Ramadan 29: Tarawih Terakhir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tiga Juni kemarin tarawih terakhir, jamaah masjid lebih banyak banding minggu lalu. Terlintas dalam benak; ah, sudah sejauh ini. Oh, ternyata sudah mau hari raya. Ya ampun, waktu cepat berlalu, ya? Bagaimana mungkin Ramadan sudah mau berakhir satu hari lagi? 

Lama-kelamaan, pemikiran itu membuat hati sedih meski ada rasa senang terselip. Ingin menangis rasanya. Apa aku terlalu berlebihan? Fakta menyebutkan itu memang benar terjadi.

Ketika tarawih dimulai, lalu mengingat ini yang terakhir, seperti akan kehilangan orang tercinta. Tahun depan, tidak tahu apa aku masih diberi kesempatan bertemu Ramadan, diberi peluang merenung untuk memperbaiki diri seperti saat ini. Tidak tahu juga kapan akan makan bersama keluarga dalam satu meja lagi. Sebab kalau bukan Ramadan, anggota keluarga makan sendiri-sendiri entah karena pekerjaan atau kegiatan lembur.

Usai tarawih, diriku masih duduk di masjid. Sangat jarang bertandang ke rumah Allah kalau bukan shalat tarawih atau Ied. Kemungkinan aku akan merindukan masjid yang selama satu bulan bagai rumah kedua; begitu hangat, nyaman, merasa kalau Allah terus menyaksikan umatnya.

Terlalu banyak curahan hati, ya? Sebetulnya, bukan hanya ingin menceritakan perasaanku mengenai tarawih terakhir, tapi juga menceritakan tentang seorang gadis yang kukagumi selama Ramadan tahun ini.

Dia duduk di samping seiring diriku menoleh arahnya. Cantik. Perempuan bernama Arana Huan amat cantik. Mata sipitnya ketika tersenyum meneduhkan.

"Lusa sholat Ied bareng, oke? Jangan menolak!"

Belum apa-apa, dia sudah mengancam menggunakan jari telunjuknya. Mengangguk untuk menyetujui, lagipula diriku tak punya alasan menolak. Kedua tangan mulai melipat sajadah beserta mukena. Pertemananku bersama Arana tanpa sengaja sesungguhnya. Saat itu, aku melihat Arana selalu shalat di bagian belakang. Diriku langsung berinisiatif menemani, kemudian bertanya mengapa tidak di depan saja, toh tempat depan masih kosong. Arana menjawab kalau dirinya seorang mualaf—dari Katolik ke Islam, makanya dia merasa masih tidak pantas berdiri di bagian paling depan.

Sejak itu aku mengatakan kalau tidak masalah, lalu mengajak Arana shalat di barisan depan dengan perkataan; 'jangan memikirkan apapun'.

Kau tahu apa yang membuatku kagum? Arana baru dua bulan menjadi mualaf, dan sudah hafal surat pendek dalam Alquran. Dia juga tidak meninggalkan shalat setelah mengucap syahadat. Meski keluarganya sempat melarang, Arana tetap pada keyakinannya. Jujur saja, aku malu pada Arana. Aku yang terlahir beragama Islam tetapi masih lalai terhadap shalat, sering meninggalkan tanpa alasan khusus. Tetapi Arana, karena shalat hukum wajib, dia menjadikan kewajibannya sebagai tanggung jawab untuk menjalani, sesibuk apapun dia. Itu membuatku salut.

"Melamun?"

"Ah?" diriku lantas tertawa kecil sambil beranjak untuk keluar masjid.

"Memikirkan apa?" tanyanya lagi, yang langsung kubalas dengan gelengan kepala, biar diriku saja yang tahu.

Meski Ramadan akan meninggalkan umat Muslim, tetapi bagiku pelajaran yang terdapat satu bulan ini tidak pernah terhapus dari memori. Aku juga belajar dari Arana untuk lebih lagi memerhatikan kewajiban yang sebetulnya tanggung jawab diri untuk melaksanakan tanpa mencari alasan.

---

Sejatinya, jika dirimu melaksanakan shalat, Allah akan memudahkan jalanmu, melancarkan rejekimu, dan membantu menyelesaikan masalahmu.

.
.
.

D-1, 03 Juni 2019

#KSI #KOMUNITASSASTRAINDONESIA  #RAMADHANSUKACITA #CKSI

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro