PRATAMA'S STORY

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tama bersama beberapa orang yang wajahnya sangar, sebenarnya hanya duduk mengobrol saja. Dekat sana ada lapak orang berjualan rokok dan kopi. Jadi mereka hanya bertemu. Tama tidak menyadari ada seseorang yang memperhatikannya dari arah seberang jalan. Dia terlalu asyik dan fokus pada cerita teman-temannya.

Pratama Adiguna, ayah dari Eza, yang pergi dari rumah tanpa alasan jelas, dan melakukan hal yang menyakiti Ratri—istrinya dengan berhubungan dengan perempuan lain. Mereka punya anak lagi.

"Tam, seharusnya lo balik ke Ratri. Apa gunanya nongkrong dekat rumahnya, kalau nggak ada usaha sama sekali."

"Sok tahu lo! Nggak gampang kayak yang lo bilang, mereka udah sakit hati karena perbuatan gue." Suara Tama memudar. Bukan 'dia banget' kata teman-temannya.

Bahasan soal Tama diganti dengan membahas hal lain, karena Tama akan pergi kalau mereka masih membahasnya. Akhirnya obrolan berganti. Lebih seru dan menyenangkan, terlihat dari tawa keras salah satu dari mereka. Hanya saat bersama mereka Tama bisa merasa hidup.

Pratama hidupnya tak sama lagi. Dulu bahagia bersama Ratri dan sedang menanti kedatangan buah hati. Lalu semua berubah dengan kedatangan Indira dengan perut membesar. Jelas bukan anaknya, tetapi Indira menyangkal. Pertemuan sebelumnya mereka sempat bersama dalam keadaan mabuk. Tama memang tak jarang mendatangi klub malam.

Indira anak rumahan, yang sakit hati karena orang yang dicintainya ternyata menikahi kakaknya. Kakak kandung yang sangat menyayanginya, tetapi tidak sepenuhnya. Menurutnya Dewi seharusnya mengalah dan membiarkan dirinya lah yang mendampingi Ares. Sungguh tidak masuk akal dan terlalu mengada-ada.

Jadilah waktu itu Tama diam-diam menikahi Indira secara siri. Tanpa sepengetahuan Ratri. Sungguh pengecut, saat akhirnya Ratri tahu dan meminta Tama memilih, dia memilih pergi. Karena saat itu Indira tidak bisa mengurus bayinya sendiri. Sedangkan Ratri masih mampu sendiri.

Entah, kebaikan atau kemalangan, setelah Tama pergi, Ratri baru sadar dirinya hamil. Ingin memberi kabar pada Tama, tidak ada yang tahu keberadaannya. Ya sudah, Ratri menyerah dan melakukan semuanya sendiri.

Lalu foto yang ditemukan Eza itu tak sengaja juga ditemukan Ratri. Tama buru-buru pergi tanpa sadar foto itu terjatuh di lantai kamar. Semua masa lalu menyakitkan yang sangat ingin dilupakan Ratri. Lalu hidup bahagia bersama putrinya. Hanya bersama putrinya.

Semua cobaan tidak berhenti sampai di sana. Tama sempat datang lagi saat Eza beranjak remaja. Saat itulah, mereka bertengkar dan membuat Eza sesumbar dengan janjinya. Kini Tama datang lagi, ingin mengambil Eza hidup bersamanya. Lalu Ratri akan diceraikan secara resmi. Tidak adil bagi Ratri tentunya, karena itu Eza menolaknya mentah-mentah.

***

Rahman melanjutkan perjalanannya lagi tanpa peduli dengan pria yang kata orang adalah ayahnya. Toh, sudah lama dia pergi, dan tak ingin kembali.

Lamunannya pecah dan kembali ke dunia nyata. Rahman sampai di rumah dalam keadaan sepi. Dia pikir Indira belum pulang, tetapi belum sempurna langkah kaki  naik ke tangga, lampu tiba-tiba menyala.

"Dari mana, Man?" Indira ternyata sudah pulang dan sengaja menunggu putranya. Dia sedikit khawatir dengan perubahan Rahman setelah ada berita viral tentang Reihan yang bertunangan.

Belakangan Indira tahu Eza ternyata teman kampus Rahman. Dan dia lah yang ingin dikenalkan saat wisuda waktu lalu.

"Cuma cari angin, Ma. Kenapa? Ada yang ingin Mama bahas?"

Indira menarik napas, lalu mengawali obrolan. Dia ingin Rahman berpikir ulang tentang Eza. Ada fakta yang Rahman belum tahu, apa hubungannya Eza dan Tama—papanya.

"Kamu harus tahu kalau Papa dulu menikah dengan bundanya Eza. Dan kemungkinan besar kalian saudara satu ayah."

Rahman limbung dari posisinya. Dia tak pernah menyangka kenyataan makin tidak mendukungnya. Semesta ingin dia jauh dari gadis yang dicintainya.

Indira selama ini tidak sepenuhnya sibuk, dia masih bisa memperhatikan putranya. Bahkan saat dia mulai tertarik dengan Eza. Tetapi sayang, hari ini mimpi itu harus berhenti.

"Maafin, Mama! Semua karena kesalahan di masa lalu. Kalau saja dulu nggak ada kejadian memalukan itu, mungkin kalian bisa bersama."

"Belum tentu, Ma! Sudahlah! Semua sudah terjadi dan biarkan seperti itu. Rahman nggak mikirin Eza lagi."

Rahman langsung bergegas ke kamarnya. Berat tetapi memang harus dilakukan. Kalau Indira tidak bertemu Tama, mungkin juga dirinya tidak ada di dunia ini, dan bertemu Eza. Bahkan dunia Eza bisa langsung bahagia bersama Reihan, tanpa harus bertemu dengannya lebih dulu.

***

Warung sekarang dibuka lebih awal. Setelah Eza lulus dia lebih banyak waktu membantu Ratri. Apalagi pesanan makin banyak. Mungkin sementara waktu ijazah Sastranya disimpan dulu.

"Selamat pagi!"

Ratri dan Eza terkejut dengan kedatangan Tama. Mereka menunda membuka warung dan kembali membuka pintu rumah. Tama ingin menyelesaikan masalah yang dibuatnya.

"Anda ada perlu apa datang lagi? Saya susah bilang kalau tidak akan ikut dengan Anda." Eza tanpa basa-basi langsung marah.

"Za, jaga ucapan kamu! Dia ayahmu. Jangan lupa fakta itu!" Ratri tidak ingin Eza jadi anak durhaka. Didikannya selama ini bukan seperti itu.

Eza menghela napas panjang. Berusaha tenang dan diam. Langkahnya diseret masuk ke kamar. Lebih baik tidak mendengar sama sekali.

Setelah pertemuan itu, Ratri tampak lebih tenang. Kalau di warung dia selalu senyum dan tertawa, tetapi begitu sampai di rumah.  Dia terkadang murung. Kali ini tidak, Ratri merasa lebih lega dan bebas.

"Bebas?" tanya Eza saat Ratri memgajaknya bicara lagi.

Malam yang cerah, mereka di bale bambu samping rumah, ditemani teh hangat dan camilan.

"Iya, Bunda merasa lebih bebas melakukan banyak hal. Tidak terikat dengan orang yang tak tampak nyata." Ratri tersenyum dengan kalimat keduanya.

Iya, Ratri setuju bercerai. Tanpa harus menyerahkan Eza bersamanya. Tama hanya ingin bisa bertemu sesekali saja. Apalagi dia mendengar Eza akan menikah.

"Aku berharap masih hidup pada saat Eza menikah nanti. Jadi bisa menikahkannya, menyerahkan putriku satu-satunya pada pria yang mencintainya."

Itu kalimat yang membuat Eza mengubah pandangannya pada Tama. Dia tak seburuk yang dipikirkan selama ini. Dia ternyata mampu berubah lebih baik. Entah, apa motivasinya.

"Jadi, Bunda sudah resmi pisah sama Ayah sekarang?"

"Iya. Semoga dengan begini membawa kebaikan untuk semua."

Mereka mengucap amin bersama. Harapan baru datang, begitu masalah hidup juga akan datang. Tetapi Tuhan tidak pernah meninggalkan masalah tanpa jalan keluar, bukan?

Impian saat kecil dulu, seperti lagu yang sering disenandungkan Ratri saat Eza sulit tidur. Lagu anak-anak yang berjudul 'Andaikan Aku Punya Sayap'. Eza kecil ingin membahagiakan orang tuanya, sampai mereka tidak lagi perlu bekerja. Mimpi itu sempat berubah karena ulah Tama. Namun, masih berlaku bagi Ratri.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro