudeg Bunda kita besarkan. Usaha Papa akan diurus oleh sepupuku."

"Sepupu? Kamu punya sepupu di sini?"
"Iya, dan kami baru saja dipertemukan. Tanteku yang lama pergi, sudah kembali denganku putranya. Papa tidak masalah yang mengurusdia, tetapi aku tetap menjadi pemegang saham terbesar. Papa mau istirahat."

Eza merasa dunia sekitarnya sedang banyak aura positif. Yang tadinya banyak rasa benci dan amarah, kini mereka berdamai dan saling memaafkan. Hal ini makin mendorongnya untuk segera menemui Tama. Dia ingin minta maaf dan berdamai dengan beliau.

Mungkin kegagalannya melamar pekerjaan terhambat oleh rasa benci dan dendamnya. Sekarang waktunya mengikhlaskan apa yang sudah terjadi. Ratri sudah memaafkan, Rahman sudah legowo menerima, gilirannya melakukan hal yang sama.

***

Rahman langsung menawarkan diri mengantar Eza. Karena dia tahu tempat biasaTama nongkrong bersama teman-temannya. Benar saja, Tama sedang minum kopi bersama temannya yang kemarin. Mereka ternyata hanya sangar di luar. Menurut orang sekitar sana, mereka malah membantu kemanan diarea situ.

Sebelumnya ada balap liar yang beraksi sana. Sekarang tidak lagi, karena takut. Bahkan polisi berterimakasih.

Eza mendekat ke ayahnya. Tama yang sedang merapikan gelas bekas kopi pengunjung nyaris menjatuhkan nampan berisi gelas. Untung dengan sigap temannya mengambil alih.

"Udah, malam ini gue yang cuci gelasnya. Lo urus masalah lo dulu."

Tama menghampiri dua anak kandungnya. Agak canggung tetapi Rahman yang mendahului berbicara.

"Pak, Eza mau bicara. Bapak ikut kita dulu, ya."

Tama mengangguk. Dia tidak mampu menggambarkan perasaannya saat ini, bahagia, sedih, takut kehilangan kebersamaan ini. Dia takut apa Eza akan mencampakan dirinya? Apakah ini sudah saatnya putrinya itu akan meluapkan semua amarah?

Kalau memang itu terjadi Tama akan menerima itu. Tanpa protes, tanpa perlawanan, dan tanpa membela diri. Dia memang bersalah. Dirinya sudah keterlauanl dan melakukan kesalahan berulangkali. Sehingga dua istri dan dua anaknya menderita.

***








Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro