Ramadan 3: I'm a Clock

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebut aku monoton, meski begitu kau harus percaya kalau akulah saksi tunawicara kehidupan manusia sepanjang masa. Kau juga dapat menyebutku si pantang menyerah, karena aku tetap berjuang membantu manusia mengetahui waktu setiap hari—sampai titik bateraiku habis, aku masih ingin berguna kendati pada akhirnya jarum detik menitku tak bisa lagi bergerak.

Sepertiku, 24 jam terus berputar di angka itu-itu saja, kalau dipikir, kehidupan manusia juga sama—membosankan, tetapi karena selalu ada rahasia tersembunyi dari hari ke hari yang tidak diketahui manusia, membuat mereka tertantang tetap bertahan untuk hari esok, bertanya-tanya tentang apa yang akan terjadi lagi. Kejadian hari ini dan kemarin bagi kehidupan manusia berbeda, walau aktivitas mereka sepanjang hari cenderung melakukan hal serupa, semisal berangkat bekerja, pulang, istirahat. Lalu yang di rumah, mencuci, bebenah ruangan, memasak.

Sampai sini, mungkin aku terlalu banyak berbasa-basi. Ah, tetapi ketahuilah, aku hanya ingin kau mengerti betapa berharganya hidup. Biarkan aku menjadi pencerita hari ini. Bukan. Aku tidak akan berkisah mengenai diriku, melainkan tentang dua bocah bersaudara. Hanya cerita sederhana, bahkan kau bisa melanjutkannya sembari duduk di teras rumah.

Namanya Ilmi, seorang gadis yang baru lulus dari Sekolah Menengah Pertama. Sore ini, Ilmi terus memerhatikanku—tidak, lebih tepatnya mengamati jarum jamku yang masih mengarah pada angka lima. Mungkin dia menunggu waktu berbuka tiba. Lantas Ilmi mendengus. Dari raut wajahnya, ketahuan sekali kalau dirinya kesal.

Ilmi duduk di kursi meja makan, lalu menyandarkan kepalanya di atas meja. Abidar—bocah berusia 6 tahun—bungsu dalam keluarga kecil ini mendekati Ilmi yang tengah lesu. Dengan jahil, Abidar menarik-narik rambut Ilmi bak rambut kakaknya sapu injuk yang biasa ia mainkan seusai ibunya menyapu. Sang kakak tetap bergeming, entah bagaimana raut wajah Ilmi saat ini, aku hanya bisa memandang punggung mungilnya.

Bukan hanya tangannya yang jahil, Abidar bersama kelakuan kanak-kanaknya mengejek Ilmi yang tidak puasa kemarin, juga mengatai kakaknya gendut. Sebetulnya, kata terakhir Abidar aku tak setuju, tubuh Ilmi bahkan kecil untuk ukuran gadis berusia 15 tahun.

BRAKK!

"Bisa diam nggak?!"

Tidak tahu bagaimana, Ilmi menggebrak meja sekaligus berteriak. Abidar menangis dan ibu dari dua bersaudara itu dengan cepat muncul di tempat kejadian.

"Ilmi, kamu apain adekmu?"

Sang ibu menatap Ilmi tegas, tanggapan Ilmi hanya angkat bahu tidak peduli. Gadis itu baru ingin pergi, lalu sang ibu justru kembali meminta anak gadisnya duduk.

"Apa sih, Bun?"

"Jawab dulu pertanyaan Bunda, kamu apain Abidar?"

"Nggak aku apa-apain, Abidar saja yang cengeng. Huh, dasar anak cengeng!"

"Kakak membentakku, Kakak membentakku, Bun...." bocah ini mengadu—bernada merengek.

"Itu nggak akan terjadi kalau kamu nggak usil!"

"Ilmi,"

Meski pelan, kata sebut itu teguran, Ilmi jelas menangkapnya.

"Apa? Bunda mau menyalahkan aku?" Ilmi sepertinya benar-benar dongkol. "Abidar yang lebih dulu memancing emosiku, jadi bukan salahku, Bun!"

"Ilmi kamu lagi puasa, tahan amarahmu. Seharusnya kamu bisa mengalah...."

"Lagi? Kenapa aku harus mengalah terus sama anak itu? Bunda selalu saja membela Abidar!"

Amarah Ilmi meradang, dari samping kelihatan wajahnya memerah. Sementara Abidar beringsut—bersembunyi di belakang ibunya sejalan Ilmi bangkit dari kursi—pergi memasuki kamar, menutup pintunya dengan keras.

Jarum jam pendekku bergeser pada angka enam, buka puasa dimulai, lalu keadaan dingin dua bersaudara mendapat perhatian dari sang kepala keluarga.

"Kalian kenapa?"

"Habis bertengkar, Yah." Ibu dari kedua anak itu yang menjawab.

"Bertengkar?"

"Kakak membentakku," sela Abidar, merasa dirinya korban dalam pertengkaran tadi.

"Itu karena kamu jahil, Abidar!"

"Stt... sudah, nggak baik berteriak depan makanan. Ilmi, Abidar, ayo saling minta maaf, jangan bermusuhan begini,"

Benar, ayah mereka selalu bisa bersikap bijak, terlebih saat seperti sekarang.

"Nggak mau."

Dua anak itu kompak melontarkan penolakan, membuat atmosfer semakin dingin.

"Kalau begitu Ilmi lebih dulu... ayo Nak, ucap maaf,"

Sesaat mata Ilmi menukik tajam ke arah si bungsu. "Kenapa aku, sih? Abidar yang duluan, Yah. Mentang-mentang dia yang paling kecil di sini, iya? Ayah sama Bunda sama saja, belain terus Abidar!"

"Ayah bukannya bermaksud untuk membela Abidar. Ilmi pernah diajarin, 'kan? Seseorang meminta maaf duluan bukan berarti salah, justru orang-orang yang meminta maaf lebih dulu paling mulia, rendah hati."

Nasihat sang ayah hanya mendapat tanggapan diam dari Ilmi.

"Kalian bersaudara, suatu saat kalian akan saling membutuhkan, jadi Ilmi, baikan sama Abidar, Nak...."

Raut terpaksa terpancar dari Ilmi, hanya sebentar. Ilmi kembali menatap adiknya, kali ini pandangannya melembut.

"Maaf. Sudah membentakmu,"

Abidar menampilkan senyum polos, dengan ringan ia berdiri—berjalan memutar meja makan demi bisa sampai dekat sang kakak.

Tangan kecilnya terulur. "Abidar juga minta maaf, ya Kak? Abidar janji, nggak akan iseng lagi sama Kakak."

"Benar lho, ya?" Ilmi menjabat tangan Abidar sebagai perjanjian tak tertulis. Tapi mana tahu esoknya berubah? Ya... itu yang kusebut dengan kejadian dalam hidup manusia berbeda setiap hari, begitu beragam.

Yang bisa kau ambil dari ceritaku, bahwa dalam hubungan persaudaraan akan ada pertikaian, sedekat apa pun dirimu dengan saudara—entah adik, kakak atau sepupu, sesekali masalah kecil seperti salah paham pasti menghampiri hubungan erat itu menjadi merenggang.

Maka jangan biarkan keegoisan menguasai diri. Hanya perlu kata maaf, kedamaian akan tercipta, mengalahkan ego.

.
.
.

Bogor, 08 Mei 2019
D-27

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro