PENANTIAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Za, ponsel kamu bunyi terus dari tadi. Angkat dulu, aja!" ujar Ratri setelah melayani pembeli terakhir siang itu.

Eza mengambil ponsel dari kantong celananya. Tampak nama Reihan di layar.
"Assalamualaikum. Ya, Mas?"

"Waalaikumussalam. Za, saya ada
tugas keluar negeri minggu depan."

"Wah, enak dong! Berapa lama, Mas?" tanya Eza dengan nada biasa saja. Malah ikut senang.

"Kamu kok, seperti biasa aja, saya pergi?" Reihan terdengar kurang semangat.

Eza tertawa pelan. Seorang CEO, bisa juga merajuk.

"Mas Reihan ke luar negeri kan perjalanan dinas, masa aku mau ikut." Eza menyingkir sejenak saat ada pembeli datang.

"Baru kali ini saya enggan tugas ke luar. Gara-gara kamu, nih!"

"Dih, kenapa jadi aku yang salah? Udah, ah! Telepon mau bilang itu,  aja?"

"Sebelum saya berangkat, Papa mau ketemu kamu sama Bunda."

"A-apa? Kapan?" Eza tidak menyangka akan secepat ini hubungannya dengan Reihan berjalan. Ares adalah pengusaha sukses yang sangat disegani banyak orang. Baik klien atau karyawannya.

Reihan menangkap kegugupan dari suara Eza. Wajar kalau hal itu terjadi, papanya terkenal tegas dan galak.

"Kamu takut?" Reihan ingin memastikan kalau semua akan berjalan dengan baik.

"Sedikit, apalagi hubungan kita belum lama. Bahkan Pak Ares baru pulang dari luar. Semoga Pak Ares tidak kecewa denganku."

Reihan menghela napas. "Saya tahu posisi kamu sekarang. Tapi yakin, deh, Papa akan nerima kamu. Dia hanya ingin mengenal kamu lebih dekat."

"Iya, kabari aku waktunya kapan ya, Mas. Jadi bisa atur jadwal mau jualan atau libur."

"Ok, saya kabari secepatnya." Reihan menutup telepon setelah Eza menjawab salamnya.

Reihan mengingat kembali perbincangannya tempo hari. Ares tampak wajar dan tidak ada yang disembunyikan. Dia berharap pertemuan nanti juga selancar itu.

***

Eza dan Ratri sampai di depan rumah Ares tepat waktu.

"Mari saya antar ke dalam, Mbak. Mari, Bu!"

Mereka disambut Dewi dengan hangat dan terbuka. Usia Ratri tidak jauh berbeda dengan Dewi. Baru sekali bertemu, mereka langsung bisa cair mengobrol.

Ares datang bersama Reihan. Tatapan mereka bertemu, dan Reihan tahu Eza sangat gugup. Dia mendekati sofa yang diduduki Eza.

"Silakan duduk!" Ares menempati sofa tunggal, disusul Dewi duduk di sebelah Reihan.

"Langsung saja! Saya Ares, papanya Reihan, dan sepertinya Dewi sudah memperkenalkan dirinya. Jadi, bisa saya tahu namamu?" Ares menatap Eza.

"Ya?" Eza terkejut.

Ratri langsung menggenggam tangan Eza, sambil mengelus punggungnya perlahan.

"Saya Eza dan ini bunda saya, Ratri. Terima kasih kami sudah diundang kemari."

Ratri membiarkan Eza supaya bisa mandiri. Mungkin sekarang salah satunya. Dia harus mampu berani menjawab pertanyaan dari ayah pria yang dicintainya.

Pertanyaan yang dilontarkan Ares, Eza jawab apa adanya. Sesuai dengan kenyataan dirinya. Tidak ada yang protes atau menanggapi buruk atas semua jawaban Eza.

Saat ini justru Ratri yang berdebar-debar. Setelah keluarga Reihan tahu siapa dirinya dan sang putri, apa yang akan terjadi? Situasi tenang ini justru membuat tidak nyaman.

Acara berlanjut makan malam, setelahnya Bastian langsung mengantar mereka pulang sampai rumah.

"Makasih ya, Nak Bastian. Kami langsung masuk. Kamu juga langsung pulang, kasihan istrinya."

Bastian tersenyum lalu pamit. Meninggalkan rumah Ratri. Waktunya pulang ke rumahnya. Bastian sudah sangat lelah.

Belum juga masuk ke rumah, ponselnya sudah berbunyi lagi. Ares menghubunginya. Apa yang terjadi? Kenapa tidak bertanya langsung ke Reihan? Bastian punya firasat tidak baik.

***

"Za, maaf! Saya baru saja mengantar Reihan ke bandara. Perjalanan dimajukan mendadak, makanya Reihan nggak hubungi kamu. Dia bilang nggak usah khawatir."

"Oke, Mas. Semua baik-baik aja, kok! Sampaikan ke Mas Reihan, ya."

Tak ada pikiran apa pun dengan keberangkatan Reihan yang mendadak. Eza hanya ingin berpikir positif, tidak ingin diracuni prasangka yang akan membuatnya tersiksa.

Jadi, waktu berjalan apa adanya. Setelah berbulan-bulan menganggur, Eza akhirnya mendapat pekerjaan sebagai guru privat bahasa Inggris untuk beberapa orang sekaligus. Dan, bundanya tidak keberatan.

Semua lancar, sampai Rahman datang ke tempat tinggalnya. Rahman tampak berbeda dengan pakaian yang lebih dewasa kesannya.

"Aku kerja di bagian IT. Gimana sama kamu? Aku dengar kamu sudah tunangan dan akan segera menikah. Apa itu benar?"

"Tunangan sudah cerita lama. Reihan sedang ke luar mengurus bisnis di sana. Setelah selesai baru kami menikah."

Rahman mengangguk. "Za, apa kamu nggak mau tahu soal kita?"

Eza berbalik. Tadinya mau mengambil minum untuk Rahman, jadi urung karena pertanyaan itu.

"Maksudnya apa?"

"Ayah kamu adalah ayahku juga. Kamu tahu itu?"

Sore itu Rahman berkunjung untuk mengetahui kabar Eza dan bundanya. Sekaligus memberitahukan fakta kalau mereka bersaudara.

"Aku sempat berpikir seperti itu, tetapi aku abaikan karena nggak punya bukti."

Ratri yang mendengarkan dari kamar meneteskan air mata. Seharusnya sakit ini tak lagi ada. Apalagi mereka sudah bercerai. Tetapi mengetahui fakta kalau dia dikhianati, diduakan itu menyesakkan. Bukan hanya dirinya, tetapi pasti Eza juga merasa itu.

Rahman ternyata punya bukti tes DNA, hanya untuk formalitas dan fakta saja. Obrolan berlanjut ke bahasan kegiatan di kampus untuk bulan Ramadhan. Awalnya dulu Eza sudah sempat lapor ke tim konsumsi kalau dia mundur.

"Kenapa, Za? Apa dilarang Reihan?"

"Bukan!" potong Eza.

"Ada alasan pasti kenapa sampai kmu mengundurkan diri?"

"Bundaku jualan sendirian, apa bisa jadi alasan?"

Rahman mengerti, dia juga pasti akan melakukan hal yang sama. Situasi rumahnya dan Eza sama, hanya tinggal bersama Bunda. Yang membedakan Indira sering keluar, dan terkesan mengabaikan dirinya. Kehangatan dalam rumah Eza, sungguh membuat iri. Meskipun mereka tahu saudara seayah, sulit mengubah apa yang sudah ada. Mereka lebih nyaman bersikap seperti teman.

Ratri yang mengubah itu perlahan. Rahman diundang makan siang ke rumah. Bukan menu mewah, tetapi mampu menambah keakraban mereka bertiga. Semoga suatu hari nanti Indira bisa bergabung.

Rahman pulang membawa hal yang positif. Begitu pula Eza, perasaannya dengan cepat bisa beralih menjadi kebahagiaan karena punya kakak. Tidak lagi sendiri.

***

Bulan Ramadhan tiba, warung gudeg bergeser jam buka menjadi sore hari. Eza mulai menerima pekerjaan lebih banyak. Karena bulan puasa waktu senggangnya lebih banyak.

Sepulang mengajar, ada mobil yang membunyikan klakson berkali-kali. Eza tidak mengenali mobil itu. Semakin diabaikan semakin sering klakson dibunyikan. Akhirnya Eza menyerah, dia berhenti dan berbalik.

"Sombong banget sih, lo?"

Eza terkejut bukan main. Sahabat yang menghilang tanpa kabar setelah dia wisuda, sekarang menghampirinya. Puput berubah penampilan. Dia sekarang berhijab dan makin cantik.

"Siapa yang sombong? Siapa yang pergi gitu, aja setelah wisuda? Lo utang penjelasan sama gue."

***





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro