🐊24🐊 Berhenti

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sepasang suami-istri itu tergesa-gesa menuju ke ruang VIP tempat Gania dirawat. Mereka berdua adalah Selita dan Reon, orang tua Gania yang segera datang setelah mendapat kabar kalau anak mereka sudah melahirkan. Mereka tidak sabar melihat cucu mereka yang baru datang ke dunia.

Reon membuka pintu dengan pelan, lalu masuk bersama Selita. Betapa bahagianya mereka melihat pemandangan yang tampak romantis itu. Ghanu dan Gania tidur bersama dengan buah hati mereka berada di tengah-tengah. Mereka tidak tahu saja kalau Gania sangat menderita memiliki suami seperti Ghanu, tetapi Gania tidak akan pernah memberi tahu semuanya pada orang tuanya. Ia tidak ingin membuat mereka khawatir.

"Mereka tampak bahagia ya, Ma," kata Reon pada Selita. Sementara Selita hanya mengangguk sambil meneteskan air mata karena terharu. Kemudian ia segera mengusapnya dan meletakkan keranjang buah yang dibawa oleh Reon di sebuah meja. Setelah itu, mereka duduk di sofa sambil menunggu pasangan suami-istri itu bangun.

"Sepertinya Ghanu memperlakukan anak kita dengan baik, Pa. Dia terlihat menyayangi Gania," ucap Selita sambil terus memandangi tiga orang yang sedang tidur itu.

Anak Ghanu yang sedari tadi memang sudah terbangun tiba-tiba menangis, membuat Ghanu tersentak hingga laki-laki terbangun dengan wajah yang terlihat mengantuk. "Ya ampun, Bocil. Kenapa nangis lagi sih?" keluh Ghanu sambil menepuk-nepuk tubuh anaknya dengan lembut.

Reon dan Selita yang melihat itu sontak terkikik geli. Mereka merasa lucu karena Ghanu memanggil anaknya dengan sebutan Bocil. Mendengar sebuah suara yang sepertinya bukan dari Gania, Ghanu pun membuka matanya secara paksa. Betapa terkejutnya ia melihat mertuanya ada di sana.

"Ya ampun, Mama sama Papa kapan sampai? Aku lupa ngasih tahu kalian kalau Gania melahirkan. Aku cuma sempet ngasih tahu orang tua aku aja. Maaf, Ma, Pa," kata Ghanu yang langsung merubah posisi duduknya. Anaknya sudah terdiam lagi begitu mendapat tepukan lembut dari tangan sang ayah.

"Baru aja kok. Tenang aja, kami udah tahu duluan kok. Tadi temannya Gania nelepon Mama dan bilang kalau Gania harus operasi caesar dan perlu persetujuan keluarga. Dia bilang kalau kamu itu sedang kejebak macet dan enggak bisa dateng ke rumah sakit tepat waktu. Jadinya Mama nyuruh dia buat pura-pura jadi suaminya Gania karena udah kepepet banget. Kebetulan kami tadi sedang di luar kota dan langsung balik setelah dapet kabar begitu," sahut Selita sambil tersenyum.

"Maaf, Ma. Aku belum bisa jadi suami yang baik buat Gania," kata Ghanu sambil menunduk.

"Jangan merasa bersalah, Ghanu. Kamu 'kan enggak bisa bikin jalanan jadi lengang. Lagian Gania selalu cerita kalau kamu itu sangat baik. Dia bilang kalau kamu selalu nemenin dia cek ke dokter. Tante maklum kok, bukan salah kamu kalau jalanan macet," tutur Selita.

Ghanu terdiam setelah mendengar penjelasan Selita. Menemani setiap cek ke dokter? Tidak, Ghanu tidak melakukan itu. Ia hanya beberapa kali menemani Gania dan itupun karena terpaksa. Ia juga bahkan tidak tahu-menahu tentang hasil USG kandungan Gania. Segitunya Ghanu tidak peduli pada Gania. Namun, Gania malah mengatakan sebaliknya pada Selita dan Reon.

"Iya, Ma," sahut Ghanu dengan suara tidak jelas.

Cukup lama mereka mengobrol antara satu sama lain. Bahkan Ghanu sudah belajar menggendong anaknya yang diajarkan langsung oleh Selita yang sudah berpengalaman. Anak Ghanu itu tidak terlalu rewel seperti bayi-bayi lain. Hanya beberapa kali saja ia menangis. Setelah dibelai oleh Ghanu, ia kembali diam.

"Oh my God, Ghanu! My grandchild, Grandma dateng!" Sebuah jeritan yang berasal dari ambang pintu membuat Ghanu terkejut bukan main. Bahkan anaknya yang tadinya tenang langsung menangis mendengar jeritan Urela yang datang bersama George.

"Mom, nangis itu jadinya. Lower your voice," bisik George. Sementara Urela hanya cengengesan sambil berjalan mendekati Ghanu yang sedang menenangkan anaknya. Urela tampak sangat menyukai anak Ghanu dan Gania.

"Gimana keadaan Gania, Ghanu?" tanya George sambil menatap Gania. Kemudian ia berjalan ke arah sofa, lalu duduk di dekat kedua orang tua Gania dan menyapa mereka.

"Kata dokter, Gania mungkin kelelahan dan perlu istirahat. Tunggu sampai besok katanya," ucap Ghanu. Ia pun kembali menaruh anaknya di samping Gania. Kemudian ia duduk bersama kedua orang tuanya dan juga kedua mertuanya.

"Mumpung lagi bersama, gimana kalau kita pikirkan nama buat anak mereka. Belum ada nama, 'kan?" usul Reon yang langsung disetujui oleh George, Urela, dan Selita.

"Udah ada panggilannya," sahut Ghanu sambil tersenyum polos.

"Siapa namanya?" tanya Selita.

"Bocil Orionus. Bagus, 'kan?"

"Yang bener aja kamu. Very creative," ejek George sambil menggelengkan kepalanya. Masa iya cucu pertamanya dinamai seperti itu.

"Tahu tuh, yang bagus kek. Biar penuh makna," imbuh Urela.

"Jadi bingung," kata Reon.

"Wilder? Setahu saya nama ini bermakna penuh petualangan dan juga karakternya biasanya karismatik," usul George.

"Bagus, unik, dan enggak pasaran. I like it," kata Ghanu yang langsung menyetujuinya. Semuanya pun mengangguk setuju.

"Tapi, nama ini juga bermakna liar. "

"Enggak papa, biar mirip sama aku. Lagian nama itu bukan penentu karakter seseorang. Aku suka sama nama ini," jelas Ghanu sambil menyengir. Entah kenapa dia sangat suka dengan nama yang diusulkan oleh George.

"Right. Seperti kamu, nama kamu itu bermakna orang yang bertanggung jawab, tapi nyatanya bertolak belakang," ucap George pelan. Ghanu terdiam mendengar ucapan George. Sebagus itukah namanya yang George pilihkan untuknya?

"Sekarang nama tengah dari orang tua Gania, biar adil," kata Urela yang berusaha mencairkan suasana yang tiba-tiba jadi canggung.

"Wilder Nareshwara? Naresh itu artinya raja atau pemimpin pria. Kalau Nareshwara itu artinya mulia dan bijak," usul Reon.

"Wow, kalian kreatif ya," puji Ghanu sambil bertepuk tangan pelan. Padahal tadi ia sangat pusing untuk memberi nama anaknya itu sehingga ia terpaksa memanggilnya dengan sebutan Bocil terlebih dahulu.

"Iyalah, enggak kayak kamu. Orang tua mana yang namain anaknya Bocil?" cibir Urela.

🐊🐊🐊

Setelah semua orang pergi, kini hanya tersisa Ghanu, Gania, dan juga anak mereka. Gania menatap dua orang itu bergantian dan merasa kalau mereka tampak mirip. Bentuk garis alis dan bibir mereka sangat mirip. Walaupun alis Wilder belum banyak tumbuh, tetapi ia bisa melihat kalau alis mereka mirip.

Ghanu melamun beberapa dan memikirkan semua yang telah ia lalui bersama Gania. "Aku jahat ya sama kamu? Tapi, dari awal aku udah bilang, jangan cinta sama aku. Kalau kamu enggak cinta, kamu enggak bakal terluka," lirih Ghanu pelan. Kemudian ia merubah posisinya menjadi membelakangi Gania.

Tanpa Ghanu sadari, Gania membuka matanya perlahan dan menatap punggung Ghanu dengan ekspresi datarnya. Sebenarnya Gania sudah terbangun sejak tadi, hanya saja ia enggan membuka matanya. "Anak aku beneran laki-laki. Aku kira USG bisa salah, ternyata akurat. Apa dia bakal seberengsek Ghanu nanti?" batin Gania sambil menatap anaknya yang sedang tertidur.

Ghanu perlahan-lahan bangun tanpa menoleh ke belakang, lalu berjalan menuju kamar mandi. Gania bernapas lega, ia bisa bebas menyentuh anaknya tanpa membuat Ghanu tahu kalau ia sudah sadar.

Tak lama kemudian, suara pintu kamar mandi yang terbuka membuat Gania yang sedang mengelus pipi anaknya langsung memejamkan matanya kembali. Ia berusaha terlihat senatural mungkin saat memejamkan matanya.

"Secapek apa sih kamu sampai gak mau bangun, Gania?" tanya Ghanu sambil berjalan mendekati pinggir kasur dan duduk tepat di sebelah Gania. Ia menatap istrinya yang masih menutup mata, sama seperti posisi terakhir kali.

"Capek banget, Ghan. Pengin pergi rasanya. Enggak ada gunanya lagi hidup aku sekarang," batin Gania.

"Aku pengin mencintai kamu seperti suami di luar sana. Tapi, kamu enggak bisa bikin aku bahagia seperti dulu. Entah kenapa aku ngerasa bosan," bisik Ghanu. Ia membelai rambut Gania dengan lembut dan menatap wajah Gania yang semakin hari semakin berkurang kecantikannya menurut Ghanu. Kemudian, ia mendekatkan wajahnya ke wajah Gania hingga napasnya menerpa seluruh wajah Gania.

"Gania," panggil Ghanu saat merasakan sesuatu yang aneh. Ia tidak dapat merasakan napas Gania. Gania berhenti bernapas hingga membuat Ghanu panik. Beberapa kali ia mengulangi menaruh tangannya di hidung Gania, tetapi tetap saja ia tidak merasakan napas.

"Tenang, Ghanu, alat monitornya masih gerak," kata Ghanu sambil menarik napas dalam-dalam. Sekali lagi ia mengecek napas Gania, tetapi benar-benar berhenti. Karena sangat panik, ia bahkan memukul alat monitor itu sambil berteriak memanggil dokter.

Ghanu berlari keluar dari ruangan dan mencari dokter. Ia takut kalau alat monitor itu rusak. Ia takut kalau Gania benar-benar berhenti bernapas untuk selamanya. "Dokter! Dokter buruan! Istri saya berhenti bernapas, Dok!"

🐊🐊🐊
Ada plot hole gak sih? Kejadian yang gak masuk akal gitu? Takutnya kan ada. Kasih tahu ya kalau ada hehe, biar bisa aku revisi.
🐊🐊🐊

Rabu, 3 Februari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro