Ramadan 2: God Doesn't Leave You

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Barangkali kau merasa Tuhan telah meninggalkanmu. Atau justru kau yang telah memunggungi Tuhanmu?

Barangkali kau meyakini sesuatu yang terjadi dalam hidupmu tidak adil. Mana tahu jika Tuhan memiliki rencana lain?

Mungkin saja, Tuhan tidak pernah mau mengabulkan doa-doamu, karena Tuhan ingin menggantinya dengan yang lebih indah dari doamu.

Ketika kau merasa cinta Tuhan telah lepas, hilang dan sirna. Godaan datang silih berganti lantas kau terpuruk menahan gelisah sendiri, Tuhan hanya ingin kau datang.

Bahkan ketika kau datang dengan segala masalah yang memberatkan punggungmu, Tuhan tetap menerimamu laksana seorang ibu.





God Doesn't Leave You.





"Kamu yang buat?" Hima menutup buku bersampul hijau, beralih atensi pada Telaga—laki-laki yang begitu antusias saat Hima membaca tulisan tangan dirinya secara langsung.

"Iya, bagaimana?"

"Bagaimana apanya?"

Membalikkan pertanyaan, Hima mengembalikan buku yang sempat dipegangnya pada pangkuan Telaga.

"Sejak kapan kata-katamu menjadi puitis? Aku nggak suka puisi, kamu tahu itu,"

Telaga mengangguk paham, dirinya hanya memiliki niat lain ketika meminta Hima membaca puisi itu.

"Ima, Tuhan kita... Allah, nggak pernah meninggalkan kita." Telaga tercekat—sangat mengganggu, laki-laki berkemeja abu-abu dengan balutan almamater biru tua ini tahu, kalimatnya pasti sensitif bagi Hima—gadis yang sedang berjuang dalam dunia kuliah dan terperosok pada keputusasaan.

"Allah pasti membantumu saat sulit, kamu hanya perlu mendatangi Allah. Kamu tahu, Allah mencintai umatnya, termasuk kamu. Allah cinta padamu, Im."

"Jika cinta, Tuhan seharusnya nggak akan pernah memberiku kesulitan, Ga!" Hima tersulut emosi, menurutnya, Telaga terlalu menggurui.

"Bukannya hidup seperti roda? Kita akan naik setelah di bawah. Lagipula, Im, mana ada sih, hidup yang enak-enak aja, mudah-mudah aja? Kalau begitu manusia nggak pernah belajar. Akhirat nggak akan ada neraka, dunia pasti damai layaknya surga, nggak ada pencuri, nggak ada pembunuh. Karena hidup manusia mudah."

Hima menahan mati-matian amarahnya untuk tidak meledak sekali lagi—berteriak keras seperti pertama. Dirinya masih belum bisa menerima semua kalimat-kalimat Telaga.

"Hari ini kamu puasa, 'kan?"

Pada akhirnya Telaga menyerah, lebih baik mengalihkan topik daripada memanjang dan berakhir Hima mengusirnya.

"Bukan urusanmu,"

"Kita berbuka bersama, ya?" Telaga mengambil botol air mineral bersama roti dalam ranselnya, baru dibeli sebelum menemui Hima yang setiap sore duduk sendirian dalam perpustakaan umum.

Azan berkumandang selirih Telaga mengucap syukur. Perpustakaan 24 jam berangsur sepi, hanya ada penjaga dekat pintu.

"Ini, kamu minum dulu." Tangan kanan Telaga mengulur—memberikan botol kemasan.

Kedua bola mata hitam Hima menurun, menatap botol itu sesaat. "Kamu saja, aku nggak puasa...."

"Tapi kamu menahan lapar dan haus, 'kan?" Telaga masih mengulurkan tangannya. Meski Hima tidak puasa—tidak berniat puasa, tetapi Telaga tahu kalau gadis itu tidak makan minum seharian.

Alhasil Hima menerima air mineral dari Telaga setelah tidak henti dibujuk, meminum seteguk, kemudian Hima merasa ingin menangis. Kedua matanya panas, bersama perasaan sesak menguap.

"Ga, seperti apa yang kamu tulis di puisimu... aku rasa, aku yang telah memunggungi Tuhan, berjalan menjauh dari Dia." kata Hima, menaruh botol di atas meja, tubuhnya bergetar mengalangi tangis. "Menurutmu, setelah aku meninggalkan Tuhan, lalu jika aku kembali berdoa, apa Tuhan akan mendengarku?"

Kedua tangan Telaga sibuk membuka bungkus roti, walau begitu bibirnya mengukir senyum sebentar sebelum menjawab. "Kamu masih ingat perkataanku yang belum lama barusan, 'kan? Allah tidak pernah meninggalkan kita, meninggalkan kamu, jadi Allah pasti menerimamu kembali dan mendengarmu."

"Ternyata aku rindu,"

Telaga memerhatikan Hima, gadis itu menyeka air yang berhasil merembes dari kedua matanya. Telaga bahkan sampai berhenti membuka bungkus roti.

"Aku rindu berdoa, Ga, menceritakan masa-masa sulitku pada Tuhan... pada Allah...."

"Kalau begitu, sehabis berbuka kamu ikut bersamaku, kita bertandang ke rumah Allah, hm?"

Penawaran Telaga langsung mendapat persetujuan dari Hima. Telaga berpikir, setidaknya Hima memiliki rasa rindu untuk Sang Pencipta. Telaga kembali memahami satu sisi dari sudut pandang Hima, bahwa dalam lubuk hati paling dalam, di sudut tertentu, sebetulnya manusia memiliki cinta tersendiri pada Tuhannya. Manusia tidak pernah benar-benar lupa pada Sang Pemberi, manusia hanya begitu lalai sebab merasa kesulitan.

.
.
.

Bogor, 07 Mei 2019
D-28

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro