[12] Impostor

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pendengar yang budiman, jumpa lagi di radio Yamameru 62.2 FM bersama Sam Mutant, ditemani cuaca pegunungan yang senantiasa berubah seperti nasib para pejuang di perbatasan. Langsung saja, permintaan pertama datang dari anak gunung yang baru jadi prajurit. Dia berpesan:

[Bu, Pak, Jon berangkat.]

Super sekali. Untuk lagunya, Jon minta diputarkan tembang kenangan bertajuk, 'Takkan Lari Gunung Dikejar'. Selamat mendengarkan.

Bagi tentara berpangkat rendah, dikirim ke perbatasan Distrik 62 sama seperti menjalani hukuman mati. Harapan hidup rendah, logistik terbatas, dan mereka harus bertarung di medan yang lebih dikuasai lawan. Banyak pemuda kulit merah seperti Jon direkrut khusus untuk mengatasi masalah yang terakhir disebutkan.

Jon dan Kartika ditugaskan di bunker Unit 32 bersama tiga puluh delapan serdadu yang lain, dipimpin seorang komandan peleton bernama Letnan Daud. Letaknya di kaki gunung Yamameru, di sisi yang berseberangan dengan lokasi desa mereka.

Kendati jauh dari garda depan, peran mereka cukup penting agar serangan pada Desa Yamameru tak kembali terulang. Aktivitas mereka kebanyakan dipenuhi dengan simulasi pertempuran, mengirim dan menerima pesan, serta patroli hutan. Saat patroli pun, mereka lebih sering bersembunyi di dalam bunker sembari mengendalikan robot dan drone via perangkat VR.

Seperti video game.

Kartika kemudian diangkat menjadi komandan regu berkat jiwa kepemimpinan dan kemampuannya memecahkan sandi. Sementara bagi pasukan lain, kegiatan mereka tak lebih dari permainan menembak dan menemukan perbedaan. Kadang mereka juga bertaruh. Misal, yang paling banyak menemukan perangkat atau jebakan musuh, berhak mengajak Kartika makan malam berdua. Walaupun ujung-ujungnya ditolak juga.

Gadis itu tetap jadi idaman tentara pria dalam bunker. Termasuk Mikail, teman dekat Jon sejak di pelatihan. Ia selalu mencoba mendekati Kartika di setiap kesempatan, sampai pura-pura sakit demi mendapat perhatian.

Jon membiarkan tingkahnya selama tak membuat Kartika merasa dilecehkan. Melihat upaya Mikail yang selalu gagal adalah hiburan tersendiri. Selain itu, dari pengalaman rekannya ia bisa belajar.

Kalau cowok ganteng seperti dia saja ditolak, apalagi aku.

Berminggu-minggu di bawah tanah tanpa kejadian yang berarti, lama-lama membuat atensi mereka menurun. Apalagi kebanyakan dari mereka masih remaja yang sama sekali belum pernah merasakan pertempuran sungguhan. Kartika, Letnan Daud, dan anggota-anggota senior selalu mengimbau untuk tetap waspada. Namun saat mereka pergi, suara-suara sumbang bermunculan.

"Santai aja, lah. Toh kita cuma pasukan cadangan."

"Selama kita diam di sini, kita bakal selamat sampai perang berakhir."

"Bro, mabar lagi yuk. Aku yang jadi jungler."

Beberapa tentara diam-diam memakai perangkat simulasi untuk bermain gim saat waktunya tidur. Nyaris tak ada yang menganggap perang ini secara serius. Suasana bunker lebih mirip perkemahan pecinta alam daripada markas tentara.

Mereka seolah menantang takdir dengan menaikkan death flag, istilah yang menjadi pertanda bahwa satu atau beberapa tokoh akan menemui ajal.

Padahal dalam kisah-kisah perang, ajal hanya masalah waktu.

Suatu ketika, mereka harus patroli keluar. Cuaca buruk membuat kinerja perangkat elektronik kurang optimal.

Banyak yang tepar saat menjelajah pegunungan, sementara kaki Mikail berdarah-darah karena terkena jebakan hewan. Sebagai prajurit yang masih bugar, Jon pun membantunya kembali ke markas.

Melihat lemahnya semangat pasukan, Kartika dan dua komandan regu yang lain pun gusar. Para pasukan dihukum membersihkan bunker sampai Letnan Daud kembali, sedangkan Jon, orang yang paling banyak menemukan jebakan, ditugaskan mengawasi rekan-rekannya di ruang kendali.

Letnan Daud terlambat. Seharusnya beliau kembali sebelum matahari terbenam. Namun, Jon baru mendapat kabar lewat transmisi radio tepat sebelum larut malam.

[Ada yang bisa mendengarku? Ganti.]

"Siap, Komandan. Dengan Jonathan di sini. Ganti."

[Oke, dengar baik-baik. Unit 37 diserang. Ada virus yang membuat sistem keamanan otomatis berbalik menyerang pasukan Malaraya. Kami sedang berupaya menghentikan robot-robot yang membantai seluruh penghuni bunker. Di mana Kartika?]

"Siap. Serda Kartika sedang mengawasi Mikail yang masih menjalani perawatan, Komandan."

[Mikail? Mana mungkin. Dia yang pertama kali gugur saat kami memeriksa bunker Unit 37.]

"Mustahil." Jon segera menghubungi Kartika. Ia memanggil nama gadis itu berkali-kali, tapi tak ada jawaban. Yang muncul justru alarm peringatan tanda bahaya, sementara lampu-lampu di seantero ruang kendali berubah merah.

Musuh terdeteksi. Mengaktifkan mode eksterminasi maksimal.

Jon melihat tulisan tersebut di layar monitor teratas yang berbentuk persegi panjang. Lalu di layar ruang simulasi, sosok mirip Mikail muncul lewat pintu. Ia membawa senapan mesin pemancar plasma seukuran pelontar granat. Wajahnya penuh dengan garis-garis seperti pembuluh darah yang menghitam.

"Selamat malam, prajurit. Bosan berada di bunker berbulan-bulan? Kalian mau perang? Nih, makan tuh perang!"

Sosok tersebut kemudian memberondong seisi ruangan dengan sinar-sinar plasma. Melubangi tubuh, melenyapkan kepala, melelehkan lengan dan tungkai tanpa sisa hingga akhirnya menghancurkan kamera pengawas. Di ruangan lain, robot-robot yang seharusnya menjaga keamanan justru memburu dan menembaki penghuni bunker. Mesin penembak laser di dinding-dinding menyala, menusuk siapa pun yang menghalangi jalan.

"Aaahhh!!!" Jon memekik, seolah ada bagian tubuhnya yang ikut berhamburan dan tercabik-cabik. Kedua tangannya menggerayangi tombol-tombol di atas meja, berharap menghentikan pemandangan berdarah di semua layar. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Dua penembak laser di kedua sudut ruangan menodongkan moncongnya ke kepala. Ia segera berguling dan menempatkan diri di bawah meja kendali, berlindung dari serangan laser yang membabi-buta.

[Jon? Jon? Kau masih bersamaku? Ganti.]

"S-Siap, K-Komandan," ucap Jon terbata-bata. Sekujur tubuhnya gemetar dan matanya tak kuasa menahan tangis. Ia tak pernah merasa sehancur ini bahkan ketika melihat desanya hancur. Kali ini lebih buruk, karena sosok yang ia pikir telah ia selamatkan justru menjadi pembawa petaka.

Ini semua salahku. Salahku. Salahku!

[Jon! Jangan panik. Tenang. Atur napas pelan-pelan. Kau tahu cara mematikan jaringan intranet bunker, 'kan?]

"Siap, tahu Komandan."

[Itu bisa menonaktifkan sistem keamanan yang tersambung dengan fiber optik. Kau masih harus mengatasi robot-robot humanoid yang terinfeksi, tapi aku yakin kau bisa. Lakukan seperti saat latihan. Selanjutnya, turun ke lantai paling bawah dan masuk ke ruang pembangkit daya. Di situ ada sistem penghancuran otomatis. Kalau tak punya kuncinya, cari komandan regu. Harusnya mereka punya.]

"Tunggu, bagaimana dengan prajurit-prajurit lain?"

[Fokus saja pada misimu sekarang.]

"T-Tapi mungkin masih ada yang selamat."

[Jon, aku komandanmu. Aku juga ingin kalian semua selamat. Tapi saat ini kita belum tahu cara membedakan penyamaran musuh kecuali mereka dimusnahkan. Situasi bisa lebih buruk jika ada robot mata-mata yang lepas dan menyebarkan virus ke unit-unit lain.]

Pikiran Jon berkecamuk. Ia mulai curiga bahwa suara di seberang bukan suara sang komandan.

Mustahil! Letnan Daud tak mungkin mengorbankan pasukannya sendiri!

"Lalu, apa buktinya Anda Letnan Daud yang asli?"

[Jon! Kita tidak punya wak—]

Desingan laser berhenti. Muncul sepasang kaki bercelana loreng safari mendekati meja kendali. Jari jemarinya beradu dengan tombol, lalu selang beberapa detik, rambu-rambu tanda bahaya kembali normal.

Jon memberanikan diri untuk keluar dari tempat persembunyian. Kehadiran sosok tersebut terasa begitu dekat dan menenangkan.

"Kartika? Syukurlah kamu selamat."

"Jangan mendekat," balas Kartika sambil mengacungkan plasmo ke arah Jon. Refleks ia balik menodong sambil mundur selangkah.

"Kamu ... Kartika, 'kan?"

"Yeah, untuk sekarang."

Ia menoleh. Terdapat garis-garis hitam bercabang di mukanya seperti pada muka "Mikail". Bagian putih bola matanya menghitam, sedangkan iris dan pupilnya memutih.

Setelah diamati lebih teliti, garis-garis tersebut terlalu lurus untuk disebut pembuluh darah. Mereka lebih mirip seperti jejak-jejak kabel tembaga pada sirkuit motherboard PC.

"Aku udah dengar info dari Letnan Daud," katanya. "Maaf, harusnya aku tetap siaga di ruang kontrol."

"Aku yang harus minta maaf. Aku yang nggak becus."

Ia tersenyum sedih. "Sejak mengawasi Mikail, ada sesuatu yang berusaha membajak pikiranku. Lama-lama dia makin kuat. Dia juga sempat mengendalikan tanganku dan ikut menembaki orang-orang sepanjang perjalanan ke sini."

Jon berucap lirih pada HT di pundak, "Komandan, Anda bilang virus itu menyerang robot."

[Memang benar.]

"Anda tidak bilang kalau virus itu juga menyerang manusia."

[Jon, aku tidak tahu yang kauhadapi sekarang. Tapi kemungkinan besar itu robot penyamar. Jangan sampai tertipu!]

"Dia Kartika! Saya sudah mengenalnya sejak kecil. Mana mungkin saya salah!"

"Jon," panggil Kartika. "Turuti perintah Letnan Daud. Aku bisa menahan tembakan karena itu kamu. Tembak kepalaku sebelum aku menembakmu."

Jon tak menjawab. Air matanya kian deras berlinang.

"Kunci ruang pembangkit daya ada di saku celanaku."

"Kar—"

"Sampaikan maafku pada Eli."

"Kar!"

"Bunuh aku!"

Selanjutnya, kita sudah sama-sama tahu.

***

"Kak, awas!"

Sebuah bola api seukuran roda truk melesat ke arah Jon. Dari belakang, Elita mengacungkan tongkat berujung batu safir dan menembakkan sihir es. Bola api membeku, lalu pecah berkeping-keping seperti lampu lava tepat di depan sang kakak. Serangan balik Elita berlanjut menusuk mulut si penyerang, sesosok almiraj mutan yang terjangkit Nagafikasi.

Jon tersentak. Jiwanya seperti baru kembali dari mimpi buruk.

"Kakak kenapa? Ngantuk ya?" tanya Elita.

"Ah, bukan apa-apa," jawab Jon sambil menatap dua pistol virtual yang ia genggam. Kilas balik tragedi itu kembali. Kali ini sangat jelas. Saat ia membunuh Kartika, menghancurkan bunker, dan berjuang mati-matian untuk keluar dari hutan saat tengah malam. Pada saat yang sama, ia harus menghindari jebakan, robot patroli, dan hewan-hewan mutan, hingga tersesat di dekat markas lawan.

"Eli, apa aku masih bisa ganti kelas di level segini?"

"Bisa, sih. Tapi status Kakak kan udah optimal buat kelas penembak. Sayang dong," sahut Elita. "Lagian kenapa tiba-tiba mau pindah kelas?"

"Aku mau coba kelas penyihir sepertimu." Dia berbohong.

"Hmph. Katanya dulu paling suka kelas penembak karena paling realistis. Sekarang paham kan kenapa aku bilang kelas penembak itu boring. Cuma dar-dor-dar-dor doang nggak ada keren-kerennya."

Jon tak berniat mendebat. Dengan tubuh virtual, Elita tak bisa melihat bahwa kedua tangan Jon sedang gemetar.

"Eli, kalau aku pembunuh, apa kamu masih menganggapku kakak?"

"Keinget perang lagi ya?"

"Baru-baru ini aku membunuh bandit-bandit yang membunuh teman kurirku. Mereka memang penjahat, sih. Aku juga dapat bonus dari bounty, tapi—"

"Kalau Kakak masih menganggapku adik setelah semua yang kuperbuat, kenapa sebaliknya enggak?"

"Tapi, membunuh ...."

"Kak, aku sendiri bukan orang paling bermoral. Kalau Kakak benci sama pekerjaan sekarang, jangan dipaksa. Aku nggak masalah Kakak jadi apa aja selama Kakak bahagia. Asal jangan tiba-tiba mati aja."

Ucapan Elita tak serta merta membuat seluruh kecemasan Jon hilang. Namun, paling tidak kepalanya jadi lebih ringan.

Ia lalu tersadar. Mereka telah menjelajah salah satu dungeon At-Tinnin selama enam jam.

"Ayo balik ke istana," ajak Jon.

Keduanya mengeluarkan cermin portal dari inventori. Lalu menggunakannya bersama-sama.

Waktu di dalam gim sudah senja. Matahari membentuk bulatan sempurna di cakrawala lepas pantai jazirah. Angin sepoi-sepoi meniup dedaunan pohon nyiur dan kurma, membuat rambut avatar Jon ikut berkibar. Sementara di dunia nyata, ia justru mulai gerah. Kipas anginnya mati.

Para NPC dari berbagai ras berlalu-lalang di halaman istana, mengerjakan urusan masing-masing sesuai perintah program. Namun, ada satu gadis yang tampak kebingungan. Langkahnya acak, pandangannya celingukan. Visualnya juga berbeda dengan NPC-NPC lain yang bergaya anime. Ia seperti manusia sungguhan yang tersesat di dunia dua dimensi.

"Apa dia pemain lain?" tanya Jon. Pemain bisa saja mengubah avatarnya menjadi lebih realistis dengan bantuan mod.

"Tapi ini kan server lokal, bukan publik. Cuma kita yang bisa akses," ujar Elita.

Si gadis misterius mendekati mereka berdua. Kulitnya putih pucat dan pakaiannya simpel. Ia cuma memakai t-shirt putih dan celana pendek hitam, tanpa alas kaki.

"Rara?" ucap Elita lirih, seakan tak percaya dengan penglihatannya.

"Kamu tahu dia?" tanya Jon.

"Aku nggak yakin, tapi dia mirip sekali dengan cewek yang memerankan Almira. Dulu aku pernah lihat dia pas video call buat keperluan kolab," jelasnya. "Tapi kok dia bisa di sini?"

Si gadis misterius memiringkan kepala dan memicingkan mata, menirukan ekspresi Jon dan Elita.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro