Bab 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Pencipta Wulan Benitobonita / Luna S. Winterheart

"Waktu latihan Cindaku .... Waktu latihan Cindaku."

Fonda duduk dengan kaki menyilang pada sofa putih, menghadap sebuah kubah transparan raksasa di hadapannya, tetapi tidak sebesar kubah transparan saat pertandingan, mungkin hanya setengahnya.

Seorang pria berkacamata kurus dan pendek, mungkin sedikit lebih tinggi dari Fonda yang berukuran 155 sentimeter, duduk dengan gelisah di belakang mesin yang mengoperasikan banyak tombol.

Jas putih kebesaran pria itu melambai ketika dia dengan gugup menekan-nekan tombol sambil bertanya, "M-mau pemandangan apa, Dokter?"

Operator baru?

Alis kanan Fonda yang diukir oleh pensil melengkung sempurna, mencemooh akan keamatiran pria itu. "Pak Ruben, saya kira kita akan mengobservasi pertarungan Cindaku bukannya menonton film tiga dimensi."

"E-eh, ya, tentu saja, Dokter. Maksud saya memang itu."

Fonda mendengkus sambil membuang pandang. Wanita itu bersedekap kemudian berkata, "Sungai Mentaya, Kalimantan."

"Mentaya, baik, Dok." Jari-jari Ruben bergerak cepat, pria itu juga tanpa sadar mengerutkan hidung, seakan tindakannya dapat menghalangi kacamata bundar yang dia pakai tidak merosot lebih turun lagi.

Fonda melirik ke arah juntaian panjang tali sepatu kets pria itu sebelum mengembuskan napas pasrah dan kembali melihat ke depan. Isi kubah berubah menjadi pemandangan familier yang pernah dia lihat sebelumnya, saat menemani Inyiak berlatih, bersamaan dengan suara robot perempuan. "Mentaya River, Kalimantan, Indonesia."

Beberapa kapal kayu terlihat berjajar di tepian sungai dengan jarak antarkapal sekitar satu meter. Debur ombak bahkan rasa hangat udara sontak dapat dirasakan para penonton.

Ujung mata Fonda menangkap Bastian dan seorang pengawal lainnya membusungkan dada, tampak siaga dengan senapan bius mereka, membuat dirinya bertanya-tanya. Mengapa mereka semua terlihat gelisah?

"C-cindaku datang." Suara gemetar Ruben membuat perhatian Fonda kembali ke kubah transparan. Sebuah lift kapsul tembus pandang yang membawa Cindaku tampak menembus dasar kubah dan berhenti di depan sebuah perahu berwarna merah.

Cindaku dengan tangan terantai berjalan keluar dari kapsul sebelum bergeming. Mata biru itu melihat sekeliling, mendongak menatap ke arah langit biru sebelum dia berputar mengamati segala sisi.

Apa yang sedang dia lakukan? Kening Fonda berkerut dalam. Inyiak selama latihan selalu memasang posisi siaga, mencoba mencari lokasi lawan, dan menunggu. Namun, Cindaku .... Makhluk itu malah tampak sedang mengagumi pemandangan yang ada.

"R-rantai dilepas."

Ucapan Ruben berbarengan dengan berubahnya tombol merah menjadi hijau pada rantai yang jatuh ke permukaan kapal. Cindaku pun dengan santai menekuk lengan, melemaskan otot, merenggangkan tubuh.

Makhluk itu menunduk mengamati permukaan kapal sebelum mengambil rantai tangannya dan melemparnya dalam kecepatan tinggi ke arah dinding kubah.

Apa yang dia lakukan?!

Mata Fonda melebar terkejut saat suara denting rantai yang beradu dengan dinding kubah terdengar. Dia menoleh ke arah Ruben yang berjongkok, bersembunyi di balik meja mesin operator, dan bertanya cepat. "Apa maksudnya ini? Bukankah dia seharusnya tidak menyadari konsep kubah? Bukankah Cindaku harusnya menyangka dia sedang berada di alam terbuka?"

"Katakan itu kepada dia, bukan saya," balas Ruben sambil mengintip ke arah kubah transparan. "Oh, tidak, dia menyeringai."

Fonda kembali menoleh ke depan dan ucapan Ruben benar adanya. Bibir Cindaku melengkung, menampilkan empat taring yang mulai memanjang secara lambat. Makhluk itu menatap ke arah mereka, seakan telah menemukan titik tujuan.

"Pak Ruben, duduk dengan benar dan keluarkan buaya muaranya!" bentak Fonda. "Kita harus mengembalikan fokus Cindaku ke sesi latihan."

"I-iya, Dokter." Ruben kembali ke kursinya. Pria itu pun segera menekan sebuah tombol, menyebabkan seekor buaya muara keluar dari sungai, melompat tinggi ke langit, tetapi diabaikan oleh Cindaku, sebelum sang reptil kembali masuk ke sungai.

Astaga!

Fonda mengurut dahinya yang terasa pening. Manusia kucing putih itu hanya menatapi debur air yang membasahi kapal sebelum kembali fokus ke arah rantai tangannya yang menghilang.

"B-buaya. Ini buaya lagi," racau Ruben sambil menekan tombol lain. Seekor buaya mendadak mengintip dari kedalaman sungai dan berenang mendekat.

Cindaku berdiri bergeming di atas kapal yang bergoyang. Makhluk itu mengamati sejenak buaya yang berusaha memanjat naik sebelum dia tiba-tiba berlari dan melompat jauh ke dalam air.

Apa yang dia lakukan?!

Fonda ternganga kala makhluk itu berenang cepat menjauhi buaya, menjauhi kapal, menjauhi tepi sungai, dan menuju lurus ke arah mereka.

"Dia datang! Dia datang!" kaok Ruben ketakutan. Pria itu dengan panik menekan-nekan keyboard, membuat alam buatan di dalam kubah berputar.

Akan tetapi, gerakan Cindaku tidak melambat. Makhluk itu terus berenang bebas, mengikis jarak dengan dinding kubah.

"B-buaya! Ini buaya!"

Tiga buaya meluncur cepat ke arah Cindaku kala Ruben menekan tombol. Namun, manusia kucing putih itu mengabaikannya, terlebih dia mampu mengungguli kecepatan renang ketiga reptil raksasa yang seharusnya menjadi lawannya.

"Ah, g-ganti pemandangan!" Ruben mengetik dan menekan tombol keyboard.

"Maluku Sea, Indonesia."

Fonda terngaga kala penampilan di dalam kubah berubah menjadi laut tanpa tepian dengan Cindaku beserta tiga buaya muara yang mengejar berenang di sana. Wanita itu bahkan tidak mampu berkata-kata saat penampilan alam berubah-ubah tiap beberapa menit, air dan darat, ketika Cindaku tanpa kesulitan beradaptasi antara berenang ataupun berlari, menuju rantai tangannya berada, dengan dikejar belasan hewan dan siluman berbagai bentuk.

"Naga Basuki."

Suara robot perempuan lagi-lagi terdengar ketika Ruben mengeluarkan siluman lainnya. Pria itu bahkan terlihat hampir menekan seluruh tombol mesin secara bersamaan kala langkah Cindaku tiba-tiba terhenti.

Cindaku menyentuh tepian langit yang merupakan dinding kubah transparan dan menyeringai. Fonda refleks berdiri dari sofa, sedangkan Bastian dan pengawal satu lagi bergerak maju, mengokang senapan bius ke arah makhluk itu dengan siaga.

"Gas tidur diaktifkan."

Mata Cindaku sontak melebar saat mendengar pemberitahuan dari langit-langit kubah. Dia mendongak dengan ekspresi geram sebelum bulu-bulu putih loreng hitam mulai menyelimuti kedua tangannya yang membesar.

"Dosis gas tidur ditambahkan."

"Pak Ruben, saya tidak mengizinkan Anda untuk bertindak sendiri!" sergah Fonda gusar.

"T-tapi, Dokter—"

Sebuah hantaman terdengar saat Cindaku mengerahkan semua tenaga pada dinding kubah, memutuskan percakapan yang sedang terjadi.

"Dokter, menyingkir dari sana," ucap Bastian ketika hantaman kedua diarahkan Cindaku, menyebabkan gambar alam beserta semua monster yang ada di sana berkedip.

"U-usul bagus." Ruben langsung berjalan mundur, mencoba mencari pintu keluar.

Akan tetapi, Fonda bergeming di tempat. Wanita itu malah bersedekap dan berkata dengan nada dingin saat Cindaku memukul untuk ketiga kalinya. "Pak Ruben, apakah Anda berpikir Genma akan memaafkan pekerjanya yang melarikan diri dari tanggung jawab?"

Tangan Ruben yang hendak menekan tombol saklar, akses menuju keluar, terhenti di udara. Pria itu menelan ludah, sadar ucapan Fonda benar apa adanya.

Suara retak mulai terdengar ketika Cindaku memukul untuk sekian kali. Namun, Fonda hanya berdiri mengamati, tahu tidak ada jalan keluar bagi mereka, mati dibunuh Cindaku atau mendapatkan hukuman yang jauh lebih berat dari Genma akibat melalaikan tugas.

"K-kita akan mati," ucap Ruben dengan suara gemetar. "S-saya tidak mau mati."

"Pukulannya melemah." Fonda membalas perkataan pria itu. "Efek bius mulai bekerja."

Pemandangan di dalam kubah hilang sepenuhnya, menyisakan marmer putih dan dinding transparan. Cindaku berhenti menyerang. Mata biru itu kini mengamati empat manusia yang berdiri di depan kubah sebelum terhenti ke arah Fonda.

Sepertinya, aku target utamanya.

Fonda mengembuskan napas panjang. Wanita itu berjalan mendekati dinding transparan yang retak, mengabaikan teriakan Bastian dan pengawal satu lagi, sebelum mendongak.

Tatapan mereka beradu. Fonda pun bergumam, sangat pelan, sehingga hanya makhluk itu yang dapat mendengar. "Menyerahlah, tidak ada jalan keluar bagimu di sini."

Wajah Cindaku mengerut murka. Makhluk itu hendak mengayunkan lengannya lagi untuk memukul sebelum tubuhnya terhuyung ke belakang. Dia terjatuh dan bernapas berat.

Fonda ikut bersimpuh, mensejajarkan pandangan mereka. Wanita itu tersenyum samar sebelum kembali berbisik, "Tidak sekarang, mungkin nanti akan tiba saat kebebasanmu."

Atau, tidak sama sekali.

Pembaca yang baik hati, tolong tekan tanda bintang^^

15 Maret 2024

Luna S. Winterheart / Wulan Benitobonita

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro