Ramadan 4: Dria Gadis Baik

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malam kelam tanpa bintang
Redup tertutup kabut hitam

Yang tidak peduli bagaimana rupa
Yang tidak peduli apa agama

Kau memahamiku tanpa alasan
Kau menerimaku dengan kebaikan

Sudah lama, sekitar dua tahun lalu saat diriku masih duduk di bangku SMA. Yah, aku tidak salah, aku betul masih mengingat bagaimana diriku tertawa tak terkendali ketika Dria memberikan kata-kata itu sebagai salam perpisahan. Aku tidak menertawai dia yang akan pergi, melainkan katanya, tulisan dalam secarik kertas itu puisi bernama pantun. Setahuku, pantun hanya berisi empat baris. Drama perpisahan tertunda karena aku yang mengejek Dria karena tulisannya. Baik, mari katakan itu puisi saja, karena memang aku bisa menangkap makna yang tersirat dalam tulisan Dria.

Sampai suara lonceng pertanda pulang sekolah berbunyi, aku masih terus mengejeknya. Dalam hati menahan diri—tidak mau membahas kepergian Dria esok hari. Jujur, aku belum rela kalau Dria pergi—memikirkan kalau hariku di sekolah pasti akan sepi tanpanya.

"Nes."

Dria bersuara, dan aku terus tertawa tidak jelas. Langkahku nyatanya semakin melambat seiring Dria berhenti melangkah. Mau tak mau, kedua kakiku ikut terhenti. Dria berpindah posisi di hadapanku.

"Aku nggak akan pernah lupa sama kamu, kebaikan kamu... itu kenangan yang pantas untuk dikenang."

Aku memilih membisu, menatap lurus Dria yang memancarkan kehangatan dari cahaya matanya. Aku akan merindukan kedua mata teduh itu.

"Suatu kepastian, aku bakal kehilanganmu. Tetapi kalau kita dekat terus, aku akan terlalu bergantung padamu. Nes, jaga baik-baik dirimu, ya?"

Tidak pernah tercipta dalam benakku kalau ada drama perpisahan semacam ini, antara aku dan Dria—sahabatku, sahabat terbaikku. Aku tidak berlebihan menyebutnya terbaik, karena memang itu faktanya. Lalu di akhir, aku menemukan kebenaran bahwa aku yang membutuhkan dia.

"Memang harus banget ya pergi? Memangnya nggak bisa menunggu sampai hari kelulusan?"

Kalimatku sudah cukup mewakili betapa gundah perasaan ini. Ada rasa takut. Kehilangan, salah satu hal paling menyesakkan bagi manusia. Ketika kau telanjur menyayangi seseorang, akan sangat sulit melepasnya, kan? Aku merasa begitu.

"Orang tuaku sudah mengambil keputusan, Nes. Eihh... sudah, mengapa kamu pasang raut seperti itu?" Dria tersenyum kemudian, menampilkan sepasang lesung pipitnya. "Hanya berjarak Bali dan Bogor. Selama kita masih ada di negara yang sama, kita pasti bisa bertemu lagi lain waktu."

Itu kalimat terakhir dari percakapan kami dua tahun lalu, karena diriku sendiri tidak bisa lagi berkata macam-macam. Terlalu sulit untuk mengekspresikan diri melalui omongan. Aku juga tidak mungkin mencegahnya pergi.

Dria gadis baik, kuberitahu. Tidak tahu siapa lebih dulu memulai, Dria mendapat perlakuan buruk di lingkungan sekolah. Mereka yang tidak menyukai Dria berkata, bahwa gadis itu berbeda, dari segi agama bahkan kulit—Dria memiliki kulit lebih gelap—namun begitu manis di mataku. Tadinya, aku tidak memiliki minat apa pun tentang Dria atau segala kehadirannya kalau kami tidak dipersatukan karena tugas kelompok.

Setiap kali tugas berlangsung, aku menyaksikan ketidakadilan, diskriminasi yang amat jelas dari ketua anggota pada Dria. Apa pun yang dicatat Dria mengenai penelitian, tidak dianggap, tidak dimasukkan sebagai daftar anggota yang bertugas. Bukan hanya itu, ketika Dria menolak untuk meretas perut katak, karena fobianya melihat darah saat ada penelitian membedah, ketua kelompok kami mendorongnya hingga hampir jatuh —jika Dria tidak menopang tubuhnya sendiri—memegang dinding di samping.

"Dasar payah!"

Refleks, kedua tanganku yang sedang mencekam katak—sudah siap dibedah, terlepas sehingga katak berlemak itu bergerak, melompat serabutan—membuat tiga anggota sekaligus ketua kelompok menjerit panik. Tak peduli, aku menarik Dria keluar dari ruang penelitian, membawanya ke dalam kelas.

"Kenapa kamu diam saja, huh?" tanyaku, bukan penasaran, hanya aku tidak mau Dria terlihat bodoh di depan mereka. Aku yakin Dria mengerti maksud pertanyaanku.

Alih-alih menjawab, isakkan halus terdengar, membuatku semakin tidak tega. Aku membiarkan, mungkin menangis membuatnya lebih tenang.

Persahabatan kami mulai tersusun semenjak hari itu. Setiap tahun, jika Natal tiba, aku mengucapkan selamat untuknya, dan Dria melakukan hal sama saat Idul Fitri. Kami saling menghargai dan menerima segala kekurangan. Di satu kesempatan, Dria pernah melontarkan pertanyaan padaku, pertanyaan yang kemudian berdampak pada hubungan persahabatan kami semakin erat.

"Nessa, mengapa kamu sangat baik padaku padahal semua orang menjauhiku? Kita beda agama, mengapa kamu mau berteman denganku?"

"Hmm... guru mengajiku mengajarkan, kalau semua manusia sama, yang membedakan hanya tingkah laku mereka. Aku yakin, kamu juga diajarkan tentang pandangan Tuhan pada umatnya. Dunia tempat ujian, salah satu ujian manusia hidup dengan beragam perbedaan. Tetapi dari perbedaan itu, kita bisa banyak belajar," sahutku, mengunyah kacang sampai halus sehingga bisa kutelan.

"Lagipula, pertemanan tidak melihat perbedaan agama, latar belakang, apalagi seberapa banyak kekayaan. Pertemanan yang paling benar menerima apa adanya."

Malam ini, detik aku menulis kisahku bersama Dria, aku sedang amat merindukannya. Secarik kertas berisi puisi itu masih bisa kubaca, kertasnya tidak lecek—aku selalu menyimpan dengan rapih.

---

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.”

(Al-Hujurat 13).

.
.
.

09 Mei 2019
D-26

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro