[22] Midnight Butterflies

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[BREAKING NEWS] Ledakan besar terjadi di bekas pabrik farmasi milik PT Salvia Farma. Ledakan tersebut meruntuhkan bangunan setinggi 12 meter, dan didengar para warganet yang tinggal dalam radius 20 kilometer dari pusat ledakan. Hingga berita dilaporkan, polisi masih menelusuri kronologi dan penyebab ledakan.

"Sebelum kejadian, saya sempat dengar lolongan anjing dan siamang," kata @citizenkonoha.

"Dari dulu di tempat itu banyak penampakan siluman," tutur @curbsideprophet. "Tapi nggak ada yang percaya."

Hovercraft Polda Metro Lumina mendarat di halaman gedung Salvia Farma. Leon Westerling dan para bawahannya keluar, segera berkoordinasi dengan polisi setempat untuk mengamankan TKP ledakan dari para warga yang penasaran.

Bersama tim Labfor dan Brimob, Leon menyusuri reruntuhan usai memakai pelindung hazmat. Debu dan asap masih mengepul mengurangi jarak pandang. Langit masih kelam. Meski dibantu sorot lampu drone, medan yang dipenuhi puing-puing besi dan beton mempersulit penyelidikan.

Salah satu tracerbot mendeteksi keberadaan mayat. Disusul temuan-temuan lain. Kondisi mereka tak lagi utuh, tapi tak ada tanda-tanda bahwa mereka tewas akibat ledakan. Ada banyak luka tusuk, gigitan, dan cakaran. Yang paling menonjol adalah, semuanya mengalami pikselisasi, termasuk darah yang menempel di pecahan keramik lantai.

Berdasarkan kondisi jasad, mereka juga sudah meninggal paling cepat sehari sebelum ledakan terjadi. Di samping itu, tak satu pun mayat cocok dengan DNA yang terdaftar dalam database kepolisian.

Imigran gelap? Anggota sindikat? Atau DNA mereka termutasi gara-gara pikselisasi, seperti yang terjadi pada Rinai?

Berbagai ide bermunculan di kepala Leon. Lalu ia berpikir, jawabannya terkubur di bawah reruntuhan yang tak bisa dijangkau manusia biasa.

"Kita butuh alat berat," ucap Leon. "Usahakan jangan terlalu banyak mengubah TKP."

Mereka mencapai bagian bekas laboratorium, penuh dengan pecahan kaca serta bubuk-bubuk dan tumpahan senyawa. Namun, semuanya tercampur dengan pasir dan serpihan beton. Robot-robot pendeteksi narkoba mendapatkan hasil yang saling bertentangan.

Leon menuju pusat lab forensik sambil membawa berbagai sampel yang bisa mereka bawa. Usai diuji, di antara senyawa-senyawa tersebut terdapat Mirat, kokain, dan sejumlah besar obat pereda pilek dalam berbagai merek.

"Jadi bangunan itu sekarang menjadi pabrik narkoba?" tanya Leon. "Aku heran kenapa semua tutup mata."

"Tanya saja anak Divisi Narko," kata Nora, dokter ahli forensik. "Kau mantan anggotanya, kan?"

"Persetan. Aku tak peduli lagi dengan tikus-tikus itu," balas Leon. Ia pindah dari Reserse Narkoba ke Reserse Kriminal Umum karena muak dengan rekan-rekannya yang terjerumus jadi pemakai dan bergabung sebagai pengedar. "Ada temuan lain?"

"Obat hidung mampet ini, adalah satu-satunya temuan non-narkoba yang kalian temukan. Biasanya obat ini beredar dalam bentuk inhaler. Salvia Farma juga sempat memproduksi produk semacam ini, tapi yang ditemukan di TKP semua berasal dari merek lain."

"Oke, berarti obat itu tak diproduksi dalam gedung. Lalu?"

"Bahan dasar mereka sama: levometamfetamin. Uniknya, saat diamati, isomer mereka pelan-pelan berubah dari levo ke dekstro."

"Apa artinya?"

"Dekstrometamfetamin, kita biasa mengenalnya sebagai meth atau sabu," jawab Nora. "Mungkin, itu cara sindikat mereka lolos dari detektor narkoba. Mereka membeli obat-obatan biasa, lalu menjualnya kembali dengan harga tinggi setelah 'membalik' senyawanya menjadi obat terlarang."

"Bagaimana caranya?"

"Ada kaitannya dengan Mirat. Aku pernah baca jurnal ilmiah yang ditulis Rinai, bahwa Mirat punya properti untuk membalikkan isomer suatu senyawa. Namun, aku tak bisa langsung mencampurkan Mirat dengan senyawa tersebut untuk mendapatkan senyawa 'bayangan'-nya. Perlu ada sistem atau mutagen yang jadi katalis," Nora jeda sejenak, "seperti Araknoid."

Leon tersentak. Bukan karena penjelasan Nora yang penuh jargon ilmiah, tetapi karena nama Rinai disebut.

"Rinai menyampaikan bahwa organisme sibernetik yang didukung sistem Araknoid mampu menghasilkan enzim yang mengubah Mirat jadi 'cermin' pembalik. Organisme itu bahkan bisa membalikkan senyawa kompleks seperti protein dan polisakarida, jauh lebih cepat daripada sintesis di lab biasa, tapi ..."

"Tapi?"

"Hasil penelitiannya ditolak komunitas ilmuwan. Katanya tidak lolos peer review. Metodologinya juga dianggap tidak etis. Hanya saja, ada rumor kalau eksperimennya diminati banyak investor, termasuk sindikat seperti Distopedia."

Imajinasi Leon makin aktif usai mendengar keterangan Nora. Keyakinan bahwa Rinai tewas dibunuh semakin kuat. Bagaimana jika, untuk memperkuat pengaruh di Metro Lumina, sindikat narkoba ingin mencuri ide Rinai, lalu mengembangkan cyborg atau mutan yang mampu membuat produk-produk terlarang dalam jumlah besar?

Leon menerima vidcall dari Pras, anak buahnya yang mengoperasikan alat berat di TKP. Sesuai dugaan, banyak jasad mutan ditemukan di bawah tanah, beserta mesin pengolah Mirat dan puing-puing rak server.

Ia pamit untuk segera balik ke TKP.

"Omong-omong," ucap Nora, menahan langkah si pria berambut pirang, "kau masih memikirkan Rinai?"

Leon menghela napas. "Bohong kalau tidak."

"Jangan memendam semuanya sendiri."

Nora tersenyum canggung. Kekhawatiran jelas tergambar di wajahnya.

Leon tahu gadis rambut merah itu menyukainya. Namun, ia juga belajar dari kasus Rinai. Ia tak mau Nora terlibat dan mengikuti jalan yang ia ambil. Semakin dalam hubungannya dengan Nora, gadis itu hanya akan semakin menderita.

"Terima kasih, Nora."

***

Secara materi, misi kedua Jon terbilang sukses. Dua Araknoid berhasil ditemukan. Total empat target terkumpul, meski semuanya telah dimodifikasi musuh. Bukan sekadar alat motion capture lagi.

Dari sisi psikologis, ini adalah pukulan telak. Pristina dikarantina. Pikselisasinya jauh lebih parah daripada yang dialami Elita. Otot dan pembuluh darahnya kena, kemungkinan terburuk ia harus dimusnahkan seperti Vina. Ia dipensiunkan dari misi dan meninggalkan hoverbike Kayzer bersama Jon.

Markum juga perlu dirawat secara intensif. Terakhir Jon melihatnya berbaring di rumah sakit, tak ada pikselisasi atau luka serius. Namun, belum jelas apakah konsumsi Mirat sebanyak itu berpengaruh buruk ke kondisi mentalnya.

Transformasi Markum saat membantai para mutan meninggalkan kesan tak mengenakkan. Sisi manusianya seakan hilang, menjelma sebagai monster posthuman.

Perlukah aku jadi begitu demi menuntaskan misi? Suka tak suka, tanpa Markum aku bukan apa-apa.

"Mbeeek!"

"Setan!" Jon terperanjat. Saat membuka lemari baju, Anowman duduk meringkuk di dalam. Ia segera mengusir si kera berbulu domba dan mengambil pakaian.

Petbot itu memandang dengan muka memelas, tapi Jon malah tambah jijik. Mukanya sendiri sudah di bawah standar. Saat disematkan ke Anowman, ia tambah mirip genderuwo yang ber-cosplay sebagai domba gembel.

"Jon?"

Jon menoleh ke pintu kamar. AI-Mira datang membawa pisau berlumuran bercak mirip darah. Pada celemek yang ia pakai juga terdapat noda merah.

Tatapannya nanar, kemunculannya sama sekali tak terdengar. Sama seperti saat hologram Jack-AI muncul dan membangkitkan mutan-mutan.

Anowman lari dan bersembunyi di belakang AI-Mira. Jon melirik ke atas kasur, tempat kedua pistolnya tergeletak.

"Apa maumu?" tanya Jon. Tangannya diam-diam mengambil plasmo.

"Aku ke sini gara-gara Jon teriak. Jon enggak apa-apa, kan?"

Jon tak menjawab. Ia balik bertanya, "Itu darah siapa?"

"Oh, ini cuma selai. Aku bikin sandwich buat sarapan. Jon juga kubikinin."

"Aku pesan sendiri, terima kasih."

AI-Mira mengangguk paham. Matanya tampak sedih.

"Kalau gitu ... apa Jon mau makan bareng? Elita juga ikut sarapan di ruang virtual."

Kali ini, Jon menyetujui. Ia mengekor AI-Mira ke ruang tengah yang telah disulap menjadi studio VStreamer Alicia Loveland.

Sejak memesan hingga makanannya tiba, Jon hanya mendengarkan adiknya mengoceh sendirian. Tentang streaming, kolab dengan para kreator lain, rencana pembuatan cover dan lagu orisinal, hingga penggalangan dana.

Jon tak mendengar dengan detail. Yang jelas, Elita sudah kembali riang seperti sebelum terkena Sindrom Piksel. Bahkan lebih jauh. Ia tak pernah melihat adiknya begitu terbuka sejak pulang dari medan perang.

"Mira emang keren! Manajerku dulu enggak ada yang menggaet sponsor dan koneksi sebanyak sekarang. Udah gitu konten-konten kami sering banget trending," puji Elita. "Aku juga nggak perlu kebanyakan pura-pura. Aku bisa jujur sebagai penderita Sindrom Piksel, tapi malah dapat banyak support. Mungkin karena tokoh Alicia lebih relate ke kalangan bawah dan yang nggak bisa menanggung biaya perawatan wajah."

Jon tersenyum. "Baguslah."

Selesai bercerita, suasana kembali hening. Elita melirik ke arah Jon, lalu menoleh pada AI-Mira. Rasa tidak nyaman terpancar dari avatar hologram sang adik. Mungkin, ia juga sadar ada jarak yang lebar antara aku dan entitas di meja seberang.

Di satu sisi, Jon ikut senang adiknya bangkit kembali atas dukungan AI-Mira. Di sisi lain, ia khawatir ketenaran yang AI-Mira tawarkan harus dibayar mahal. Ia masih belum percaya dengan makhluk itu. Tidak sebelum misteri kematian Rinai dan perampokan Nekopi menemui titik terang.

"Mira, kamu udah ngomong ke Kakak?" tanya Elita.

"Umm, kupikir terlalu dini. Jon pasti butuh istirahat."

"Soal apa?" potong Jon.

"Mira minta diantar buat beli tubuh boneka," jawab Elita.

"Buat apa? Bukannya dia bisa berubah tanpa perlu kerangka?" tanyanya lagi.

"Untuk efisiensi," sahut AI-Mira. "Mirat murni makin sulit didapat akhir-akhir ini. Aku bisa mempertahankan wujud lebih lama dengan tubuh boneka. Semakin realistis, semakin bagus."

Jon teringat. Pabrik Mirat ilegal baru saja hancur, Mirat yang resmi pun harganya meroket. "Pakai saja wujud bocilmu."

"Aku tidak bisa bekerja secara maksimal dengan versi piksel 2D," sambungnya. "Aku juga butuh penampilan baru untuk penyamaran, kalau-kalau mukaku dibutuhkan untuk kolab dengan pihak lain."

"Betul! Streaming juga butuh banyak energi, tahu! Apalagi kita dah mulai banyak kolab dan ketemu sponsor," timpal Elita.

"Oke, oke." Jon pun mengalah. "Bisa pesan online, kan?"

"Aku butuh melihat bahan-bahannya langsung," ujar AI-Mira. "Aku perlu memastikan semua komponen, desain, dan teksturnya pas."

Jon memutar bola mata. "Ke mana aku harus mengantarmu?"

Siangnya, mereka berangkat. AI-Mira berubah wujud menjadi bentuk bola mata berkaki laba-laba, lalu memandu Jon menuju subdistrik di Neon Stump bernama Midnight Butterflies (Blok MB). Itu adalah kawasan hiburan malam kelas elite yang menyajikan berbagai macam kasino, bar, kafe, hotel, hingga layanan prostitusi.

Jon mendaratkan Kayzer di tempat parkir Robodoki Workshop, tempat yang menjual perlengkapan roleplay, cosplay, hingga sexbot. Boneka-boneka cantik dan tampan dalam berbagai ukuran terpajang di etalase, baik versi realistis maupun tokoh-tokoh kartun dan anime. Bermacam-macam souvenir yang terinspirasi dari organ reproduksi pun dipamerkan. Ada yang berjajar di rak, ada pula yang digantung di langit-langit toko.

Sambil menahan malu, Jon berbisik, "Kau yakin ini tempatnya?"

"Yep."

"Memangnya tidak ada yang lain?"

"Rinai sudah pernah mencoba ke perajin-perajin boneka yang lain. Tapi cuma di sini yang detail-detail anatominya paling sesuai selera."

"Jadi ini hanya masalah selera? Bukan fungsi?"

"Rinai sangat memperhatikan estetika. Soal fungsi, robot dan boneka di sini dijual khusus untuk melayani nafsu konsumen. Masuk akal jika mereka dibuat dengan detail dan lekukan yang lebih indah daripada boneka biasa."

"Oke, tak usah terlalu spesifik."

Pandangan Jon pada Rinai sedikit berubah. Ia sering dengar para VStreamer juga banyak yang mesum, bukan cuma fans mereka. Namun, ia baru tahu cewek seperti Rinai pun memiliki sisi semacam ini.

"Selamat datang, Kak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya gadis pelayan cantik berpakaian suster. Tangan dan kakinya prostetik. Entah robot tulen atau setengah manusia.

"Ah, umm, err—" Jon gelagapan sebelum AI-Mira mengirim pesan via D-deck. "S-Saya mau pesan boneka kustom."

"Oh, mau yang kilat apa reguler?"

"Kilat."

"Baik, Kak. Silakan masuk untuk penyesuaian."

Jon memasuki toko, lalu menuju ruang bawah tanah tempat boneka-boneka tersebut dikerjakan. Para karyawan bercampur antara manusia, robot, atau perpaduan keduanya.

Seorang pria tua dengan ikat kepala menemui Jon. Ia cuma memakai singlet dan celana pendek, dengan D-deck mirip kacamata trial frame untuk mengukur ketebalan lensa. Jenggot dan kumisnya memutih, kedua lengannya dipenuhi tato piringan hitam.

Mereka saling menyapa dan berkenalan. Namanya Masahiro Ken, tapi warga sekitar lebih mengenalnya sebagai Ken Wastro. Sebaliknya, Jon memperkenalkan diri sebagai Delta Blues, nama samarannya.

"Delta, huh?" Ken tersenyum. "Pertama kali ke sini?"

Jon mengangguk canggung.

"Jangan khawatir. Tak ada yang menghakimimu di sini. Santai saja."

"S-Saya cuma memesankan untuk teman."

"Ya, ya. Semua juga bilang begitu," sahut Ken. "Punya referensi, kan?"

Jon kemudian menyerahkan ilustrasi yang diinginkan AI-Mira.

"Not bad, not bad," komentarnya. "Seleramu oke juga."

Usai mencatat pesanan dalam nota transaksi, Ken membagikan catatan tersebut pada Jon. Waktu pengerjaannya paling cepat tiga hari, paling lama seminggu. Jon cukup datang dan membayar penuh saat pesanan jadi. Total tujuh juta rye.

"Itu sudah ada di perhitungan pengeluaran kami. Jon nggak perlu keluar uang lagi," bisik AI-Mira.

Jon pamit pergi. Ia cepat-cepat meninggalkan Blok MB sebelum melihat kenalan. Meski tengah menyamar, ia tak mau mengambil risiko.

"Terima kasih, Jon," ucap AI-Mira dalam perjalanan pulang.

"Aku cuma mengantarkanmu."

"Iya, tapi Jon rela menahan malu buat ke tempat itu. Apa yang harus kuberikan agar permintaan maafku diterima?"

"Tak perlu repot-repot."

"Jon," panggilnya dengan nada serius. "Sejak aku datang, apa Jon merasa terganggu?"

"Selama kau bisa membantu Eli mewujudkan mimpinya, aku ikut bahagia."

"Jon sendiri gimana? Apa yang Jon inginkan selain itu? Kupikir tidak adil jika cuma Elita yang bahagia, tapi Jon malah menderita. Perintah Rinai itu universal, tidak pilih kasih."

Memangnya dia jin botol? batin Jon. Di samping itu, ia merasa lama-lama kemampuan berempati AI-Mira semakin kuat. Makhluk itu kini bisa merasakan kebahagiaan dan penderitaan seseorang dari petunjuk-petunjuk nonverbal.

Jon pernah bilang di depan AI-Mira, bahwa ia butuh uang agar bisa bahagia. Agar bisa mengeluarkan adiknya dari "penjara" Pikselatorium. Agar bisa hidup enak. Namun, tampaknya kini AI-Mira sadar bahwa yang ia butuhkan bukan hanya itu.

Apa aku sungguh rela mati demi uang? Hanya untuk menebus operasi Elita? Sementara, di tengah kepungan mutan, aku ketakutan setengah mati. Apa aku ikhlas, jika setelah misiku berakhir, aku tak bisa bertemu adikku lagi?

"Aku butuh kekuatan," ujarnya. "Aku ingin tetap hidup untuk menyaksikan Elita naik panggung Luminostation, serta melindunginya dari segala ancaman."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro