MEMORIES 26

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Mas Anjas, kenapa ini?" Nino yang baru datang mendapati rumah sepi, tetapi pintu terbuka. Makanya dia langsung melesat masuk dan mencari keberadaan kakaknya.

"Inggit pingsan, kondisinya lemah lagi. Kita bawa ke rumah sakit aja, ya, No? Kamu bisa nyetir, kan?"

Nino mengangguk, mereka bawa mobil Inggit menuju rumah sakit. Dalam perjalanan ponsel Inggit di tasnya berdering. Anjas mengabaikan tetapi deringnya tidak berhenti. Akhirnya Anjas  menjawab telepon itu.

"Assalamualaikum, Git. Kamu di mana?" Agan menghubungi karena obat Inggit ketinggalan di mejanya.

"Waalaikumussalam. Maaf, Inggit pingsan dan kami dalam perjalanan ke rumah sakit." Anjas merasa cemburu dengan Agan, apalagi setelah ada foto mereka yang tersebar. Di satu sisi dia merasa Agan adalah orang yang tepat bagi Inggit dibanding dirinya.

Intonasi jawaban Anjas membuat Agan tersinggung. Dari suaranya jelas Anjas cemburu dan tidak suka dia menelepon. Tetapi harusnya Anjas bisa introspeksi diri, sekaligus lebih percaya istrinya. Kondisi Inggit masih pemulihan, bahkan obatnya saja tertinggal di meja kantor. Sial! Kalau Agan tidak sadar diri bukan siapa-siapa bagi Inggit, sudah meluncur peringatan tegas untuk Anjas, kalau dia lah penyebab Inggit menderita.

"Bawa ke rumah sakit yang merawat Inggit sebelumnya." Kalimat yang cukup tegas dengan nada sedikit memerintah.

"Kamu tidak berhak mengaturku, aku masih sah jadi suaminya," potong Anjas dengan nada kesal.

Kalimat Anjas berhasil membuat Agan murka dan membanting gelas yang sedang dipegangnya. "Suami?! Di mana Anda waktu Inggit pingsan di tengah jalan? Di mana Anda waktu Inggit nyaris diracuni oleh Ageng Prawira dengan ijin orang tua Anda? Suami macam apa yang tidak bisa tegas membela istri yang jelas-jelas di pihak yang benar?"

Anjas bungkam, sedangkan mobil masih meluncur pelan karena padatnya kendaraan. Ucapan Agan benar, bahkan selama ini Agan dan keluarganya yang menjaga Inggit. Perannya bahkan melebihi dirinya yang sah sebagai suami. Tetapi semua juga tahu, kalau peristiwa kemarin bukan keinginannya.

"Saya hanya atasan Inggit, tetapi saya lebih dulu mengenal dia, jauh dibanding Anda. Dan, semua yang saya lakukan adalah tindakan sahabat yang peduli. Tapi kalau kamu sia-siakan dia, aku janji akan merebutnya." Kalimat terakhir yang sengaja ditahan Agan, demi menjaga perasaan Inggit.

Anjas menutup telepon secara sepihak. Dirinya tertampar karena Agan benar, tindakannya meminta perpisahan tidak membuat Inggit bahagia. Justru sebaliknya, istrinya sakit, kepikiran karena masih ingin bertahan bersamanya.

"No, kita ke Medic Hospital. Sebelumnya Inggit dirawat di sana," kata Anjas setelah beberapa saat beberapa waktu lalu mengakhiri pembicaraannya dengan Agan.

"Oke, Mas." Tanpa banyak bertanya lagi, Nino membelokkan arah sesuai instruksi.

Begitu mereka sampai, Inggit langsung ditangani, beruntung rekam medis Inggit sangat membantu tindakan apa yang harus dilakukan. Agan sampai tak lama setelah Inggit masuk IGD. Sejenak tatapannya beradu dengan Anjas.

Nino menyadari aura di sekitar mereka sedang buruk. Jelas sekali Agan dan Anjas sama-sama memiliki perhatian khusus pada kakak iparnya. Tetapi Agan lebih menahan diri dan membiarkan Anjas yang lebih dulu mendapat informasi tentang Inggit. Dia lega Inggit tidak perlu dirawat, hanya perlu istirahat dan tidak boleh stres.

"Ini obatnya Inggit, tadi tertinggal di mejanya. Saya nggak tahu sekarang ada obat tambahan atau tidak. Itu tugas kamu sebagai suaminya. Saya permisi!" Kalimat Agan singkat dan jelas.

Agan harus mundur demi ketenangan Inggit. Meskipun hatinya tercabik-cabik cemburu dan berharap dia yang mendampingi Inggit di dalam sana, tetapi Agan memilih pergi. Mungkin nanti ada takdir-Nya yang membentuk celah sehingga mereka bisa bersama.

***

Inggit sadar dengan jarum infus di tangan kirinya. Dia meringis karena pusing masih terasa.

"Mbak Inggit, ada yang sakit? Aku panggil dokter dulu." Nino memasukkan ponsel ke kantong bajunya. Dibalas  anggukan dan ucapan terima kasih dari Inggit.

Dokter Reza datang dengan senyuman manis di wajah putihnya. "Sekarang apa yang dirasa, Bu? Masih pusing atau perutnya nyeri?" Seperti biasanya suara dan intonasi Dokter Reza lembut dan sabar.

"Sedikit pusing, Dok. Obat juga rutin saya minum, tetapi badan saya masih lemas, Dok."

Dokter Reza memeriksa semua alat vital Inggit. Dia menghela napas, lalu mengecek lagi tetesan infus.

"Bu Inggit seperti yang sudah saya bilang, pikiran itu mempengaruhi kondisi Ibu. Obat hanya membantu untuk menyembuhkan. Tolong dijaga jangan stres dan cukup istirahat."

Anjas masuk tepat saat Dokter Reza selesai mengucapkan kalimatnya.
"Gimana kondisi istri saya, Dok?" tanya Anjas dengan wajah cemas.

Inggit bertanya pada hatinya, Anjas sekhawatir ini, apa hal itu yang sungguh-sungguh dirasakannya. Bagi Inggit hal itu percuma, surat gugatan cerai itu membuat semua pemandangan ini menyakitkan.

"Oh, Anda suaminya Bu Inggit? Maaf, saya tidak mengenali Anda karena sebelumnya Anda tidak mendampingi pasien waktu dirawat. Kondisinya agak drop, Pak. Tetapi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Cukup istirahat dan tidak banyak pikiran."

Anjas mengerti. Dokter Reza pamit setelah memberikan resep obat tambahan vitamin.

"Aku bisa urus sendiri obatnya, nanti. Kamu bisa pulang sama Nino." Inggit cukup tahu diri akan posisinya sekarang. Dia tidak ingin membangun harapan Anjas akan membatalkan gugatannya.

"Git, kali ini aku yang akan urus kamu sampai sembuh. Aku juga bisa seperti Agan yang siaga menjaga dan bawa kamu ke rumah sakit," protes Anjas sinis.

***

Mas Anjas, sabar ... sabar! Jangan emosi jiwa.

Alhamdulillah, bersyukur bisa update. Sepertinya masih panjang alurnya, nih. Jangan bosan, ya. Semoga bisa lebih rutin lagi up. Amiin.

Selamat membaca, jangan lupa jaga kesehatan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro