14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

14 - Little Queen Malizande

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Pencipta Wulan Benitobonita

"H-his Majesty ...."

Ketukan pangkal tombak pada lantai yang digenggam enam pengawal membuat cicitan Sir Wallace menghilang di akhir kalimat. Pria yang sedari tadi bersimpuh di atas lantai, di sisi Madame Lucie itu kembali menunduk.

Jantung Malizande berdetak kencang ketika suasana mencekam melingkupi ruang takhta. Bocah yang duduk di kursi ratu itu bahkan tidak berani untuk melirik ke sisi kanan, tempat suaminya berada.

Hening .... Tidak ada yang bicara dan hanya suara binatang malam yang terkadang terdengar.

Malizande tanpa sadar pun mengamati penampilan keduanya. Tubuh Madamme Lucie gemetar hebat. Bercak-bercak kemerahan menodai bagian leher yang sebagian besar tersembunyi oleh untaian rambut yang terjuntai bebas, sedangkan gaun luar wanita itu sama seperti Sir Wallace, dalam kondisi tidak terkancing rapi.

Apa Madamme Lucie tertidur di tempat lain? Kenapa Sir Wallace juga dipanggil ke sini?

Waktu berlalu, tetapi tetap tidak ada satu patah kata pun yang diucapkan Dominic. Pria itu seakan menunggu fajar menyingsing sebelum dia berkata kepada Madamme Lucie dengan nada dingin. "Suatu hal yang memalukan apabila seorang pengasuh calon ratu berperilaku seperti wanita di rumah pelacuran."

"His Majesty!"

Ketukan pada pangkal tombak kini menghentikan keinginan Madamme Lucie untuk membela diri. Perempuan yang pucat pasi itu meremas bagian depan gaun agar tetap melindungi sebagian besar tubuhnya sehingga tidak terlalu terekspos dan dia menunduk tanpa lagi berkata-kata.

Suasana hening di kala sang raja tidak langsung melanjutkan kalimatnya. Pria itu menjeda waktu cukup lama sebelum akhirnya berucap, "La Petite Reine, tulislah surat mengenai kejadian hari ini dan perintahkan pengasuhmu untuk menyampaikannya langsung ke ta mère."

"His Majesty!" Madamme Lucie sontak meraung. Perempuan itu beringsut mendekati podium sambil meneteskan air mata yang sedari tadi tertahan di pelupuk. "Saya minta maaf! Saya minta ma—"

"Tutup mulutmu!"

Bentakan Dominic membuat jantung Malizande seakan melompat keluar. Bocah delapan tahun itu refleks menggenggam sandaran tangan singgasana sambil bernapas cepat.

Takut. Rasa takut semakin menjadi-jadi dan membuat keringat dingin mengalir dari tengkuk Malizande.

Apa nanti giliranku? Apa dia juga akan membentakku? Sama seperti pere saat sakitnya kambuh?

Isakan tertahan dari Madamme Lucie terdengar jelas di ruangan, sedangkan tidak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibir Sir Wallace. Pria itu bahkan tidak berani lagi untuk mengangkat kepala.

"Kepak barangmu sekarang! Kau akan berangkat dengan kapal pertama pagi ini!"

Madamme Lucie membungkuk hingga tubuhnya yang gemetar hampir sejajar dengan lantai batu. Tangis perempuan itu semakin menjadi-jadi. Namun, tidak ada yang berani angkat suara, termasuk Malizande. Dia hanya diam sambil menahan gentar yang merasuki hatinya.

Apa artinya aku akan ditinggal sendirian di sini?

Takut ....

"Pengawal! Kawal perempuan ini untuk berkemas!"

Takut ....

Air mata Malizande menetes turun tanpa sadar saat Madamme Lucie berjalan terbungkuk-bungkuk meninggalkan ruang takhta.

Mere, aku takut sendirian di sini!

Tangis Malizande mendadak pecah saat sosok pengasuhnya tidak lagi terlihat. Bocah itu melupakan tata krama dan meraung.

Mere, aku mau pulang!

Kepala Malizande tertunduk. Dia memakai kedua punggung tangan untuk menyeka air matanya yang tumpah tanpa henti.

Aku mau pulang ....

Aku mau pu—

Jantung Malizande seakan melompat kaget ketika dia merasakan seseorang menepuk lembut kepalanya. Bocah itu mendongak dan mendapati suaminya ternyata telah berdiri di dekatnya.

Mata biru Dominic memancarkan kecemasan. Namun, pria itu menarik kembali tangannya ketika tangis Malizande mulai mereda.

Waktu berjalan lambat hingga Malizande benar-benar berhasil berhenti menangis. Sang calon ratu tanpa malu-malu memakai lengan pakaiannya untuk membersihkan wajahnya yang lengket dengan air mata.

"Saya harap kamu tidak lagi melakukannya," tegur Dominic sambil mengerut jijik kala Malizande membesit ingus dari hidungnya. "Itu jorok."

"Ma-maaf ...." Malizande mengucek matanya yang terasa bengkak sebelum akhirnya menunduk malu.

Embusan napas panjang terdengar dari Dominic. Pria itu kembali duduk di kursi kebesarannya dan berkata, "Sir Wallace, kau tidak diperlukan lagi di sini. Kosongkan kamarmu. Jangan sampai saya masih melihatmu di tempat ini."

Sir Wallace tidak membantah. Pria itu merunduk singkat sebelum bangkit dan berjalan keluar.

"Tinggalkan kami," perintah Dominic kepada kepada para pengawal yang masih berjaga di sana.

Keenam prajurit berzirah itu pun merunduk untuk memberikan hormat. Mereka berbalik dan meninggalkan ruangan.

Pintu tertutup dari luar hingga meninggalkan keheningan. Dominic dan Malizande terdiam di kursi masing-masing.

Malizande mencoba menetralkan napasnya yang sedari tadi menderu. Meski dia tidak lagi setakut sebelumnya, tetapi bocah itu tetap merasa sedih.

Dehaman pelan membuat Malizande menoleh ke arah suaminya. Dominic tampak salah tingkah. Pria itu berusaha memperbaiki posisi duduk sambil menegakkan punggung sebelum memulai pembicaraan.

"Dia bukan pengasuh yang baik."

Malizande tidak membantah meski bocah itu merasa keberatan. Madamme Lucie adalah teman terdekatnya, orang yang ikut dengannya, satu-satunya orang yang mengenal Malizande sejak dia masih baru bisa berjalan.

"Dia tidak bermoral dan tidak pantas menjadi pengasuhmu."

Benarkah?

Malizande kembali menunduk. Ucapan Dominic membuat bocah itu kebingungan. Moral, apa itu moral? Bukankah hal biasa seorang perempuan bermalam di kamar laki-laki? Seperti Pere dengan Madame Odette ataupun Mere dengan Oncle Louis? Pere bahkan sering berpikir kalau Madame Odette adalah Mere.

"La Petite Reine ...."

Suara halus Dominic membuyarkan pikiran Malizande dan membuat dirinya menoleh. Rasa tenang tiba-tiba menyergap bocah itu kala mendapati suaminya sedang menatapnya dengan sangat lembut.

Seulas senyum terukir pada bibir Dominic sebelum pria itu bertanya, "Bagaimana bila kau ikut berkeliling bersamaku? Kita dapat mengunjungi beberapa desa bersama-sama."

Eh? Mata Malizande pun melebar antusias. "A-apa Sophie boleh ikut?"

"Sophie?" Alis kanan Dominic terangkat. Pria itu menelengkan kepala dengan kening mengerut. "Apa dia seorang pelayan?"

"Bonekaku, My Love!" seru Malizande seketika.

"Ah, ya .... Ya, dia bisa ikut."

"Kalau Un Lapin?"

"Ya, kau bisa meminta pelayan untuk memasukkannya juga ke dalam peti."

Peti?

Bibir Malizande ternganga lebar. Bocah itu menatapi suaminya dengan pandangan tidak percaya.

"Kenapa?" tanya Dominic saat melihat ekspresi terkejut dari istrinya.

"Un Lapin tidak bisa bernapas kalau di dalam peti ...."

"Oh, begitu." Dominic yang menyadari kesalahannya langsung berdeham. Dia menegakkan punggung dan kembali bertanya, "Jadi, apa saranmu?"

"Apa aku boleh memeluknya? Dia bisa tidur di pangkuanku saat perjalanan."

"Oh, boleh saja ...."

Napas Malizande pun melega. Wajah bocah itu menjadi ceria kala Dominic melanjutkan pertanyaannya. "Ada lagi?"

Keraguan merayapi hati Malizande. Dia berpikir sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri untuk menjawab, "A-apa Pattey boleh ikut juga, My Love?"

Ekspresi Dominic seketika menegang. Pria itu seakan-akan sedang berusaha mengingat siapa itu Pattey hingga akhirnya bergumam pada diri sendiri.

"Pattey tidak bisa dimasukkan ke dalam peti."

"Tidak." Malizande menggeleng cepat, menyetujui ucapan suaminya.

"Bagaimana bila dia ikut di dalam kereta bersama Un Lupin?"

"Un Lapin," koreksi Malizande. "Dan, tidak bisa, My Love, Pattey terlalu besar untuk masuk ke dalam kereta."

Dominic terbatuk kecil. Jari-jari tangan pria itu mengetuk-ngetuk sandaran kursi, berpikir keras untuk melanjutkan kesimpulannya.

Jantung Malizande pun berdegup cepat ketika menunggu jawaban. Dia menatapi suaminya dengan penuh harap hingga akhirnya Dominic menyerah.

"Bawalah juga Pattey."

Malizande sontak bersorak kegirangan hingga tatapan penuh kritik dari Dominic membuatnya mengatupkan bibir. Bocah itu pun bangkit dari kursi dan sedikit menekuk lutut sambil berujar, "Terima kasih, My Love."

Senyum pada bibir Dominic mengembang. Pria itu kini bersandar santai pada kursinya kala menjawab, "Sekarang, tidurlah. Kita akan berangkat besok pagi."

Malinzade mengangguk kecil. Bocah itu turun perlahan dari podium sebelum berlari lincah menuju kamar tidurnya.

7 Januari 2022

Benitobonita

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro