17

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Pencipta Wulan Benitobonita

Pemandangan tenang kastil kini berganti menjadi kemeriahan. Pandangan Malizande terpaku akan kehebohan yang terjadi di kota yang mereka lalui. Langit tampak cerah kala para penduduk yang berkerumun di sisi kiri dan kanan jalan melempar bunga dan bersorak untuk mengiringi perjalanan sang raja dengan calon ratunya.

Bocah itu melirik ke arah suaminya. Dia melihat binar bangga pada wajah Dominic. Pria itu melambaikan tangan kanan kepada para penduduk yang didominasi kaum hawa.

"His Majesty! Princessa!"

Seruan antusias dari luar kereta pun akhirnya membuat Malizande meniru tingkah sang suami. Bocah itu ikut melambai sambil memasang senyum lebar.

Kereta terus melaju hingga sebuah benda lunak menghantam jendela sisi sang calon ratu dan pecah seketika, meninggalkan jejak merah. Malizande pun seketika memekik terkejut.

Di antara sorakan pujian, kini bercampur dengan cemooh saat keduanya masih terkaget-kaget. "Raja tolol! Menikahi anak kecil!"

"Berhenti!" gelegar Dominic. Dia memukul atap kereta hingga sang kusir menghentikan laju kuda.

Dominic membuka pintu dan beranjak keluar saat sebutir tomat kembali meluncur ke jendela Malizande dan membuat bocah itu beringsut menjauh sambil menjerit.

"Siapa yang berani menghina calon ratu negara ini?!" Teriakan Dominic mendominasi kericuhan yang terjadi di luar sana. "Tangkap mereka!"

Sekelompok pemuda yang semula bersembunyi di antara penduduk kini tampak berlari di mana sepasukan tentara mengejar mereka.

Napas Malizande memburu. Tubuh bocah itu gemetar kala keributan semakin nyata terdengar.

"Bangsa barbar ...."

"Mereka adalah bangsa barbar."

"Princessa akan dikorbankan ...."

Ucapan dari Oncle Louis dan bisikan-bisikan di antara pelayan istana berkelebat silih berganti pada benak Malizande.

"Tangkap semua yang terlibat! Bawa mereka ke hadapan saya!"

Gelegar Dominic menelusup dari sela lubang kereta dan menambah kepanikan Malizande. Kepala-kepala yang tertombak di atas benteng kini menguasai pikiran bocah itu.

Takut ....

"Bunuh yang melawan!"

Mere, aku takut ....

"Penggal dia!"

Mere! Aku takut!

"Princessa." Suara khawatir Mrs. Peach yang bersamaan dengan pintu kereta terbuka membuat Malizande menoleh.

Air mata bocah itu sontak meluruh saat melihat pengasuhnya kini duduk di sisinya sambil menutup pintu rapat-rapat. "M-Mrs. Pe-peach ...."

"Bunuh mereka!"

Mrs. Peach segera memeluk erat tubuh mungil Malizande. Dia mencoba menutup kedua telinga bocah itu dengan telapak tangannya sambil terus berbisik, "Tidak apa-apa .... Tidak apa-apa, Princessa. Semua akan baik-baik saja."

Jeritan seorang pria yang tertangkap membuat jantung Malinzade berdetak semakin kencang. Bocah itu menutup mata rapat-rapat saat dia mengeratkan pelukan pengasuhnya.

"Berani-beraninya kau, Manusia kotor!"

Suara Dominic yang berada tidak jauh dari kereta lagi-lagi mendominasi jeritan-jeritan baik dari pria dan wanita yang masih berlangsung.

"Sang Bunda penuh rahmat, lindungilah kami ...." Mrs. Peach melantunkan doa yang familier bagi Malizande. "... engkau yang terpuji di antara wanita ...."

Gemetar pada tubuh Malizande pun mulai berkurang. Napas bocah itu melambat seiring doa yang menyerupai lagu menenangkan pikirannya.

"... dan terpujilah putramu yang kudus. Sang Bunda penuh rahmat ...."

Mata Malizande kini terasa berat. Pelukan hangat Mrs. Peach membuat dirinya mengantuk.

"... dikuduskanlah namamu ...."

Malizande terlelap dengan satu wajah yang terbayang dalam ingatannya.

Mere ....

*****

Derak kereta sayup-sayup masuk ke pendengaran Malizande. Kelopak mata bocah itu terbuka secara perlahan. Sepasang kaki yang sedang duduk berada di hadapan, sedangkan kepalanya bersandar nyaman pada sebuah benda yang empuk.

"Sudah bangun?"

Sapaan dari si pemilik kaki membuat Malizande sontak terduduk. Dia mengucek mata memakai kedua punggung tangan sebelum berkedip-kedip.

Dominic yang duduk berseberangan dengannya tampak sedang bersedekap sambil mengamati tingkah istri mungilnya. Malizande menoleh ke sisi kiri dan menemukan bahwa Mrs. Peachlah yang telah menyangga kepalanya memakai bantal yang diletakkan di atas pangkuan.

"Selamat sore, Princessa." Bibir Mrs. Peach melengkung naik saat tatapan mereka bertemu.

Malizande terdiam sejenak. Namun, matanya menjelajah isi kereta sebelum dia berujar pelan. "Sophie ...."

"Sophie ada di peti, Princessa."

"Un Lapin?"

"Un Lapin bersama pelayan lain di kereta belakang," jawab Mrs. Peach saat Malizande mulai mendata teman-temannya.

"Patte?"

"Patte aman, Princessa. Karena dia mungil, dia berjalan di paling belakang bersama pasukan infantri."

Malizande mengangguk kecil. Bocah itu kemudian menoleh ke arah jendela. Langit hampir gelap dan kini pemandangan didominasi oleh pepohonan.

Mrs. Peach yang merasa wajib memberikan informasi pun berkata kepada Malizande. "Kita sudah keluar kota, Princessa."

Malizande tidak menjawab. Namun, bocah itu kembali mengangguk. Meskipun demikian, matanya tetap menatap ke luar jendela, seakan enggan untuk melanjutkan pembicaraan dengan siapa pun.

Noda merah pada jendela tidak lagi tampak. Namun, tidak ada satu patah kalimat pun yang hendak Malizande tanyakan mengenai kejadian sebelumnya.

Satu hal yang dia pelajari sejak lama, yaitu jangan bertanya mengenai hal yang tidak menyenangkan. Sama seperti saat sang ayah sembuh dari sakitnya, tidak ada yang mengungkit kejadian sebelumnya.

Dan kini, Malizande lebih memilih untuk menghitung jumlah pohon yang telah dilalui oleh mereka.

Lima ....

Enam ....

Tu—

"Tiga ribu dua ratus empat puluh tiga."

"Hah?" Malizande menengok ke arah Dominic. Suaminya ternyata ikut mengamati pepohonan yang baru saja diamati oleh bocah itu.

"Jumlah daun setiap pohonnya."

Penjelasan Dominic membuat Mrs. Peach terbatuk. Namun, pelayan perempuan itu tidak berani bereaksi lebih dan segera menunduk ketika sang raja memberikan tatapan tajam ke arahnya.

Kening Malizande pun mengerut kebingungan. Dia kembali menoleh ke arah jendela dan menemukan mereka sudah melewati pohon yang baru saja dijadikan subjek penelitian oleh suaminya.

"Kalau itu daunnya sebanyak empat ribu dua puluh delapan helai." Dominic menunjuk ke arah sebuah pohon trembesi yang menampakkan diri di luar jendela kereta.

"Bagaimana kau bisa mengetahuinya, His Majes—"

"My Love," koreksi Dominic sebelum Malizande menyelesaikan kalimatnya.

"Eh, My Love."

Malizande dengan patuh mengikuti keinginan Dominic. Raut penasaran tergurat jelas pada wajah mungilnya.

"Tentu saja saya tahu." Dominic sontak membusungkan dada. "Saya bahkan bisa meramal apakah malam ini akan hujan atau tidak."

"Eh, benarkah?" Mulut Malizande pun menganga tidak percaya.

Seringai seketika terbentuk pada bibir Dominic. Pria itu memajukan tubuh untuk mengamati langit dari jendela kereta.

"Tidak hujan," ucap Dominic setelah beberapa saat kemudian.

Apa dia keturunan penyihir?

Malizande kini menatapi suaminya dengan terkagum-kagum. Namun, bibir Mrs. Peach yang sedikit berkedut, seakan menahan senyum, membuat bocah itu curiga.

"My Love, apa kau berbohong?"

Mata Dominic sontak melebar. Dia memberikan tatapan tidak percaya kepada istrinya sebelum menegur pertanyaan tidak sopan itu. "La Petite Reine, tidak sepantasnya seorang calon ratu meragukan ucapan rajanya."

"Ma-maaf."

Malizande yang merasa bersalah pun langsung menunduk resah. Aku lagi-lagi salah bicara.

"Baiklah! Demi membuktikan ucapanku kita akan bertaruh!"

Malizande pun mengangkat kepala saat mendengar seruan antusias dari Dominic. Pria itu tersenyum lebar dan berkata, "Apabila malam ini hujan maka kau boleh meminta apa pun dariku."

"Apa pun, My Love?"

"Apa pun."

Bayangan sosok pengasuh lamanya sontak berkelebat dalam benak Malizande. "A-apa Madamme Lucie boleh kembali ke sini?"

Seringai pada wajah Dominic sontak menguap. Bibir pria itu menipis saat menampilkan raut geram. Namun, dia tetap menganggukkan kepala.

Ekspresi cerah sontak menghias wajah Malizande. Bocah itu bahkan hampir memekik saat berkata dengan nada riang. "Terima kasih, My Love!"

Akan tetapi, Dominic tidak langsung menerima ucapan istrinya. Pria itu malah mengangkat alis kanan sebelum berkata dengan nada tegas. "Dan, apabila tidak hujan ...."

"Ya, My Love?"

"Jangan ceritakan kejadian hari ini ke siapa pun, termasuk ke orangtuamu."

31 Januari 2023
Benitobonita

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro