Meow 2 : Serangan Pertama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

sumber: pinterest

(Gambar hanya sebagai pemanis semata)

...

"Eh?" Gue mematung sebentar sebelum akhirnya sadar. Kayaknya jantung gue berhenti satu detik, deh. Untung aja nggak mati.

"Kenapa manéh, Yo? Kayak yang ngeliat setan wae."

E ... eh, nggak." Gue berusaha mengendalikan diri. Serasa ditampar kenyataan saat tahu kalau calon gebetan suka sesuatu yang gue hindari. Kayak ada nyesek-nyeseknya gitu.

"Meow." Ada suara kucing mendekat. Eh? Tunggu, suara kucing? Suara kucing?!

"Aaah!!!" Mampus! Ada kucing! Bisa mati jantungan gue kalo kucing itu terus mendekat. "Chan, usir, Chan!" Gue sembunyi di balik punggung Chandra, berharap kucing itu berlalu pergi.

"Berisik, ih, Yo," protes Chandra di tengah kepanikan gue.

"Meow, meow!" Suaranya semakin keras. Gue semakin kencang sembunyi sambil meremas bahu Chandra.

"Yo, ih, cuma ucing. Malu sama badan. Otot wéh gede, ai sama ucing takut." Chandra mencoba menyingkirkan tangan gue dari bahunya, tetapi gue malah semakin keras meremas.

Tangan gue semakin gemetaran. "Takut ...."

"Anjir, kayak cewek," bisiknya, tetapi gue nggak peduli. Takut, ya, takut. Nggak memandang gender. "Kayaknya datang gara-gara bakso manéh jatoh."

"Terserah! Usir, Chan!" pinta gue semakin menjadi-jadi.

"Hus, meng, hus," usir Chandra sambil mengibaskan tangannya. "Sana, Meng. Katanya Yoyo takut sama manéh."

Gue menoyor Chandra. "Nggak usah diperjelas segala!"

"Ih, gak tau terima kasih."

"Meooow." Kucing berbulu putih itu kembali mendekat.

"Chan! Chan!" Gue semakin panik.

"Yo, ih, malu-maluin manéh mah. Pantes gak punya pacar ."

"Chan!" teriak gue supaya Chandra segera mengusir monster berbulu itu.

"Hush, Meng. Yoyo takut katanya." Bukannya menjauh saat diusir, si kucing malah terus mendekat. Semakin kalang kabutlah gue.

"Chan, cepet usir!"

Kepanikan gue sepertinya mulai mengusik kedamaian kantin. Orang-orang mulai melihat ke arah gue, berbisik, dan menertawakan. Ratna yang sedari tadi duduk santai akhirnya mendekat.

"Meng, meng, meng," panggil Ratna, kucing itu pun menoleh padanya. "Sini, Meng. Aku ada kulit ayam krispi. Kamu pasti suka." Si kucing mendekati Ratna dan mengendus sesuatu di tangannya. "Nah, gitu. Jangan ganggu Aa itu, ya."

Gue bisa sedikit bernapas lega melihat kucing itu menjauh. Untung Ratna segera datang. Bisa mati ketakutan gue, kalau nggak segera ditangani. Ya, meskipun akhirnya doi jadi tahu kelemahan gue. Gue nggak tahu sekarang ini wajah udah berwarna putih karena takut atau merah karena malu.

"Yo?" Gue masih bersembunyi di balik punggung Chandra dengan gemetar, menunggu si kucing pergi. Hewan itu masih makan sambil kepalanya dielus Ratna.

Setelah selesai, Ratna mengajak kucing itu berlalu. "Hayu, Meng, sini," katanya lembut. Si kucing mengikutinya dengan senang hati. Ratna tidak lupa tersenyum pada gue sebelum melenggang.

Baper, kan, gue jadinya.

"Yo, ih," Chandra mengagetkan gue dengan menggerakkan bahunya agar tangan gue terlepas. "Udah takutnya?"

Gue buru-buru kembali ke tempat asal. Menyesuaikan suara agar terdengar macho setelah adegan teriak-teriak tadi. "Udah," jawab gue yang masih melihat Ratna bermain dengan si kucing putih. Dia mengelus kepala, dagu, dan perut hewan itu secara bergantian. Si monster berbulu malah keenakan dibuatnya.

Gue juga mau jadi kucing kalau gitu, dan—cling—gue berubah. Nggak. Bohong. Ini cerita romantis bukan fantasi. Haha, garing. Oke, skip.

"Yo! Yo, ih!" Chandra berteriak sampai hampir membuat kuping gue tuli.

"Apa?! Gak usah teriak segala kali."

"Manéh dipanggil-panggil nggak nyaut. Hayu balik," ajak Chandra.

Gue nggak mau harkat dan martabat jatuh lebih jauh lagi, jadi gue memutuskan untuk mengiakan ajakan Chandra.

...

Sebelum memasukkan kunci motor, gue mematung karena merasa ada yang janggal.

"Ada kelas, njir. Lo mau bolos?" tanya gue yang baru ingat kalau masih ada matkul setelah istirahat makan siang. Kami yang sudah berada di parkiran motor saling tatap. Chandra memberikan senyuman bodoh.

"Sekali-kali atuh, Yo, ih! Pengen bolos! Sekarang dosennya killer!" rengek Chandra. Gue menyeretnya agar menjauh dari motor matic-nya.

"Kapan lo mau pinter kalo gini terus!" Gue mengelus kepala Chandra dengan agak keras.

"Yo, ih, jangan keras-keras. Urang tau manéh sayang urang, tapi gak gini juga atuuh."

"Anjir!" Gue spontan mengumpat sambil merangkul Chandra dengan keras.

"Iya, atuh, iya," balasnya sambil berusaha keluar dari "rangkulan" gue, tetapi nggak berhasil. "Yo, ih, malu diliatin orang."

"Ya, iyalah orang—"

"Itu ucing ogé ada kétang," kata Chandra sambil menunjuk ke arah datangnya kami tadi. Ada Ratna yang sedang tertawa sambil menggendong kucing putih yang mengganggu gue sebelumnya. Ia tersenyum manis seraya menggerakkan tangan si kucing seperti bilang, "Hai, Yoyo!"

"Aaah!!" Gue refleks menjatuhkan Chandra ("Anjir, sakit, Yo!" kata Chandra) dan langsung sembunyi di balik motor—entah punya siapa.

Ratna kembali tertawa dan berlalu pergi bersama teman-temannya.

Gue bernapas lega dan keluar dari persembunyian, menghampiri Chandra yang tiduran sambil memasang tampang cemberut.

"Hayu, Chan, ke kelas," ajak gue.

"Gak mau. Urang pundung."

"Hah?" Gue menyeret Chandra yang masih nggak mau bangun. "Hayu, elah. Jangan kayak bocah gini."

...

Di kelas, sudah banyak orang yang datang. Kami terpaksa mengambil bangku paling belakang. Kalaupun bangku depan masih kosong, gue pasti tetap bakal pilih bangku paling belakang sih. Takut ditunjuk dosen kalau di depan, he he.

"Manéh beneran suka Ratna?" tanya Chandra yang sudah jadi dirinya sendiri. Dia kadang memang suka lebay.

"Kenapa emang?"

"Ya ... aneh, weh. Manéh gak suka ucing, tapi gebetan manéh melihara. Mau apél gimana coba? Yang ada manéh kabur-kaburan waé tiap ke rumah doi."

Gue menempelkan pipi ke meja, merasa gagal sebelum berperang. "Apa gue mundur aja kali, ya? Kayaknya gue nggak mungkin bisa deketin Ratna."

Chandra menghela napas. "Ya, itu mah terserah manéh. Urang mah cuma bisa dukung dari belakang."

"Lo gitu amat sih, Chan. Kasih gue motivasi apa gitu, kek."

Chandra mengerling. "Pikir dulu wéh, atuh."

Gue berpikir ulang, seperti kata Chandra. Kenapa gue bisa suka Ratna? Kenapa gue bersikeras banget biar bisa deket Ratna? Gue bucin? Iya, mungkin. Kalau enggak, cerita ini enggak bakal jalan. Aah, pusing!

='ω'=

Bonus :3


sumber: pinterest

(Kalian bisa kirim-kirim gambar kucing buat penyemangat Author, nanti saya tag yang kirim)

...

A/N

Kamus meong:

Gé kependekan dari ogé (Sd.) = juga

Wéh (Sd.) = saja

Kétang (Sd.)= deng

...

Semoga menghibur!

Salam meong :3

Diterbitkan: 20-1-2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro