MEMORIES 21

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Assalamualaikum
Alhamdulillah, hari ini semoga kita diberikan kesehatan dan kelancaran dalam beraktivitas, ya.

Kali ini Inggit harus bisa bamgkit, nih. Kondisi fisik lagi nggak on, ketimpa masalah suami dan keluarganya juga. Untung ada Agan dan keluarganya, yang notabene bukan siapa-siapa. Hanya karena mereka sahabat sejak di SMA dulu, tapi kebaikannya patut diacungi jempol.

Kita tunggu kelajutannya, ya. Semangat positif dan stay safe and healthy.

***

Barjo bungkam, dia akhirnya bisa berpikir waras untuk tidak ribut di rumah sakit. Dengan langkah lebar dia keluar ruangan, disusul Tanti dan Ageng Prawira.

Inggit sepertinya lelap sekali, sampai tidak terganggu sedikitpun dengan keramaian barusan.

"Kami sengaja memberikan pasien obat tidur. Supaya bisa istirahat, karena saya amati, pasien sedang banyak pikiran, bahkan sempat menangis tak terhenti," papar Dokter Reza.

Agan kepikiran soal Anjas lagi. Istrinya sakit dia pergi tidak tahu ke mana. Agan tidak bisa meninggalkan Inggit sendirian, tetapi dia juga tidak bisa terus menerus di dalam ruangan hanya berdua dengan Inggit. Apalagi setelah ada foto mereka berdua, meskipun belum ada titik terang sudah tersebar atau belum.

Agan tidak habis mengerti, sebenarnya apa tujuan mertua Inggit melakukan itu semua. Saat pernikahan tidak terlihat ada masalah sama sekali. Bahkan pestanya terhitung besar-besaran, mengundang banyak tamu dan hiburan live music. Tetapi apa yang dilihat mata belum tentu kenyataan yang sebenarnya.

"Agan. Nak, kamu baik-baik saja?" Sebuah tepukan lembut mendarat di bahunya.

"Ma, alhamdulillah. Mama temenin aku jaga Inggit, ya? Suaminya belum datang juga. Sudah berkali-kali aku telepon dan kirim pesan, tapi nggak ada respon." Agan frustasi, dia bingung harus bersikap bagaimana. Inggit sudah tidak punya keluarga, saudaranya jauh di luar kota, dan dia tidak tahu kontak mereka. Sahabat sekaligus wanita tersayangnya itu, sempurna sendiri di kota besar ini.

"Sudah, nggak usah terlalu dipiirin. Mama yang jaga Inggit. Toh, kami sudah saling mengenal meskipun nggak dekat. Sekarang kamu urus semua masalah kantor atau apa pun itu." Lisa menggeser kursi ke dekat ranjang, supaya lebih mudah menjaganya.

"Tapi Mama sendirian di sini. Aku takut nanti mertua Inggit datang lagi sama Bu Ageng." Agan menceritakan semua yang terjadi tadi. Dokter Reza dan beberapa perawat sudah bertugas mengawasi Inggit, tetapi rasa takut itu masih belum bisa hilang dari hatinya.

"Udah ada orang Papa yang ikut jaga di depan."

Agan menyesal harus pergi. Dia bisa urus pekerjaan, sekaligus mencari keberadaan Anjas. Dia ingat, mungkin ada informasi dari sekolah tempat Anjas mengajar. Mobil meluncur dengan yakin akan arah tujuannya.

***

Agan kembali ke mobilnya dengan kusut masai. Tidak ada informasi apa pun dari tempat kerja Anjas. Kepala sekolah mengatakan kalau Anjas mengambil cuti tiga hari terhitung dari hari ini. Sekali lagi Agan menghubungi kontaknya. Nada sambung berbunyi, dan diangkat.

"Halo, Njas. Lo di mana?"
"Ya, maaf, orang yang punya ponsel ini ...." Mendadak telepon terputus. Agan mengerutkan kening, kenapa yang menjawab teleponnya perempuan? Di mana Anjas? Agan menelepon lagi, tetapi nomornya tidak aktif.

Ponselnya berdering lagi saat hendak menghidupkan mesin mobil. Agan melihat layar, nama Lisa tampak di sana.
"Ya, Ma. Gimana kondisi Inggit?"
"Dia sudah bangun dan merasa lebih baik katanya. Inggit ingin bicara."
"Oke, Ma."

Ada jeda dan helaan napas agak berat sebelum suara lemah itu berbicara.
"Pak ..."
"Panggil nama saja, Git. Ini perintah!" potong Agan.

"Oke. Gan, mendingan kamu pulang. Nggak usah cari Anjas. Aku sudah lebih baik. Dan, sementara waktu aku juga ingin sendiri. Aku mau minta tolong, apa bisa?"

"Apa pun, Git, aku akan usahakan bantu. Kamu perlu apa?"

Suara Agan begitu lembut dan menenangkan. Selalu begitu yang Inggit rasakan. Seharusnya Anjas yang ada di sampingnya sekarang. Bahkan mertuanya juga tidak melakukan apa-apa.

"Git?" Agan memanggil karena Inggit lama tak bicara.

"Aku ingin mengambil semua bajuku di rumah. Bisa tolong ambilkan? Ada orang yang suka membereskan rumah kalau siang hari. Jadi, bilang saja aku ada tugas keluar kota setelah sembuh."

Agan tercekat mendengar permintaan itu. Apa maksud Inggit dengan mengambil semua bajunya? Apakah dia mau kabur? Tetapi Agan merasa kasihan juga, saat ingat dokter mengatakan Inggit hampir depresi. Tangisnya saat sedang ditangani di IGD tadi pagi, terpaksa membuatnya harus diberikan obat penenang.

"Oke, aku bantu kamu." Tak sedikitpun Agan berharap Inggit akan mengalami masalah di rumah tangganya. Cinta bukan segala hal tentang memiliki,  tetapi berusaha menjaga cinta itu tetap bersih tanpa membuat hati pihak tertentu merasa kecewa.

Inggit lega, dia tahu bisa mengandalkan sahabatnya itu. Satu yang dia sesalkan karena merepotkan orang tua Agan, mereka ikut turun tangan membantunya. Bahkan sekarang Lisa mau menjaganya di rumah sakit. Padahal siapa sih, Inggit, hanya yatim piatu dan tidak punya apa-apa.

"Makasih banyak, Tan. Saya nggak tahu lagi harus membalas kebaikan kalian dengan apa."

"Kalau saja bisa, Tante ingin kamu menikah dengan putra Tante, Git. Tetapi apa mungkin?" Kalimat itu hanya sampai di tenggorokan Lisa, tanpa berani dia sampaikan. Bagaimana mungkin terjadi saat Inggit masih sah menjadi istri orang lain.

"Tante cuma ingin Agan nggak sedih dan cemas terus, Git. Kamu juga sudah kami anggap keluarga sejak kalian sekolah dulu."

Obrolan mereka terhenti saat ada perawat yang masuk membawa makan siang.

"Oiya, Bu. Ini ada hasil laboratorium dari cairan yang tadi diminta oleh Pak Aryo." Sebuah amplop putih dengan logo nama rumah sakit, diberikan pada Lisa. Inggit sendiri tidak menyadari kalau laporan itu adalah hasil pemeriksaan dari cairan yang akan disuntikkan oleh Ageng Prawira sekaligus disetujui oleh mertuanya.

***

See you ...💞👍😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro