MEMORIES 25

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Baik, presentasi kalian bagus. Saya harap bisa direalisasikan sesuai rencana, ya. Meeting hari ini cukup dan silakan kembali bekerja. Semangat demi perusahaan dan keluarga kita." Agan menutup pertemuan dengan penuh optimisme. Seperti yang selalu diingatkan Aryo, sebagai pimpinan, di mana pun itu, kita harus optimis. Jadi karyawan akan tertular rasa itu, sehingga mereka bekerja lebih giat lagi.

Inggit merapikan berkas untuk direkap ulang dan dikirim ke bagian produksi. Karena banyak yang harus dibawa, Inggit berpikir sebentar supaya bisa terbawa semua tanpa harus bolak-balik.

"Perlu bantuan, Git? Saya bisa bawa berkasnya ke meja kamu." Agan sudah bangkit dari kursinya tetapi ditolak Inggit sebelum langkahnya mendekat.

"Oke, jangan kecapekan. Ingat kamu pernah pingsan dan bikin aku panik."

"Siap, Pak! Maaf dan terima kasih. Saya duluan!"

Agan mengangguk dan langsung menuju ruangannya. Namun langkahnya terhenti saat melihat Inggit mendapat kiriman surat, sebelum masuk ke ruangannya. Awalnya ingin mengabaikan, karena jadi hal biasa Inggit menerima surat-surat penting. Tetapi saat Inggit menjatuhkan amplop coklat dari tangannya, barulah Agan merasa sesuatu telah terjadi. Sebelum mengundang perhatian banyak orang, Agan mengambil amplop coklat dan isinya, lalu menggamit lengan Inggit untuk masuk ke ruangannya.

Pintu tertutup dan Inggit baru tersadar, diambilnya napas panjang, perlahan menitik air mata. Agan melihat amplop yang dibawanya, jantungnya berdetak lebih cepat, tangannya mengepal, amarah bergejolak di hati meminta pelampiasan untuk dikeluarkan.

"Dia ... dia tidak mencintaiku lagi. Dia ... mau ninggalin aku. Gimana ini?" Inggit shock, tentu saja, dia sedang membangun lagi rasa cinta di atas luka. Inggit tidak terpikir untuk meminta berpisah. Tetapi Anjas mengambil langkah nekat tanpa berbicara lebih dulu.

"Git, sabar. Ingat, aku ada di sini. Kamu mau nangis, boleh. Luapin semua yang kamu rasakan." Dengan lembut Agan mengelus pundak Inggit untuk menenangkannya.

Isak Inggit kembali terdengar, air mata kembali terjatuh sia-sia. Kalau sedang tidak di kantor mungkin Agan akan langsung memeluknya, memberitahu kalau pundaknya selalu siap jadi tempat berlabuh. Akan banyak mata dan mulut yang kemungkinan akan menyebarkan gosip tentang mereka.

Setelah sedikit tenang, Inggit segera bangkit dari duduknya, menghapus bekas air mata di pipi dan melangkah keluar.

"Tunggu! Kalau kamu pergi dalam kondisi kalut lebih baik kamu tetap di sini. Bersamaku."

Inggit menoleh, menatap Agan dengan tatapan penuh tanda tanya. Pertanyaan yang mungkin bisa dia tebak jawabannya.

"Maksudku, tunggu sampai perasaan kamu lebih tenang baru temui Anjas. Jangan mikir macam-macam!" Agan mengalihkan pandangannya. Kalau dia masih menatap Inggit, kebohongannya akan ketahuan.

"Oh, begitu. Jadi ...."

Kalimat dipotong Agan sebelum terpikir hal yang selalu jadi rahasianya. "Aku hanya peduli sama kamu. Ingat saja itu!" Ya, Agan ingin semua kebaikan dan perhatiannya, diartikan Inggit dari seorang sahabat.

Inggit mengangguk, lega memiliki Agan yang notabene bosnya tetapi persahabatan mereka tetap terjalin dengan baik, malah sekarang makin dekat dan membuat nyaman baginya. Namun, semua prioritas sekarang adalah Anjas.

Mobil sudah dikembalikan Agan setelah diperbaiki dan dicek semua bagian mobil. Agan tidak pernah mau menerima uang dari Inggit. Sejak sekolah dulu Agan tidak pernah sayang saat harus mengeluarkan uang untuknya. Setelah Inggit menikah, Agan mundur teratur dan menjaga batasan.

***

Mobil sampai di depan halaman rumah yang begitu banyak menyimpan kenangan indah. Inggit melirik jam di pergelangan tangannya. Seharusnya Anjas sudah pulang. Inggit mengeluarkan kunci cadangan rumah yang masih disimpannya. Kembali dia tergugu, setelah ini apa. Bagaimana kalau Anjas serius ingin berpisah dengannya? Sanggupkah dia menanggung resiko dinyinyiri orang lain?

Anjas nyaris menjatuhkan gelasnya saat menatap Inggit sudah ada di belakangnya. Tatapan mereka bertemu, rasa marah, rindu, cinta, saling bergumul ingin jadi yang paling dominan.

"Git, kamu di sini?" Suara Anjas lirih dan bergetar. Anjas baru ingat, Inggit juga memeegang kunci rumah.

"Iya. Apa aku sudah nggak boleh masuk ke rumah ini? Apa memang sudah harus berakhir rumah tangga kita? Atau memang ini yang kamu mau, Mas? Aku yang salah, mulai permusuhan dengan Ageng Prawira. Jadi, aku harus tanggung akibatnya." Inggit menahan getar suara dan keinginan menangisnya. Meskipun air mata sudah menggenang di sudut mata, tinggal menanti takdirnya untuk menetes.

Anjas menatap tak beralih sedikitpun dari istri yang selama ini dia rindukan. Dia hanya ingin Inggit lepas dari masalah. Dengan terus bersamanya, dirinya akan sering merasa kecewa, apalagi Barjo dan Tanti tidak menganggapnya sebagai menantu yang sebenarnya.

Anjas baru tahu kalau orang tuanya selama ini hanya pura-pura menyetujui pernikahannya dengan Inggit. Lagi-lagi alasan tidak masuk akal yang dicekokkan Ageng Prawira.

"Aku hanya ingin memastikan kalau kamu benar-benar ingin pisah. Setelah itu aku kembalikan kunci rumah ini. Aku sudah nggak berhak memilikinya." Inggit merasa tubuhnya agak lemas, HB-nya turun lagi sepertinya. Ditahannya sekuat tenaga karena tidak ingin Anjas tahu.

"Git, kita duduk dulu, ya? Biat enak ngomongnya." Suara Anjas terdengar jauh sekali dari pendengaran Inggit.

Inggit menggapai apa pun yang ada di dekatnya untuk berpegangan. Terlalu jauh atau tubuhnya yang terlalu lemah, hingga tidak tersisa kekuatan untuk menggapai meja demi menopang tubuhnya.

Langkah Anjas terhenti saat tidak ada respon jawaban dari Inggit. Dia menoleh tepat saat Inggit terhuyung dan tubuhnya nyaris menghantam lantai.

"Astagfirullah, Inggit!!" Anjasenangkap tibuh Inggit yang pucat pasi. Bibirnya pucat seperti tidak ada aliran darah di sana. Anjas membaringkan Inggit di ranjang kamar mereka. Ooh, apakah harus menyebut bekas kamar mereka berdua? Belum ketuk palu artinya mereka masih halal.

"Git, maafkan aku." Anjas membalurkan minyak angin untuk menyadarkan Inggit. Dipijitnya tangan dan kaki yang terasa dingin di telapak tangannya.

***

Selemah itukah, Inggit? Kasihan amat. Tetapi memang seperti itu kalau HB darah kita rendah. Apalagi buat perempuan.

Semoga kita selalu diberikan kesehatan, ya. Amin.

Alhamdulillah, bisa update lagi. Jangan lupa vote dan komentar, saya akan sangat menghargai itu.

Selamat membaca. 💪💞😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro