MEMORIES 24

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kenapa? Aku ganteng, ya? Jelas!!" Agan menaikturunkan alisnya, percaya diri yang menyebalkan.

Inggit tersenyum keki kepergok sedang menatap lekat pria yang kepedean di sampingnya.

"Kamu itu selalu begitu, ya. Kenapa nggak cari pacar, sih? Udah tahu ganteng, pengusaha sukses, mapan, penyayang, tulus, kurang apa lagi, coba?"

Diam-diam Agan bersyukur Inggit tersenyum, dan mulai beralih dari kesedihannya. "Kurang apa? Hmmm ...." Keningnya berkerut dengan telunjuk mengetuk dagunya.

"Sok imut banget, sih!" Inggit sebal tetapi lega bisa sejenak melupakan masalahnya.

Memori demi memori mereka kenang dan berakhir tawa renyah keduanya.

"Git, kamu tanya apa yang kurang dariku, kan. Jawabannya banyak. Hal itu yang membuatku mundur teratur atau justru mereka yang ninggalin."

'Kalau kamu tahu yang kurang dariku itu adalah kamu, apa kamu akan tinggalin Anjas dan bersamaku?' Batin Agan bersuara dengan bimbang. Dia berharap tetapi juga tidak ingin Inggit akan sedih lagi nantinya. Karena pilihannya sangat sulit.

"Suatu saat nanti akan ada perempuan baik yang tulus sama kamu."

"Sepertinya kamu yakin banget aku bakalan nikah. Aku sendiri aja, belum yakin." Seyakin itu Inggit mengatakan semua yang belum pasti. Dan jujur, Agan agak kesal mendengarnya. Jelas yang dia mau hanya Inggit.

"Bukannya mau sok tahu, sebagai sahabat aku juga ingin lihat kamu bahagia. Selama ini kamu terlalu banyak bantu aku. Setelah kondisiku fit, kamu bisa fokus dengan kehidupan pribadimu. Maaf, ya, gara-gara aku ...."

Kalimat Inggit terhenti karena tiba-tiba Agan memeluknya. Inggit terkejut dan reflek ingin lepas, tetapi Agan malah makin erat memeluknya.

"Tolong, jangan bicara soal ini lagi. Aku nggak ada masalah dengan hidupku yang sekarang. Kamu cerewet sekali, sampai aku nggak bisa sela kalimat panjangmu."

Inggit terdiam, mengijinkan Agan memeluknya sejenak. Mungkin dia sendiri juga perlu rengkuhan untuk melepaskan semua sesak yang memenuhi hatinya.

Setelah hening tercipta beberapa saat, Agan melonggarkan pelukannya. Sebelum benar-benar melepas, Agan mendaratkan kecupan ringan di puncak kepala Inggit.

"Maaf, aku lancang cium kamu," ucap Agan lirih, lalu melepas pelukannya.

Inggit tersenyum dan mengangguk. Dia tidak keberatan sama sekali dengan tindakan Agan barusan. Mungkin hanya luapan simpati untuk seorang sahabat. Mobil kembali menyala dan mereka melanjutkan perjalanan pulang.

***

Sementara waktu Inggit tinggal di apartemen Agan setelah kondisinya membaik. Obat dokter sudah habis dan pendarahan berhenti. Tensi Inggit juga kembali normal. Sedangkan Agan kembali ke rumah. Jarak apartemen dan kantor kebetulan tidak jauh, hal itu memudahkan Inggit menuju tempat kerja.

Lalu, kondisi Anjas di rumah sakit juga sudah mulai pulih. Nino yang beberapa waktu sibuk tugas di luar kota langsung pulang begitu dapat kabar. Apalagi soal orang tuanya yang ikut tersangkut juga.

"No, maaf, ya. Bapak sama Ibu jadi kena masalah." Anjas berpindah ke posisi duduk, dia sudah lebih segar dan diperbolehkan pulang.

"Nggak apa-apa, Mas. Ini kan kesalahan mereka sendiri, kita sebagai anak sudah coba mengingatkan waktu itu. Yang kusesalkan, kok bisa Mas Anjas terpengaruh sampai fatal begini?" Nino mengambilkan minum untuk Anjas, mereka berdua sama-sama tahu kebiasaan masing-masing. Jadi Nino tahu pasti Anjas tidak akan melakukan semua hal itu dalam keadaan sadar.

"Aku mengabaikan pesan Inggit, No. Ibu selalu maksa aku minum dulu kalo pas mampir ke rumah. Berkali-kali kutolak Ibu makin maksa. Lama-lama aku nggak tega, terus minum."

Nino sungguh bingung harus percaya atau tidak soal air hipnotis. Dia yakin pasti dalam air itu ada kandungan zat tertentu yang dicampurkan. Tetapi menurut kabar kejadian saat Inggit dirawat tidak terbukti ada zat lain dalam cairan di alat suntik. Sebenarnya apa tujuan Bu Ageng ingin menyuntikkan cairan kosong itu ke infus Inggit?

"Mas, kita tinggal mendampingi Bapak sama Ibu di proses hukumnya. Aku akan hubungi pengacara supaya bisa bantu kita."

Anjas mengangguk setuju. Dia harus sembuh dan segera keluar secepatnya. Sepertinya dia juga akan dipanggil kepolisian, entah sebagai korban atau tersangka, dia pasrah. Hanya satu yang dia khawatirkan dan pikirkan sekarang, soal pernikahannya dengan Inggit. Akan hancur atau masih ada kesempatan untuk bertahan.

***

Rumah sepi, semua tertata dan tidak ada yang berubah. Anjas ke kamar dan menyapu semua isinya, rapi seperti biasa. Yang berubah tidak ada barang-barang milik Inggit di meja rias. Kening Anjas berkerut, dia membuka lemari. Hanya ada bajunya saja, tanpa satu pun baju Inggit yang tertinggal. Inikah pertanda dia akan ditinggalkan? Atau justru sejak awal dia lah yang meninggalkan istri tercintanya? Anjas menangis tergugu, merutuk dirinya yang bodoh tidak menuruti nasehat Inggit.

Ponsel Anjas bergetar, setelah bisa menenangkan diri, Anjas menjawab panggilan tanpa melihat layar ponselnya.

"Mas, tolong buka pintunya." Rupanya Nino sudah sampai. Dia berencana tinggal di rumah Anjas, jujur karena dia takut pulang ke rumah.

Tak menunggu lama Anjas membuka pintu dan membantu adiknya membawa tas yang berisi beberapa baju. Nino tidak membawa banyak, ukuran badannya dengan Anjas tidak beda jauh, jadi tinggal meminjam kalau bajunya habis stok.

"Kamu nggak pernah cuci baju sendiri, ya? Pasti para pengusaha laundry di sana untung banyak berkat kamu." Anjas menyindir adiknya yang paling malas kalau urusan cuci baju.

Yang disindir cuma nyengir sambil memasukkan bajunya di lemari kecil di samping kasur. Anjas terbiasa mencuci baju sendiri, bahkan kalau Inggit lelah karena lembur, dia yang berinisiatif mencuci lebih dulu. Kenangan itu kembali membuatnya murung.

Nino menyadari perubahan warna muka Anjas. Dia menepuk bahu kakaknya, dengan harapan bisa menyalurkan setidaknya sedikit saja rasa sabar dan lebih ikhlas.

"Kita pasti bisa lewati semua, Mas. Mbak Inggit juga akan balik lagi ke rumah ini," hibur Nino. Dia sangat ingin kalimatnya barusan menjadi doa yang segera didengar dan terkabul.

***
Duh, sedih. Serba salah kalo kondisinya kayak gini. Tapi semua pasti ada solusi, dong!
Sabar, ya. Segera datang pertolongan, dan membuat semua berakhir dengan baik. Entah, berpisah atau bersatu lagi, kita lihat saja nanti.

Alhamdulillah, semoga senantiasa sehat dan bahagia buat kita.

Keadaan juga lebih kondusif lagi. Amin.

Selamat membaca.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro