MEMORIES 14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Agan tidak mengenal orang yang menyerang Inggit. Kenapa mereka tidak pakai penutup muka? Amatirkah, sehingga tidak sadar ada CCTV? Atau sengaja untuk memberi peringatan? Agan menduga kalau ini ada sangkup pautnya dengan Ageng Prawira. Tetapi tidak ada bukti sama sekali. Sementara Agan memperketat penjagaan, dan menambah personil security.

Berkas yang seharusnya dikerjakan Inggit sementara dia yang handle, hanya hari ini sampai kondisi asistennya nyaman lagi.

"Selamat pagi, Pak. Maaf, saya kesiangan."

Agan terperanjat melihat orang yang seharusnya cuti, sekarang sudah berdiri di depannya.

"Inggit, kamu tuh, bandel, ya? Disuruh cuti dulu buat kemanan kamu, malah nolak. Lagian apa kata Anjas nanti kalau kamu malah masuk kantor?" Agan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Punya asisten dan sahabat yang pintar, cekatan, tetapi ngeyel-nya level tertinggi.

"Tadi Anjas yang antar, Pak. Nanti juga pulangnya dijemput. Saya nggak bawa mobil, kok. Cutinya buat kapan-kapan aja kalau Bapak nikah."

"Jangan ngaco!!"

Inggit mengambil semua berkas di meja Agan, tanpa permisi. Mereka memang bos dan asisten, tetapi akrabnya sahabat selalu membuat iri yang melihatnya.

"Dasar nggak ada ahlak! Kamu nggak nyadar, wangi segar dari parfum kamu, bikin saya gila," batin Agan sambil menahan napas. Dia tidak mau gila beneran hanya karena parfum.

"Saya permisi, Pak." Inggit melangkah keluar.

Agan mengibaskan tangannya untuk mengusir Inggit sesegera mungkin. Setelah sang asisten sempurna berlalu, Agan mengambil napas banyak-banyak dan mengembuskannya.

***

Anjas sampai ke sekolah tepat waktu sebelum waktu jatahnya mengajar. Hari ini dia sudah ijin tidak datang pagi seperti biasanya. Kepala Sekolah memahami apa yang terjadi.

"Pak Anjas, maaf. Ada tamu yang sudah menunggu Anda dari tadi." Guru kelas satu memberitahu sambil berlalu menuju kelasnya.

"Iya, Bu. Makasih." Anjas mengangguk hormat.

Dia sudah menduga, paling Tanti yang datang untuk meminta penjelasan. Benar saja, wajah beliau sudah cemberut dan siap memuntahkan omelan untuknya. Tetapi ini sekolah, Anjas harus bisa menahan emosi Tanti, kalau dia tidak ingin malu untuk ke sekian kali.

"Asalamualaikum, Bu." Anjas hendak mencium punggung tangan Tanti. Namun ditolak.

"Keterlaluan kamu."

"Salam saya belum dijawab, loh, Bu." Anjas berusaha mengalihkan topik bahasan.

"Waalaikumussalam. Ibu tanya kenapa dibatalin?" Nada suara Tanti mulai naik setingkat. Anjas menghela napas.

"Bu, saya sudah jelaskan kalau Inggit tidak setuju saya melakukan ritual macam-macam. Lagipula saya sendiri juga nggak sreg sama Bu Ageng."

"Kamu itu tahu apa? Semua teori dan ritual dari Bu Ageng itu manjur. Buktinya usaha Bapak maju juga karena Bu Ageng."

Anjas miris mendengar penuturan orang yang melahirkannya. Seharusnya dia bisa mengingatkan lebih awal.

"Bu, jangan terlalu mikirin saya. Penghasilan kami cukup, bahkan bisa beli rumah. Saya juga mohon Ibu dan Bapak bisa memutuskan ritual yang disarankan Bu Ageng."

Tanti marah, matanya mendelik nyaris keluar. Sebelum beliau marah-marah dan mengganggu siswa kelas 6 di sebelah, Anjas menahan Tanti lebih dulu.

"Oke, Ibu tidak harus mendengarkan saya sekarang. Tetapi tolong dipertimbangkan. Saya, Inggit, dan Nino sayang kalian. Itu yang harus Ibu tahu."

"Sudah ... sudah, nggak ada gunanya bicara sama kamu. Ibu pamit."

Anjas mencium tangan Tanti, kali ini tidak ada penolakan. Tanti pulang dengan hati tak menentu. Rasanya seperti tersentil mendengar kalimat Anjas tadi. Ada apa dengan dirinya? Taksi online datang lalu meluncur meninggalkan sekolah.

"Pak Anjas, maaf. Sudah waktunya mengajar kelas 5-A." Kepala Sekolah mengingatkan sambil mengambil daftar nama anak yang akan ikut Olimpiade Sains.

"Materi untuk olimpiade nanti sudah maksimal ya, Pak? Kita akan ulang sekilas pas mendekati waktunya."

Sebagai Kepala Sekolah, Martha orangnya sangat terbuka, dalam hal apa pun. Suaminya meninggal belum lama setelah pengangkatannya sebagai kepala sekolah. Usianya tidak jauh beda dengan Inggit, dan dia belum memiliki keturunan. Untuk itu perhatiannya ke siswa sama rata dan dekat. Secara kasat mata mungkin kesibukan itu bisa mengurangi rasa sedih dan sepinya.

"Materi saya pastikan sudah semua diberikan, Bu. Kita tinggal menunggu eksekusinya nanti."

Mereka berpisah di depan ruang guru, Martha kembali ke kantornya, sedangkan Anjas menuju kelas yang harus diajarnya.

***

Penyerang Inggit tertangkap, mereka mengaku ingin merampok, tetapi keburu ketahuan. Agan tidak tahu harus lega atau harus menyelidiki lagi. Tetapi semua sudah berubah, lebih hati-hati dan waspada.

"Gan, penyelidikan polisi masih jalan, kan?" tanya Lisa sambil sibuk memasak sesuatu.

Agan mengambil kelas dan air mineral dari teko di dekat Lisa. "Sepertinya masih, Ma. Tetapi tidak ada bukti yang menunjukkan mereka suruhan Bu Ageng."

Agan cemas, kalau Lisa masih diteror untuk bergabung lagi dengan ritual Bu Ageng. Semoga selain mereka dan mertua Inggit, ada korban lain yang lebih beruntung bisa punya bukti memperkarakan Ageng Prawira.

"Mama pakai cara apa bisa lepas dari Bu Ageng? Padahal dulu hampir tiap hari dia ke rumah, minta uang buat ritual macam-macam." Sudah waktunya Agan mencari informasi ini. Ageng Prawira harus dihentikan sepak terjangnya.

"Oh, itu. Papa dikenalin sama Ustadz Soleh dari pesantren. Tetapi nggak tahu pesantren mana."

Agan menghubungi Aryo untuk mendapatkan kontak Ustadz Soleh. Begitu dapat dia menghubungi beliau dan minta bantuan, apa yang harus dilakukan. Semua saran dari Ustadz dicatat detail oleh Agan. Tidak terlewat satu pun.

Saat Agan bergerak cepat, Ageng Prawira juga bergerak mulai memakai ilmu hitamnya. Selama ini dia menggunakan cara ini pada Lisa dan Tanti. Sedangkan suami mereka menyusul dan siap dimanfaatkan. Sekarang sasaran Ageng adalah putranya Tanti dan istrinya. Berhubung Inggit kemungkinan sudah tahu siapa dirinya, maka Anjas yang jadi sasaran lebih dulu.

Hari itu dari Agan sudah siap beberapa botol air mineral yang sudah diisi doa ruqyah. Bisa digunakan untuk obat, penjaga diri sari gangguan luar, dan melindungi fisik supaya cukup minum air.

Ternyata Ageng memakai media yang sama, hanya saja mereknya berbeda. Ageng mengirim seseorang untuk membawa medianya ke rumah Tanti. Dengan alasan air doa untuk kesehatan, pasti Anjas juga akan kebagian.

Saat air itu sampai di rumah Inggit, ponselnya berbunyi. Agan menelepon, dan Inggit tidak mungkin mengabaikan bosnya.

"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam. Inggut, dengerin saya baik-baik. Kalau ada yang kirim air doa dengan merek asli dari pabrik, jangan diminum. Air itu dari Bu Ageng."

Inggit mengamati air mineral yang baru datang diantar ojek online. Inggit terbelalak, air itu yang dimaksud oleh Agan.

"Kok, Pak Agan tahu kalau saya dikasih air semacam itu. Ini baru banget sampai airnya. Gimana, dong?"

Agan memberikan saran dari Ustadz Soleh kalau airnya terlanjur ada di rumah.

"Buka semua tutup botolnya, bacakan surat Al Fatihah, sesudah itu tiupkan perlahan di mulut botolnya. Itu langkah darurat dari ustadz yang bantu Mama."

"Oh, oke. Sepertinya mudah, airnya cuma ada tiga botol. Makasih banyak, Pak."

"Hmm. Cepet lakuin dulu!"

Dengan semua cara ini semoga bisa jadi penghalang niat buruknya Ageng Prawira. Panggilan Inggit padanya tak berubah, di kantor, di telepon, bahkan saat di luar. Katanya biar lebih mudah dan tidak kelepasan salah panggil.

Dipanggil dengan sebutan 'pak', padahal usianya sama, membuat Agan sempat berpikir lepas jabatan saja. Pemikiran yang bisa membuat murka sang ayah nanti. Dia tersenyum sendiri, tidak mungkin tega dia membiarkan Aryo berjuang sendirian.

***

Nggak apa-apa dipanggil 'pak'. Toh, tetap ganteng, kok!
Lah! Jangan genit authornya.
😁✌

Alhamdulillah, meskipun agak pesimis, ya. Yang penting jalanin aja dulu sampe tamat.

Selama pandemi, cuaca juga naik turun suhunya, membuat ekstra hati-hati.

Salam sehat semuanya. Stay safe, ya. Selamat membaca.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro