Siapa yang ke makam Beno?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jangan marah-marah gitu, lah, Bro, " celetuk Hamdan sambil menepukkan tangan ke bahu Nuno. Nuno sedang kesal karena tugas PKL semakin banyak.

"Oke, kita jadi, kan, ke makam Beno?" tany Irwan, memastikan.

"Ngapain mau ke sana?" Hamdan bingung.

"Sari mau ke makam Beno, dia mau minta maaf, " jawab Irwan.

Tiba-tiba Sari datang dan langsung mengajak ke makam Beno yang tak jauh dari kampus. Ditempuh dengan jalan kaki pun sampai.

"Sekarang, Sar?" Irwan menatap Sari.

Gadis itu mengangguk.

"Gue langsung balik, ya, Wan, " pamit Hamdan.

"Gue juga." Nuno ikut-ikutan Hamdan. Kedua remaja itu melambaikan tangan dan berlalu meninggalkan depan kelas.

"Ya udah, yang bisa aja." Irwan membetulkan posisi tas yang akan melorot.

Jamet mengangguk. "Gue ikut, kok, Bro."

Irwan mengacungkan sebelah tangan. Dia salut dengan Jamet yang selalu menjadi teman setia yang selalu menemaninya. Jujur, semenjak Jamet satu kos dengannya, Irwan sangat senang, karena dia ada teman mengobrol di kos.

"Ngapain lo ke makam Beno!" Sebuah suara terdengar dari belakang, membuat keempat remaja itu menoleh.

"Sarwan?" Sari kaget bukan main melihat Sarwan sudah berada di hadapannya. Ada rasa takut yang bergejolak dalam diri Sari, mengingat bagaimana penghianatannya kepada Beno, yang juga sahabat Sarwan.

"Iya, ini gue. Kenapa?" Sarwan menatap Sari tajam, dia tidak suka melihat wajah gadis yang tak tahu diri itu.

Sari hanya menunduk. Gadis berkerudung hitam itu hanya bisa terdiam. Sari paham pasti sampai sekarang Sarwan masih dendam terhadapnya. Mau tak mau, dia harus menerima segala konsekuensinya. Sari lah yang membuat luka di hati Beno.

"Kenapa lo diem aja?" tanya Sarwan beringas. "Puas lo lihat Beno mati, hah?"

Lontaran-lontaran kasar itu langsung menusuk hati Sari begitu dalam.

"Gue nggak ada maksud nyakitin Beno." Hanya itu yang dapat Sari katakan. Dia sungguh merasa bersalah atas kematian Beno.

"Bilang aja lo seneng Beno mati. Ya, kan?" Sarwan maju satu langkah, dia semakin menatap Sari sangat tajam. Kebencian yang sangat sulit untuk Sarwan lupakan seumur hidupnya.

Sari menggelengkan kepala. "Bener gue merasa bersalah, Wan, " ucap Sari. Mulutnya sedikit bergetar. Ditambah tatapan Sarwan yang terlihat jelas sangat membenci dirinya.

"Bulshit!" Sarwan menatap Sari sejenak, lalu meninggalkan kelas.

"Sar, lo nggak apa?" Irwan menepuk bahu Sari. "Wan, lo nggak boleh gitu, lah. Sari, kan, cuma mau ke makam Beno aja."

"Terserah lo deh, Irwan, " jawab Sarwan berlalu begitu.

Gadis itu menggeleng. "Gue nggak apa, kok."

"Yuk ke makam Beno, udah mau malam." Irwan memberi isyarat Jamet untuk mengukutinya.

Ketiga remaja itu berjalan menuju ke pemakaman Beno. Lima menit kemudian, mereka sampai ke pusaran makam Beno.

Sari langsung memeluk nisan Beno sambil menangis sesengukan.

"Ben, maafin gue, ya." Sari kembali meneteskan air matanya tulus. Dia sungguh-sungguh merasa bersalah atas penghianatannya bersama Thoriq. "Plis, jangan ganggu gue lagi, ya. Kita udah beda alam."

Irwan dan Jamet yang berada di belakang Sari turut merasakan apa yang Sari rasakan. Irwan tahu kalau Sari sangat merasa bersalah dengan yang sudah dilakukann.

Seketika Irwan merasa ada yang aneh dengan makam Beno, yang sepertinya belum lama ada yang mengunjungi. Terlihat ada taburan bunga di atas makam Beno.

"Met, kayaknya habis ada yang ke sini, deh, " ucap Irwan berbisik pada Jamet.

Jamet mengernyitkan dahi. Benar apa yang dikatakan Irwan, ada taburan bunga yang masih baru di atas makam Beno. Tapi, siapa?

"Keluarganya mungkin, Wan, " jawab Jamet.

Irwan merasa ada yang tidak beres. Dia merasa ada yang aneh. Entah kenapa Irwan berkeyakinan kalau yang menaburi bunga bukan keluarganya.

Saat melihat di sebelah makam Beno ada petugas makam yang sedang membersihkan rerumputan, Irwan segera menghampiri pria yang kira-kira berusia tujuh puluh tahunan.

"Permisi, Pak, " ucap Irwan.

"Ya, Nak, ada apa?" pria petugas makam itu tersenyum ramah.

"Pak, saya mau nanya, " jawab Irwan. "Makam yang di situ itu habis ada yang mengunjungi, ya?"

Petugas makam itu mengangguk.

"Ibunya, Pak?" Jamet turut menimpali.

Petugas makam itu menggeleng lagi. "Bukan, Nak. Dia masih muda, kok. Perempuan," jawabnya. "Kira-kira seusia kalian."

Sari yang mendengar perkataan petugas makam menoleh. Dia penasaran siapakah perempuan yang dimaksud petugas makam itu.

"Ciri-cirinya gimana, Pak?" tanya Sari, lalu berdiri.

"Saya nggak terlalu memperhatikan, Mbak, " jawab petugas makam. "Tapi, saya lihat dia hampir setiap hari ke sini."

Pernyataan itu membuat Irwan, Jamet dan Sari melongo. Mereka mulai penasaran siapakah perempuan itu sebenernya.

"Jangan-jangan pacarnya Beno kalik setelah putus sama Sari, " ucap Jamet kemudian.

"Nggak mungkin, Met," timpal Irwan. "Kata Sarwan setelah putus sama Sari, Beno itu nggak pacaran sama siapa-siapa, kok."

"Apa perempuan itu yang dimaksud Vina?" Jamet jadi teringat cerita Vina kala itu. Vina mengatakan ada perempuan yang suka menemui Beno ke sekertariat HMJ TI. Kemungkinan besar, orang itu adalah orang yang juga membunuh Beno yang masih bisa keliaran bebas dan tanpa diketahui siapa pun. Pelaku pembunuh Beno sangat cerdik seperti belut, sangat susah untuk dilacak. Untuk itu, semua harus tetap waspada. Bisa saja dia juga dapat melukai siapa saja yang ikut campur ke dalam urusannya.

"Bisa jadi, Met." Irwan memegang dagunya. "Kayaknya gue ada ide buat cari tahu siapa dia. "

"Apa?" Sari dan Jamet menjawab secara bersamaan.

Irwan menghela napas. "Jangan di sini, gue takut dia masih ada di sekitar sini buat ngawasin kita."

Jamet dan Sari mengangguk.

"Yuk, balik, udah mau maghrib, nih." Irwan melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul setengah enam. Tandanya sebentar lagi adzan berkumandang. Irwan, Jamet dan Sari memutuskan untuk pulang ke kos.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro