MEMORIES 22

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Alhamdulillah, hari Minggu yang agak menyebalkan. Bangun tidur air PDAM mati. Auto nggak bisa ngapa-ngapain. Air sumur yang agak kotor terpaksa dipakai dulu buat hal kecil. Kalo mandi dan lain-lain belum bisa. Semoga segera nyala lagi, wong bayarku juga lancar. Lah, malah curcol.😁🙏

Part ini mulai geregetan nulisnya. Ageng Prawira ini licin banget, tetapi kali ini kamu nggak boleh kabur lagi.

Oke, selamat membaca.

***

Tidak ada kesulitan berarti saat Agan mengambil baju Inggit di rumahnya. Beruntung orang yang bertugas membersihkan rumah masih ada di sana. Agan sangat berterima kasih sudah dibantu merapikan barang Inggit, dan memberikan sedikit uang.

Mobil meluncur segera setelah koper dipastikan aman di bagasi. Setelah Agan pergi, muncul seseorang dengan seringai liciknya. Dia sudah mengambil gambar yang sangat bagus dan sangat meyakinkan semua orang.

***

Aryo sudah menduga hasil laboratorium akan mengecewakannya. Isi dalam suntikan itu hanya berisi air biasa. Dokter Reza sempat bingung juga, motif apa yang membuat Inggit harus disuntik cairan yang notabene hanya air. Realitanya lebih bagus cairan infus yang sudah diberikan rumah sakit, mengandung zat yang membuat Inggit lebih baik keadaannya. Beruntung sekali dia tidak memerlukan transfusi darah, kalau sampai terjadi, kondisi Inggit tidak baik-baik saja.

"Apakah Inggit harus dirawat lebih lama lagi, Dok?" tanya Aryo untuk bisa mengambil langkah selanjutnya. Dia tidak akan setengah-setengah melakukan sesuatu. Termasuk membantu Agan dan Inggit yang sudah lama dia kenal. Meskipun tidak sedekat Lisa dengan Inggit.

"Kalau hari ini stabil dan pasien tidak merasakan pusing, besok bisa pulang."

Helaan napas lega terdengar, itu artinya tidak ada penyakit lain. Aryo akan langsung bicara dengan Agan soal kepulangan Inggit. Nantinya akan pulang ke mana, karena tidak mungkin dia pulang ke rumahnya bersama Anjas.

***

Lisa menyarankan Inggit tinggal di rumahnya saja. Toh, ini bukan yang pertama kalinya. Sebelum Agan kuliah ke luar negeri, Inggit sering main ke rumah dan menghabiskan waktu di rumah pohon bersama Agan, atau mereka membuat kue bersama. Inggit tersenyum mengingat semua kenangan itu.

"Tante tahu kamu pasti kurang setuju tinggal di sini. Tapi Agan cemas kalau kamu tinggal sendirian. Sementara waktu sampai kondisi aman, kamu tinggal di sini. Agan akan pulang ke apartemen, untuk menghindari fitnah."

Inggit tak pernah menduga Agan masih detail memikirkan semuanya. Dia seperti tahu segala hal yang dibutuhkannya. Lalu ke mana Anjas? Suami yang seharusnya melindungi, malah menghilang tanpa jejak. Dihubungi tidak merespon, Inggit belum tahu soal perempuan yang menjawab ponsel Anjas siang itu.

"Jangan stres, pikirkan kesehatan kamu dulu. Kalau sudah sehat baru pikirkan langkah kamu selanjutnya." Lisa mengelus pundak Inggit dengan penuh ketulusan.

Inggit mengangguk patuh, lalu kakinya melangkah ke kamar yang sudah disiapkan. Untuk sementara waktu, dia akan menenangkan diri di sini. Tak lama dia terlelap, tidur dengan nyaman tanpa was-was dan takut.

***

Anjas mendapati dirinya di sebuah rumah sederhana, badannya lemas dan pusing menyerang. Tak lama datang seorang gadis yang tergesa datang saat mendengar erangan Anjas.

"Kamu siapa?" tanya Anjas sambil berusaha mengingat sesuatu. Tempat ini asing dan sepertinya jauh dari kota.

"Saya Arum, Bu Ageng menyuruh saya merawat Mas sampai sembuh. Sekarang minum dulu, ya." Arum mengambil segelas air di dekat ranjang lalu mengangsurkan kepada Anjas.

Merawat? Anjas berusaha mengingat apa yang terjadi. Dia dalam perjalanan ke Jogja, seharusnya sudah sampai di tempat pengajian yang dimaksud Bu Ageng.

"Orang tua saya mana? Dan ini di mana?" Anjas mulai panik, dia merasa ada yang aneh.

Arum bingung mau jawab apa, dia  diperintah untuk memberi makan, minum, dan kebutuhan biologis tamunya. Ada hal lain yang tidak wajar, seperti tidak boleh membeli air minum di luar untuk tamunya. Dia sendiri selalu beli di luar baik makan maupun minum. Ada dua orang pria yang berjaga dan mengawasi. Jadi dia tidak berani melanggar apa yang sudah disuruh. Kalau tidak ingin bayarannya ditarik kembali.

Anjas sendiri tidak menyadari dia melakukan zina itu dengan Arum. Bahkan sebelumnya Bu Ageng yang melakukan itu. Sepenuhnya Anjas tidak sadar karena dalam waktu singkat itu Anjas diberikan obat perangsang di minumannya.

"Aku mau pulang, jadi tolong kasih tahu saya ini di mana?" Anjas berontak, dia ingat Inggit dan perbincangan terakhir mereka yang kurang baik. Perasaannya tidak enak, apa yang terjadi pada dirinya.

Anjas memaksakan turun, sakit kepala  menyadarkan diri kalau tubuhnya tak tertutup sehelai benang pun. Secepat kilat dia menarik selimut untuk menutup tubuhnya, sambil mencari pakaiannya.

Dua pria kekar menghalangi Anjas.
"Anda tidak boleh pergi, Mas. Sampai Ibu datang, baru Anda boleh pergi."

Anjas tidak peduli, dia melawan. Rumah itu memang agak terpencil tempatnya. Tetapi tak lama datang sebuah mobil, penumpangnya turun lalu menghambur menyerang dua bodyguard itu. Menyusul mobil polisi beserta sekitar sepuluh personilnya turun dan langsung menahan mereka. Anjas yang masih lemas terhuyung hampir jatuh ke lantai. Tiga pria berpakaian preman membantunya.

Arum yang melihat kejadian itu dari dalam rumah, langsung kabur. Dia tidak mau tertangkap dan terlibat. Namun terlambat, langkahnya dihadang dua polisi yang menggeledah melalui area belakang rumah. Di sisa kesadarannya Anjas menyebut nama Ageng Prawira, dan dia lega semua anak buah Bu Ageng tertangkap. Terakhir dia terkulai pingsan lagi.

***

Di rumahnya Aryo bernapas lega. Lagi-lagi usahanya dan Agan berhasil. Kejadian di rumah sakit memang tidak bisa dijadikan alat bukti. Tetapi sekarang semua barang bukti lengkap.

"Gimana, Pa?" tanya Agan tidak sabar.

"Mereka berhasil ditangkap. Anjas sudah dibawa ke rumah sakit dan dijaga ketat polisi. Tinggal menunggu kabar penangkapan Ageng Prawira. Semoga tidak lolos lagi, Papa tidak segan-segan menghakiminya sendiri kalau polisi tidak bisa menjeratnya dengan hukum."

Agan tahu Aryo sudah menahan diri sejauh ini. Bagaimana Ageng Prawira hampir menghancurkan keluarga dan bisnisnya. Ada satu yang masih menjadi pikirannya sekarang, mertua Inggit akan terseret juga. Dan, mendengar kondisi Anjas saat ditemukan lalu hasil pemeriksaan darah, membuatnya sangat miris. Agan berharap rumah tangga Inggit baik-baik saja, meskipun jauh di dalam hati dia masih sangat mencintai, sehingga cemburu tidak bisa dicegahnya datang.

"Untungnya telepon kamu waktu itu diangkat, Gan. Perempuan itu secara tidak langsung sudah membantu kita menemukan lokasi Anjas." Aryo menandaskan segelas air untuk membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba kering.

"Iya, Pa. Aku juga nggak nyangka semuanya bisa bekerja dengan cepat. Jadi tidak berlarut-larut masalahnya. Kasihan Inggit jadi bulan-bulanan keluarga Anjas terus."

***

Sampai jumpa lagi
Stay safe aand healthy, ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro